Sabtu, 13 Agustus 2011

Menelusuri Jejak Islam di Eropa

Sabtu, 13 Agustus 2011 (Unpublished)

Buku 99 Cahaya di Langit Eropa (Menapak Jejak Islam di Eropa), mampu membuat pembaca geleng-geleng kepala. Hal itu karena penulis menyajikan perjalanan spiritualnya keliling Eropa dengan unik. Serta mengajak pembaca secara tidak langsung berimajinasi menyelami kehidupan masyarakat Eropa saat memasuki masa kegelapan.

Buku ini adalah pengalaman spiritual Hanum Salsabiela Rais bersama suaminya Rangga Almahendra selama hidup tiga tahun di Wina, Austria. Selain suaminya, Hanum mendedahkan dua tokoh perempuan Eropa yang menjadi sumber inspirasinya dalam buku ini.

Keduanya adalah Fatma Pasha, perempuan Turki yang menjadi teman kursusnya di Austria. Serta mualaf Marion Latimer yang bekerja sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris.

Dua orang itu disebut penulis memiliki pengetahun luar biasa luas tentang Islam. Hingga diakui jika dirinya terinspirasi dari keduanya yang mampu membuka borgol cara pandangnya bagaimana memahami Islam secara benar.

Menurut penulis, menjadi pemeluk Islam yang menjadi minoritas di Eropa, mampu membuka cakrawala dan khazanahnya dalam menilai Benua Biru tersebut. Hingga pada akhirnya Hanum mengakui keindahan utama Eropa bukan terletak pada keelokan Menara Eiffel, Colloseum Roma, Tembok Berlin, Stadion Sepakbola San Siro, maupun Konser Mozart.

Melainkan tempat ziarah Islam, yakni kota di Eropa yang menyimpan jejak peradaban Islam yang mengandung sejuta misteri. Perjalanan penulis menjelajah Eropa adalah titik awal sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua itu.

Hanum bersama Fatma pernah berjanji mengunjungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Yang pada akhirnya perjalanan ritus penulis lalui sendiri tanpa kawannya itu dengan dimulai dari Paris, pusat ibu kota peradaban Eropa.

Di Paris, Hanum berkenalan dengan Marion Latimer yang menunjukkannya bahwa Eropa adalah kawasan pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion mampu membuat penulis jatuh cinta pada taraf lebih dengan Islam.

Itu setelah dia berkunjung ke Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides. Belum lagi kunjungan ke Katedral Mezquita Cordoba, Istana Al Hambra Granada, hingga Hagia Sophia dan Masjid Biru Istanbul, membuatnya bersimpuh betapa bangganya dia terhadap Islam.

Yang membuat penulis terperangah adalah lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus di Museum Louvre. Berkat bantuan Marion, penulis mendapat bukti hijab yang dipakai Bunda Maria bertahtakan kaligrafi arab kuno bertuliskan, “Laa Ilaa ha Illallah”. Berbagai peninggalan maha karya peradaban Islam itu membuatnya semakin mantap dengan agama yang dianutnya.

Meski begitu, akhir dari perjalanan penulis di Eropa justru mengantarkanku pada titik awal dan akhir pencarian makna dan tujuan hidup. Yakni menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang dianggap mendekatkannya pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.

Melalui buku yang ditulis dalam 52 kisah ini, kita diajak secara tidak langsung menarik benang merah bahwa Eropa dan Islam pernah menjadi satu pasangan serasi. Kondisi yang bertolakbelakang dengan sekarang dengan munculnya gejala Islamophobia di masyarakat Eropa.

Pasalnya Eropa sebelum masa Renaissance jauh terbelakang dan tertolong keberadaan Cordoba sebagai pusat Islam. Berdirinya kota berjuluk the true city of light tersebut mampu menjadi inspirasi Eropa untuk meraih kemajuan hingga seperti sekarang.

Dengan membaca buku ini, kita mendapat wawasan baru seputar dunia Islam di Eropa pada masanya. Jangan kaget pula jika tokoh besar Napoelon Bonaparte itu adalah mualaf. Kopi cappucino yang identik dengan Italia atau bunga tulip dari Belanda itu aslinya berasal dari Turki.

Judul                : 99 Cahaya di Langit Eropa
Penulis             : Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra
Penerbit           : Gramedia
Edisi                : Agustus 2011
Tebal               : 412 halaman
Harga               : Rp 69 ribu
Peresensi adalah Erik Purnama Putra, alumnus mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Terus Baca - Menelusuri Jejak Islam di Eropa

Selasa, 02 Agustus 2011

Perkembangan Pers Indonesia

Rabu, 3 Agustus 2011 (Unpublished) 
 
Banyak buku yang mengulas tentang dunia media atau pers. Namun, buku Pers Indonesia di Mata Saya agak lain. Sebab penulis yang seorang pebisnis di bidang media mengajak pembaca untuk memahami seluk-beluk pers dari sisi bisnis. Itulah gambaran kenyataan yang disajikan penulis lewat pengalamannya sehari-hari bergelut dengan media.

Menurutnya, media adalah sebuah bidang yang justru dalam mata banyak orang kerap dijadikan alat bisnis atau daya tawar untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkannya. Sehingga tersirat dalam konteks tersebut, profesionalisme dan idealisme seolah tidak bisa sejalan dengan bisnis.

Padahal, sejatinya, profesionalisme dan idealisme dibutuhkan dalam bisnis apa pun, termasuk media. Dan sebagaimana bisnis lain pada umumnya, media juga bisa hidup apabila produknya disukai secara terus-menerus oleh masyarakat.

Bisnis media, sejatinya bisa dijalankan lewat pendekatan tertentu agar medianya hidup, tumbuh-kembang sebagai entitas mandiri, dan tidak tergantung pada kepentingan lain di luar dunianya sendiri. Sehingga idealisme di dalam media tersebut tetap terjaga.

Berbeda bila pemberitaan dirancang sedemikian rupa guna menyokong kepentingan pemilik modal. Di titik tersebut, pers beralih wujud menjadi komoditas komersial. Bagaimana mempertahankan idealisme dan independensi pers jikalau telah menjadi bisnis dengan segala perangkat permintaan dan penawaran pemiliknya?

Penulis menilai kondisi itu sebagai sekelumit fragmen-fragmen dunia pers Indonesia generasi kini. Namun, seiring laju modernisme, pers menjadi lahan bisnis. Peminat dan pelakunya beragam dan terus bertambah. Tak dapat dihindarkan, sering kali kepentingan pemegang modal bercampur dalam kebijakan redaksi.

Penulis yakin bisnis media masih terus menjanjikan. Iklan media setiap tahunnya berpotensi tumbuh secara signifikan seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu, prediksi sebelumnya yang menyatakan media cetak mati seiring bertumbuhnya media online tidak akan terjadi.

Yang terjadi media cetak, elektronik, dan online saling melengkapi dan memiliki cakupan berbeda. Di sinilah diperlukannya sebuah ide dan kreativitas dari jajaran redaksi agar media cetak bisa terus eksis di tengah kompetisi ketat merebut ceruk pasar iklan.

Karena ke depannya lahan baru media cetak memberi layanan informasi yang tak dapat dilayani secara baik televisi, radio, situs berita, blog, hingga situs jejaring sosial. Erick Thohir menilai, media yang sehat apabila pemiliknya memberikan keleluasaan bagi jajaran redaksi untuk menentukan pemuatan berita. Dengan tidak ikut mencapuri dapur redaksi hal itu bisa menjaga independensi dan tidak membuat media menjadi partisan.

Penulis menyoroti kompetensi wartawan sebagai ujung tombak media yang perlu distandardisasi. Karena itu, ia meminta perlu adanya regulasi untuk membedakan wartawan dan orang yang mengaku wartawan. Karena wartawan sebagai profesi hendaknya tidak bisa sembarang orang seenaknya menjadi atau mengaku wartawan.

Buku ini mencoba mengetengahkan informasi dari unsur-unsur yang menopang laju dunia media pers dan bisnis yang melingkupinya. Dari setiap unsur, seperti wartawan, kebijakan pemberitaan, kepentingan bisnis komersial, perebutan audiens, naik-turunnya pengaruh pemberitaan, hingga perkembangan bentuk dan penyajian berita.

Judul                : Pers Indonesia di Mata Saya
Penulis             : Erick Thohir
Penerbit           : Republika
Edisi                : Februari, 2011
Tebal               : xix + 240 halaman
Peresensi adalah Erik Purnama Putra, alumnus Universitas Muhammadiyah Malang
Terus Baca - Perkembangan Pers Indonesia