Kamis, 10 Maret 2011

Merekam Jejak Pemikiran Habibie

Jumat, 11 Maret 2011 (Harian Bhirawa)

Ketika memutuskan pulang kampung pada medio 1973, banyak kolega dan pakar teknologi Eropa tak habis pikir atas keputusan yang diambil Bacharudin Jusuf Habibie. Pasalnya doktor spesialisasi konstruksi pesawat terbang di RWTH Aachen University, Jerman, yang waktu itu berusia 35 tahun tersebut kembali memutuskan pulang kampung pada saat Indonesia masih tertatih-tatih sebagai negara berkembang.

Padahal dengan keputusan itu ia harus membayar mahal dengan meninggalkan karier cemerlangnya sebagai pakar teknologi penerbangan yang disegani di Barat. Namun karena rasa nasionalisme dan panggilan untuk mengabdi kepada Tanah Air, Habibie rela meninggalkan kehidupan nyamannya dan memilih meretas karier dari awal di Indonesia.

Kepulangan Habibie sebenarnya juga merupakan keberhasilan Presiden Soeharto yang membujuknya dengan alasan untuk memenuhi panggilan negara. Akhirnya keduanya pun bertemu pertama kali pada Senin, 28 Januari 1974, pukul 19.30 di Jalan Cendana, yang tak lain tempat kediaman Soeharto.

Dari pertemuan tersebut Habibie menyambut permintaan Soeharto merancang fondasi kemandirian ilmu pengetahuan (iptek) Indonesia yang berbuah cetak biru peradaban teknologi yang disebut ‘Berawal di Akhir dan Berakhir di Awal’. Sebuah proses transformasi dan integrasi iptek yang dipercepat dan progresif hasil kreasi Habibie.

Buku Jejak Pemikiran B.J. Habibie: Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa ini diterbitkan sebagai upaya untuk mengungkap jejak pemikiran Presiden Indonesia ketiga tersebut selama menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi sejak 1978 hingga Maret 1998. Buku ini diluncurkan saat penyerahan penganugerahan ‘Habibie Award’ pada Selasa 30 November 2010 dalam rangka hari ulang tahun (HUT) ke-11 The Habibie Center.

Dari buku yang merupakan hasil kumpulan makalah seminar, artikel, ulasan Presiden RI ketiga ini, pembaca akan mendapatkan gagasan-gagasan Habibie tentang arah industri strategis dan pembangunan iptek yang relevan dan tepat guna untuk sebuah negara berkembang, seperti Indonesia.

“Memaparkan tentang peran besar B.J. Habibie dalam mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang iptek. Wajib dibaca oleh setiap insan yang mendambakan daya saing dan kemandirian bangsa,” ujar Kepala Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr Marzan A Iskandar.  

Habibie melakukan itu dengan tujuan untuk membangun peradaban teknologi demi kemandirian bangsa yang diidam-idamkannya sejak kecil. Karena itu, ia rela menanggalkan jabatan prestisius korporasi internasional, ataupun reputasi sebagai pakar teknologi ternama dunia.

Karena itu, langkah pertama yang ditempuhnya untuk memajukan bangsa demi tercapainya quantum leap (lompatan besar) adalah dengan memberikan sentuhan teknologi pada setiap produk yang dihasilkan Indonesia. Menurut Habibie, setiap barang yang dibuat dengan sentuhan teknologi akan memberikan nilai tambah. Semakin besar teknologi yang terkandung dalam sebuah produk, semakin tinggi pula harga jualnya.

Karena itu, tak salah di saat bangsa Indonesia masih terjerembab dalam kubang kemiskinan dan ketertinggalan teknologi. Habibie memproyeksikan pembuatan blue print bagi bangsa ini untuk membuat pesawat terbang. Pada awalnya banyak yang mencibirnya. Namun, itu dilakukannya demi semata-mata untuk kemajuan bangsa.

Di sisi lain, industri-industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (dahulu IPTN) dan PT PAL, menjadi buah karya yang dirintits Habibie yang menunjukkan jejak kemandirian iptek Indonesia. Yang sekaligus sebagai saksi sejarah betapa kekuatan gagasannya benar-benar ingin mengangkat posisi bangsa sejajar dengan negara maju.

Bahkan, ketika krisis ekonomi dan politik terus membayang negeri ini berkat kegigihan Habibie aset-aset industri strategis tersebut tak ikut musnah. PT Dirgantara Indonesia, yang sempat disindir melayani order pencetakan panci pasca vonis pailit, sempat memenangi tender empat pesawat penjaga pantai untuk Korea Selatan senilai 94,5 juta dolar Amerika.

PT DI juga ikut terlibat penjajakan dalam proyek pesawat tempur KFX senilai 8 miliar dolar Amerika. Tak ketinggalan PT PAL yang meski tertatih-tatih mulai membidik berbagai kontrak strategis, antara lain pengadaan kapal pengawal rudal TNI.

Namun, dari buku ini terkuak jika Habibie sangat menyesalkan mahakaryanya di bidang industri dirgantara Indonesia dipriteli akibat larangan IMF kepada pemerintah pada 1998 untuk tak meneruskan subsidi karena dinilai tak menguntungkan. Ia pun mengaku ditikam akibat kebijakan yang jelas-jelas menghancurkan industri kedirgantaraan Indonesia.

Dalam keadaan genting menjelang runtuhnya Orde Baru, banyak sekali buah karyanya yang mau dirongrong oleh generasi yang katanya mau melaksanakan reformasi. Mengatasnamakan rakyat untuk mengadakan perubahan yang tidak profesional dan tepat waktu. Yang tujuan sebenarnya untuk melakukan de-Habibienisasi, yang berujung pada berhentinya burung besi buatan Indonesia terbang mengitari langit Nusantara.

Dampaknya, saat ini pesat N-250 yang dirintis Habibie tinggal kenangan. Sekarang, pesawat komuter yang terbang melintasi wilayah Indonesia hampir semuanya buatan konsorsium buatan negara Eropa. Tak ada lagi kebanggaan hasil kreasi anak bangsa.

Judul                 : Jejak Pemikiran BJ Habibie
Editor               : Andi Makmur Makka
Penerbit            : Mizan
Edisi                 : November 2010
Tebal                : 350 halaman
Peresensi adalah Erik Purnama Putra, blogger and book reviewer.

0 comments: