Sabtu, 7 Mei 2011 (Unpublished)
Oleh Erik Purnama Putra
Dunia pesantren masih diidentikkan sebagai sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertinggal. Para santrinya hanya menguasai kitab kuning dan penguasaan ilmu umumnya lemah. Akibatnya persepsi kurang tepat tersebut model pendidikan di pondok pesantren dianggap kuno.
Namun, pandangan buruk terhadap dunia pesantren yang sempat merebak di masyarakat setidaknya bisa terkikis dengan hadirnya novel berjudul Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat. Novel ini bercerita seputar pesantren yang menjadi tempat ideal bagi seseorang untuk menimba ilmu sebagai bekal menjalani hidup.
Karena dari pesantren pula banyak lahir santri yang cerdas dengan menguasai berbagai ilmu agama, yang memiliki kepercayaan diri tinggi dalam bergaul dengan masyarakat.
Secara khusus, novel unik karya Adian Husaini ini mengungkap lika-liku pemikiran dan kondisi kejiwaan sejumlah aktivis Islam liberalis di negeri ini yang belum pernah terungkap ke publik. Melalui buku karya mantan wartawan Republika ini, pembaca disuguhi kepribadian para aktivis liberalis yang sangat rentan terhadap gangguan psikologis.
Novel ini wajib dibaca para santri dan keluarga Muslim yang mencintai keimanan dan berkeinginan selamat dari jeratan angan-angan dan gurita liberalisme, yang setiap saat menyerbu pikiran umat Islam. “Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan yang ideal,” ujar sastrawan Taufiq Ismail.
Kisah bermula saat Kemi yang merupakan santri cerdas dari Pesantren Minhajul Abidin, Madiun, di bawah bimbingan Kyai Aminuddin Rois, tiba-tiba ingin berhenti mondok untuk melanjutkan kuliah di ibu kota. Di pesantren, bersama Rahmat—teman satu angkatan—Kemi terkenal mempunyai kemampuan menguasai berbagai ajaran kitab kuning.
Kemi memilih kuliah dan pergi meninggalkan pesantren dengan melanggar amanah sang kyai setelah termakan bujuk rayuan dari Farsan, seniornya di pondok yang berubah menjadi ikon pengusung ajaran liberal. Kemi melupakan ajaran yang didalaminya di pesantren dengan menjadi aktivis pendukung gerakan liberal dan pluralisme dengan memilih kuliah di Institut Damai Sentosa, di Jakarta.
Singkat cerita, dengan pemikiran liberalnya Kemi dan kelompoknya menjadi populer. Angan-angan mereguk kebebasan dan menganggap wawasan ajaran di pesantren sempit membuatnya berubah. Dari dulunya yang sangat mencintai Islam, berbalik menjadi aktivis penggugat Islam.
Mendapati sepak terjang Kemi yang semakin meresahkan sebab membawa identitas pesantren, Kyai Rois mengizinkan Rahmat untuk berangkat ke ibu kota dengan mengemban misi menyadarkan temannya tersebut.
Kedatangan Rahmat sebenarnya juga untuk memenuhi tantangan Kemi agar bergabung menjadi mahasiswa di tempatnya kuliah. Dalam pergaulan kampus, bukannya berubah menjadi aktivis liberal, Rahmat malah sukses membantah setiap logika yang diutarakan kelompok Kemi, yang dipimpin Roman.
Bahkan, dalam sebuah diskusi saat perkuliahan tentang keberanan agama bersifat relatif yang dibawakan rektor Institut Damai Sentosa, Profesor Malikan, Rahmat mampu mematahkan segala argumen yang dibangun dosennya hingga yang bersangkutan tak berkutik.
Popularitas Rahmat semakin mencuat setelah dalam sebuah seminar berhasil menjungkalkan argumen Kyai Dulpikir, hingga kyai pengusung liberalisme tersebut yang memiliki riwayat penyakit jantung meninggal seketika usai seminar.
Tentu saja Rahmat menjadi gunjingan di kampus sebab keberadaannya sangat meresahkan dan dianggap mengancam kelangsungan gerakan liberal yang disponsori Shecooler Foundation.
Bergelut dengan kelompok itu, Rahmat bisa menilai inti ajaran liberali adalah mengganggap semua agama sama dan menyembah satu Tuhan, dengan nama dan praktik berbeda.
Rahmat melihat Kemi keblinger dengan percaya dan menerapkan rahmatan lil alamin adalah ajaran jika umat Islam tak bersifat eksklusif dan mau berbaur dengan agama lain untuk tak menonjolkan diri sebagai agama yang paling benar.
Mereka dinilai Rahmat tak segan menggadaikan ayat-ayat Allah demi memuluskan tindakannya yang menyimpang. Hampir semua aktivis liberalis memilih jalan menganut paham kebebasan karena mempunyai pengalaman abnormal terkait masa lalunya. Sehingga saat menyebarkan ajaran liberalisme tujuannya hanya demi kenikmatan materi dan popularitas semata.
Tak jarang dibuat kerangka berpikir yang disusun dengan kalimat indah hingga membuat orang lain terpukau agar tertarik mengikuti ideologi liberalis, yang sebenarnya tak mempunya dasar pijakan yang kuat. Lucunya, pengusung liberalisme seolah menawarkan jalan baru beragama dengan menyalahkan agama wahyu sebagai ajaran yang membuat kedamaian jauh dari bumi.
Karena keberadaan Rahmat dianggap mengacaukan suasana Institut Damai Sentosa. Roman memimpin kelompoknya menyusun rencananya matang untuk melenyapkan nyawanya. Dari situ terbongkar, Roman ternyata seorang mafia yang memanfaatkan keberadaan santri cerdas yang mudah ditipu dengan popularitas sehingga terpedaya menjadi aktivis liberalis.
Tiba-tiba cerita berpindah alur menjadi menegangkan. Karena tahu Kemi sudah tak berguna lagi, Roman dan tiga anak buahnya ingin membunuh Kemi dulu sebelum Rahmat.
Kemi sempat dihajar habis-habisan anak buah Roman. Meski sempat diselamatkan warga, karena mengalami gangguan syaraf dia harus dirawat ke rumah sakit. Setelah beberapa bulan, nasib Kemi berakhir tragis sebab dia menjadi hilang kesadaran dan dirawat di rumah sakit jiwa.
Mendapati itu, Rahmat dan warga dibantu pihak kepolisian berupaya menangkap Roman dan kelompoknya. Akhirnya riwayat aktivis liberalis tersebut tamat seiring dengan ditangkapnya mereka oleh polisi.
Sayangnya, ada sesi cerita novel yang tak fokus. Misal, percakapan Kyai Rois yang menyuruh Rahmat belajar membuat resensi buku sebelum berangkat ke Jakarta agar mengimbangi kemampuan para aktivis liberalis yang jago menulis, yang tidak ada kelanjutannya.
Malahan, di puncak cerita yang diwarnai perdebatan Rahmat dengan Kyai Dulpikir, hingga membuat kyai liberal tersebut meninggal, eksploitasi cerita menunjukkan Rahmat jago berdebat mematahkan logika yang diusung para kaum liberal. Namun, ending cerita malah menggantung.
Judul : Kemi (Cinta Kebebasan yang Tersesat)
Penulis : Adian Husaini
Penerbit : Gema Insani Press
Cetakan : Oktober 2010
0 comments:
Posting Komentar