Selasa, 08 Maret 2011

Lift

Selasa, 8 Maret 2011 (Unpublished)


Oleh Erik Purnama Putra

Bagi masyarakat yang hidup di daerah perkotaan dengan banyak gedung tinggi pasti familiar dengan keberadaan lift. Apalagi pekerja kantoran yang bertempat di sebuah gedung pencakar langit hampir dipastikan setiap hari akan memanfaatkan fasilitas lift jika ingin menuju ke lantai atas atau turun. Karena hampir semua gedung tinggi di atas lantai tiga biasanya memiliki fasilitas lift untuk memanjakan setiap orang jika ingin naik turun gedung tanpa perlu harus ngos-ngosan.

Lift sendiri adalah angkutan modern vertikal yang digunakan untuk mengangkut orang maupun barang dengan penggerak listrik. Keberadaan lift sekarang sudah menjadi kebutuhan bagi seseorang yang ogah jika naik turun gedung harus berjalan kaki. Apalagi jika seseorang akan naik gedung yang letaknya beberapa lantai dari dasar pasti yang bersangkutan lebih memilih memanfaatkan fasilitas lift.

Tapi, sebagaimana teknologi lain yang banyak membantu aktivitas masyarakat keberadaan lift di Indonesia tidak dimanfaatkan secara bijak oleh banyak orang. Pengalaman saya menunjukkan tak sedikit individu yang gemar naik lift daripada harus menaiki anak tangga jika ingin menuju ke lantai atas.

Yang mengherankan adalah seringkali ditemukan seseorang yang akan naik satu lantai dari tempatnya berada—misal dari lantai empat menuju lantai lima—lebih memilih naik lift daripada jalan kaki. Banyak orang yang memilih menunggu lama sampai pintu lift terbuka dihadapannya dibanding menggerakkan kakinya menuju lantai di atasnya persis. Padahal jika dihitung dari segi kecepatan waktu memilih jalan kaki jelas lebih cepat sampai dan tentu garansinya menyehatkan.

Pengalaman saya ketika kuliah bisa menjadi rujukan. Saya yang kuliah di lantai empat—dari enam lantai—suatu waktu melihat deretan mahasiswa antri atau lebih tepat bergerombol menunggu lift turun ke lantai satu setelah mengantarkan mahasiswa ke lantai atas. Karena melihat jam hampir menunjukkan pukul 07.00, saya jelas heran melihat pemandangan puluhan mahasiswa yang kebanyakan cewek, termasuk teman kelas saya yang sabar menanti menunggu giliran masuk lift.

Mereka jelas ingin cepat-cepat sampai di kelas—dengan mengesampingkan faktor ketidakdisiplinan—sebab jadwal perkualiahan akan segera dimulai, tapi tidak memilih menaiki anak tangga yang ada di samping lift. Akhirnya sembari melihat pemandangan unik itu saya menuntun langkah kaki ke lantai empat yang membutuhkan waktu hanya dua menit.

Apa yang terjadi? Beberapa menit kemudian teman saya itu datang. Saya tidak menanyakan mengapa dia dan teman-temannya lebih senang naik lift sebab hal itu termasuk privasi mereka. Tapi, saya berani menyimpulkan jika keberadaan lift sudah tidak dimanfaatkan secara tepat dan tanpa mempertimbangkan skala prioritas.

Harusnya lift lebih tepat jika dipakai untuk berpindah lantai dengan jarak beberapa lantai. Nyatanya, lift malah membuat orang menjauhi fasilitas anak tangga. Padahal energi listrik untuk menggerakkan lift sangat besar. Namun, energi itu terkuras untuk mengangkut aktivitas orang yang sebenarnya malas bergerak. Sehingga perannya tak lagi membantu pergerakan percepatan aktivitas, melainkan mendukung budaya dimanjakan teknologi.

Saya pernah berbincang dengan Prof Imam Robandi, guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, lulusan doktor Tottori University, Jepang, tentang keberadaan lift. Menurutnya, di Negeri Matahari Terbit itu lift akan dipasang jika bangunan minimal terdiri lima lantai. Di luar itu hanya akan ada anak tangga untuk memaksa individu bergerak biar sehat sekaligus upaya hemat listrik.

Etika masyarakat Jepang juga tidak akan memilih lift untuk menuju satu lantai di atas. Yang bersangkutan akan nyaman jalan kaki sebagai upaya investasi kesehatan. Dengan contoh sederhana itu kita bisa disimpulkan memang karakter masyarakat Indonesia dengan Jepang jauh berbeda. Bagi saya, lift ternyata bisa menunjukkan sebuah karakter masyarakat dalam sebuah bangsa. Percaya tidak?

0 comments: