Kamis, 3 Maret 2011 (Unpublished)
Oleh Erik Purnama Putra
Siapa yang tidak tahu sinetron? Pasti hampir semua masyarakat Indonesia tahu dengan tayangan sinetron sebab menjadi konsumsi hiburan sehari-hari. Bagi orang yang tidak suka melihat tayangan televisi sejelek-jeleknya yang bersangkutan pasti tahu apa itu sinetron.
Menurut Wikipedia, sinetron merupakan kependekan dari sinema elektronik. Sinetron adalah istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron dikenal dengan istilah opera sabun (soap opera) dan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela—tayangan televisi yang biasanya menyiarkan program acara produksi Amerika Latin.
Pada umumnya tak jauh berbeda dengan yang ada di luar negeri sinetron di Indonesia banyak berkisah seputar kehidupan seseorang dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Aktor utama akan menjadi titik sentral alur cerita yang biasanya banyak diwarnai konflik dalam menjalankan perannya jika berhadapan dengan lawan mainnya.
Setiap pemeran mempunyai karakter berbeda yang secara keseluruhan dapat dibagi dua macam, yakni antagonis atau protagonis. Untuk menghidupan alur cerita agar mampu menggugah emosi pemirsa televisi maka dimunculkan konflik-konflik ektrem yang bisa membuat penikmatnya berdegub kencang atau malah terperangah dengan akting aktor pujaan hatinya. Contoh paling gampang untuk menggambarkan penjelan barusan adalah sinetron Bawang Merah dan Bawang Putih.
Disitu pemirsa televisi bisa dengan gambling menangkap bahwa peran antagonis diwakili bawang merah dan protagonis dimainkan bawang putih. Meskipun alurnya terkesan klise dan mudah ditebak sebab menceritakan fenomena kisah hidup di masyarakat, namun peminat sinetron tetap menggembirakan jumlahnya.
Sebagai buktinya sinetron sejenis yang mempertontonkan pertengkaran tokoh antagonis dan protagonis terus bermunculan dengan berbagai judul dan pemerannya di lain chanel televisi. Padahal jika dikritisi maupun ditarik garis kesimpulan tema yang diusung njiplak alias hampir serupa dan tak terlihat adanya kreativitas dari penulis scenario dan sutradara.
Sayangnya, masyarakat Indonesia yang dikenal memiliki kepribadian mendayu-dayu alias suka terharu melihat orang lain sedih sangat menggemari sinetron jenis itu. Tak pelak, segala sinetron yang berisi pertengkaran dan permusuhan selalu tetap mendapat tempat di hati sehingga menduduki rating tertinggi di negeri ini.
Sang sutradara yang dengan cerdik menangkap pasar tersebut dengan entengnya malah memunculkan berbagai karakter baru yang digunakan sebagai ‘bumbu’ agar alur sinetron terus berkembang. Ditambah munculnya berbagai konflik baru—sementara lama belum selesai—yang makin lama makin membesar membuat masyarakat asyik larut menikmati hiburan gratis dari kotak ajaib itu.
Karena itu, tak ada yang bisa memprediksikan kapan sebuah sinetron berakhir atau mencapai titik klimaks. Pasalnya jika respon masyarakat masih menggemari sinetron tersebut maka sutradara dengan persetujuan produser bisa meminta tambahan kontrak agar kisahnya terus berlangsung.
Kita tentu ingat sinetron Tersanjung yang masa tayangnya hampir tiada habisnya. Bayangkan, Tersanjung ditayangkan mulai tahun 1998 sampai 2005 alias mencapai 356 episode. Hal yang sama juga terjadi pada sinetron Cinta Fitri yang memasuki sesi ketujuh. Kedua sinetron itu tak jelas jeluntrungnya, baik alur cerita maupun konflik yang disajikan yang terus berulang dan berkembang tak keruan.
Kondisi itu muncul karena masyarakat masih menggemari sinetron itu. Karena jika penggemar sinetron semakin menurun maka kisah episodenya tak akan diperpanjang, bahkan diperpendek jika sambutan sejak awal kurang bagus. Namun, bukan itu yang perlu saya kritisi.
Yang menjadi catatan saya adalah mengapa masyarakat menggemari sinetron yang jelas-jelas merupakan hiburan tidak mendidik itu? Jawaban pribadi saya mengatakan ini terkait dengan mental masyarakat yang senang sekali dengan berbagai buaian dalam setiap episode sinetron yang dilihatnya.
Meski cerita dalam sinetron banyak yang mempertontonkan keanehan dan tak bisa diterima logika, anehnya tak ada yang protes. Malahan pemirsa semakin asyik dengan dunia sinetron dan hanyut dalam ketidaksadaran akibat ‘hipnotis’ tayangan yang dilihatnya itu.
Ketidaklogisan itu sseperti kisah cewek SMA yang mengendarai mobil ketika berangkat ke sekolah hingga saling jambak dengan teman cewek dari geng lain. Sudah tahu hal itu sangat tidak pantas dilakukan apalagi di dunia pendidikan, namun tetap saja penggemar sinetron tak berkurang.
Ada pula kisah lain yang ‘menggelikan’ tapi mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, seperti aktor utama yang mendapat perlakuan jahat dari ibu tiri, membentak orang tua akibat berbeda pendapat, hingga bergaya hidup mewah meskipun dari keluarga miskin.
Tapi secara keseluruhan, tetap saja segala tayangan sinetron di negeri ini selalu laris ditonton banyak orang, tanpa mempedulikan jalan cerita dan tema sinetron tersebut. Tak heran tayangan sinetron terus menjamur di berbagai chanel televisi meski secara umum alur ceritanya mudah diprediksi sebab hampir tak ada perbedaan dengan sinetron lain yang sudah ditayangkan sebelumnya.
Yang lebih mengherankan, tak sedikit dilakukan masyarakat kita sampai menjadikan sinetron menjadi bahan pembicaraan gosip di kehidupan pribadinya. Entah itu anak sekolahan, remaja, para ibu, hingga kaum bapak juga ada yang tak mau ketinggalan membahasnya.
Pernah juga saya dapati kaum ibu-ibu sampai terpancing emosinya gara-gara mendapat satire dari lawan bicaranya yang menyindir pemeran utama sinetron yang digandrunginya. Hal itu jelas menjadi pertanda buruk bahwa keberadaan sinetron membawa dampak luar biasa negatif jika ditinjau dari unsur edukatif.
Pernah juga saya dapati kaum ibu-ibu sampai terpancing emosinya gara-gara mendapat satire dari lawan bicaranya yang menyindir pemeran utama sinetron yang digandrunginya. Hal itu jelas menjadi pertanda buruk bahwa keberadaan sinetron membawa dampak luar biasa negatif jika ditinjau dari unsur edukatif.
Disinilah letak permasalahan yang mesti disadari bersama. Sebaiknya bagi pecinta sinetron jangan sampai hanyut dalam alur cerita sehingga sampai berpengaruh terhadap pikiran dan tindakan dalam aktivitas sehari-hari.
Sinetron di Indonesia yang temanya tak lepas dari tangisan, pertengkaran, ranjang, dan perebutan harta, harus dikritisi. Dilihat dari sisi apapun tak ada unsur positif yang bisa didapat masyarakat jika terus memelototi tayangan sinetron.
Malahan, saya nilai sinetron di Indonesia tak lebih dari sekedar ‘sampah’ yang tak perlu dinikmati secara serius. Karena sungguh sayang jika otak kita terus diisi tayangan ‘sampah’ yang tak akan membuat fungsi kecerdasan semakin meningkat.
Malahan, saya nilai sinetron di Indonesia tak lebih dari sekedar ‘sampah’ yang tak perlu dinikmati secara serius. Karena sungguh sayang jika otak kita terus diisi tayangan ‘sampah’ yang tak akan membuat fungsi kecerdasan semakin meningkat.
Sekian uneg-uneg saya sebab saya membatasi diri untuk tidak terus berceloteh
0 comments:
Posting Komentar