Selasa, 15 Maret 2011

Jurnalis

Selasa, 15 Maret 2011 (Unpublished)

Oleh Erik Purnama Putra

Dunia jurnalis sungguh penuh warna. Pasalnya, dunia jurnalis menawarkan berbagai sisi kehidupan, mulai putih, abu-abu, hingga hitam. Secara pribadi saya banyak mengambil pelajaran berharga bisa nyemplung dalam dunia ini.

Tentu sebuah pengalaman berharga yang tidak ternilai dengan materi bisa belajar banyak memahami perilaku orang lain. Perilaku teman yang tidak lain adalah dari kalangan jurnalis itu sendiri yang terdiri puluhan media, cetak, elektronik, dan online, maupun dengan narasumber, entah pejabat, politisi, akademisi, aparat hukum, hingga rakyat jelata.

Namun, ada satu kekhawatiran saya yang cukup menyentak hidup di kalangan jurnalis. Persoalannya adalah terkait berkembangnya budaya penilaian tentang baik atau buruk seseorang yang didasarkan pada tolok ukur yang sangat material. Banyak di kalangan jurnalis yang menilai kualitas pribadi seseorang jika yang bersangkutan royal kepada orang lain.

Maksudnya adalah jika narasumber ringan tangan dalam membagikan kelebihan rejekinya kepada sang pemburu berita maka pasti dia akan mendapat citra baik. Jika jarang sekali membagikan ‘sedekah’ kekayaannya maka siap-siap saja akan dicap sebagai narasumber berkarakter ‘petinju’ alias pelit.

Tentu sangat menggemaskan sekali jika kalangan pemburu berita memmberikan label dengan ukuran materi. Pertama-tama saya tahu hal itu juga sempat kaget. Pasalnya jelas sangat tidak terhormat dan kurang tepat jika kualitas pribadi seseorang diukur dari royalnya dia dalam berbagi rejeki kepada sang pemburu berita. Namun, sepertinya budaya itu sudah mengakar kuat dan susah menghilangkannya.

Akibatnya muncul jurnalis aliran pragmatis. Para pemburu berita biasanya tidak mau datang memenuhi undangan narasumber jika tidak ada ‘kejelasan’. Arti kata kejelasan sendiri adalah gambaran betapa sedikit jurnalis yang datang dengan benar-benar niat murni mencari berita. Karena itu, tidak heran jika berkembang anggapan narasumber dalam mengundang pemburu berita pasti sudah menyediakan sejumlah amplop sebagai tanda terima kasih telah diwawancarai.

Saya sadar tidak semua jurnalis memiliki kelakuan buruk tersebut. Saya pun tidak mengingkari pasti sangat senang jika mendapatkan ‘durian runtuh’ dari seorang narasumber. Tapi, saya tegaskan bahwa tujuan saya kerja bukan semata-mata untuk mengejar itu, melainkan melaksanakan tugas kantor menyuplai berita.

Karena itulah setelah muncul jurnalis pragmatisme, diiringi dengan munculnya sebutan jurnalis bodreks. Jika dulu sebutan wartawan bodreks hanya disematkan untuk kalangan pemburu berita yang tidak memiliki surat kabar, maka sekarang mengalami perluasan arti. Bodreks juga disematkan kepada para jurnalis yang tugasnya hanya memburu ‘kejelasan’ dari narasumber.

Ia akan pilih-pilih dalam mencari berita dan pasti tidak akan datang jika sudah mencium bahwa narasumber pengundang diidentifikasi memiliki karakter ‘petinju’. Saya sendiri mafhum dengan keadaan itu, meski jelas faktor tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran.

Jika dirunut munculnya fenomena itu lebih karena banyaknya di antara para jurnalis yang pendapatannya jelas sangat tidak layak dan jauh dari angka upah minimun regional (UMR) di tempatnya. Saya pernah bertanya kepada jurnalis media cetak lokal yang cukup terkenal di Surabaya yang mengaku hanya digaji Rp 750 ribu per bulan dengan tambahan sekali dapat jatah makanan kotak.

Bahkan, bagi jurnalis mingguan atau jurnalis-jurnalisan mereka hanya digaji jika ada pemasang iklan yang otomatis media cetaknya akan terbit, dan itupun tirasnya sangat terbatas jika memang benar-benar dicetak. Jika tidak ada iklan—biasanya dari pejabat pemda, anggota DPRD, maupun politisi—mereka tidak memiliki pendapatan dan pasti media cetaknya juga tidak terbit. Mengenaskan tentunya melihat kenyataan itu.

Belajar dari carut-marutnya profesi jurnalis itu perlu memang adanya regulasi yang mengatur standardisasi profesi pemburu berita agar tidak semua orang bisa bekerja di bidang ini. Bukan seperti sekarang yang semua orang bisa mengklaim diri sebagai jurnalis tanpa pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang profesi jurnalis.

Tidak ketinggalan, namun penting adalah hendaknya setiap jurnalis harus memiliki martabat dan bermoral agar ketika terjun di lapangan tidak mudah tergiru berbagai godaan yang banyak muncul di lapangan. Saya sendiri pernah mengalaminya—tidak saya sebutkan secara spesifik—namun saya jadikan hal itu sebagai pelajar berharga agar di kemudian hari tidak terantuk untuk masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Saya harap dengan begitu profesi wartawan bisa dihormati orang lain dan tidak ada lagi pemburu berita memberikan stempel kepribadian kepada narasumber berdasarkan pada tolok ukur materi semata.

0 comments: