Senin, 21 Februari 2011

Sungai

Senin, 21 Februari 2011 (Unpublished)

Oleh Erik Purnama Putra

Ada tolok ukur mudah untuk menilai sebuah bangsa itu memiliki peradaban maju atau tidak. Salah satu indikatornya dengan melihat kebersihan sungai yang mengalir di perkotaan atau pemukiman padat. Sebenarnya banyak variabel untuk menilai sebuah peradaban masyarakat. Namun saya lebih memilih sungai dengan dasar pertimbangan pribadi dan gampang melakukan penilaian secara obyektif.

Saya yakin mayoritas masyarakat sangat mudah menilai sebuah sungai dikatakan kotor atau tidak. Cukup lihat warna airnya maka kita bisa langsung menyimpulkannya dengan tepat. Namun, saya yakin sepanjang pengetahuan bersama hampir tak ditemukan adanya sungai bersih yang terbebas dari kotoran, entah sampah maupun kotoran manusia di daerah perkotaan.

Hanya di puncak gunung maupun desa dengan pemukiman jarang saja masih bisa ditemukan adanya aliran sungai jernih yang ditandai munculnya ikan di permukaan yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Sungai tersebut tidak keruh dan sangat layak digunakan membasuh muka tanpa takut merasa gatal-gatal.

Namun, harus diakui kondisi jernihnya air sungai itu bukan karena masyarakat memiliki kepekaan untuk menjaga kebersihan sungai, melainkan disebabkan masih sedikit terjamah tangan-tangan usil manusia.

Karena itu, saya yakin jika penduduk sudah banyak dengan tingkat kesadaran rendah maka tinggal menunggu waktu saja sungai itu akan kotor. Dengan begitu kualitas airnya akan mengalami degradasi luar biasa dan menjadi keruh seperti di perkotaan. Yang berdampak pada ogahnya masyarakat setempat memanfaatkannya untuk keperluan sehari-hari.

Keadaan itu jelas memiriskan. Bagaimana tidak, penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim malah tak bisa menjaga kebersihan sungai. Hal itu jelas bertentangan dengan hadist Nabi Muhammad SAW berbunyi, “An-nazhaafatu minal iimaanajaran alias Kebersihan Sebagian dari Iman. Jika begitu kenyataannya, hadist tersebut hanya berupa pepesan kosong dan semboyan belaka. Masyarakat tidak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Buktinya dimana-mana setiap ketemu sungai pasti yang terlihat adalah tumpukan sampah menggunung, busa hasil limbah pabrik, dan tak jarang terlihat feses manusia mengambang mengikuti aliran air yang tenang. Itu semua terjadi salah satunya akibat kegiatan tidak produktif—memancing sembari buang air besar. Sebuah keadaan menjijikkan yang tak boleh terus dipelihara.

Yang lebih memiriskan adalah data yang dilansir Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi (Ecoton) di Surabaya, yang mengungkap bahwa sepanjang sungai Sidoarjo dan Surabaya terdapat 1.282 tempat pembuangan kotoran (WC) pinggir sungai alias WC helikopter. Di Sidoarjo terdapat 582 dan Surabaya 700 WC helikopter. Dengan panjang dua daerah tersebut sekitar 30 kilometer maka setiap satu kilometer berdiri lebih 40 WC helikopter.

Dampaknya, kualitas air di Surabaya sangat buruk dan tidak layak untuk dimanfaatkan sebagai air minum. Padahal 96 persen air PDAM yang dikonsumsi masyarakat Surabaya merupakan hasil pengolahan air sungai. Banyaknya kotoran manusia di sepanjang sungai memunculkan bahaya pencemaran bakteri Escherichia Coli—bakteri gram negatif. Belum lagi sampah rumah tangga, hotel, dan restoran, serta limbah industri membuat kualitas air menurun drastis.

Bahkan dari hasil penelitian Menteri Pekerjaan Umum dan Perum Jasa Tirta Surabaya, Ecoton meyebut sungai di Surabaya telah menampung beban pencemaran domestik sebesar 75,5 ton per hari. Rinciannya, wilayah Gresik 0,93 ton, Mojokerto 14,84 ton, Sidoarjo 26 ton, dan Surabaya 33,73 ton per hari. Dapat dibayangkan bagaimana kerusakan akibat ulah manusia yang tak memiliki rasa peduli untuk menjaga lingkungannya.

Selain akan merugikan diri sendiri dan orang lain, tindakan itu jelas bertentangan dengan agama Islam. Karena apalah artinya orang yang melakukan ibadah ritual amun tidak dibarengi dengan ibadah sosial, yang salah satunya menjaga kebersihan sungai dari segala bentuk kotoran.

Kita tentu berharap memiliki sungai dengan aliran jernih dan terbebas dari sampah seperti di Venezia, Paris, Amsterdam, maupun London. Namun, upaya untuk mewujudkan hal itu hanya bisa dicapai jika mayarakat kita disiplin dalam membuang sampah. Perspektif bahwa sungai menjadi tempat efektif pembuangan sampah harus dibuang jauh-jauh dari pikiran.

Tak usah banyak berwacana, mari kita gelorakan gerakan menjaga kebersihan sungai. Kita mulai dari diri sendiri untuk tidak membuang sampah apalagi tinjai di sungai. Kita tunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat. Syaratnya hanya dengan tidak menjadikan sungai sebagai kasus berjalan.

0 comments: