Senin, 21 Februari 2011 (Unpublished)
Oleh Erik Purnama Putra
Tulisan ini memang dibuat apa-adanya. Jika ada yang menganggap tidak sesuai maka perlu kiranya untuk memikirkan ulang pendapat itu. Karena untuk kasus ini kita sedang belajar mencerna bagaimana belajar tentang logika terbalik.
Salah satu kebaikan agama Islam yang banyak dianut masyarakat Indonesia adalah agama Samawi yang dibawa Nabi Muhammad SAW tersebut mengajarkan kepada kita cara memandang segala sesuatu dengan dua sisi pandang. Cara pandang lahiriyah dan ruhiyah. Dengan begitu, kita akan dibiasakan untuk selalu mencari hikmah tersembunyi di balik segala hal yang kita hadapi.
Tak salah jika ada anggapan hidup ini aneh. Karena kadang sebuah solusi itu tidak harus selalu mengikuti hukum alam. Sehingga dalam menyelesaikan sebuah masalah kita tak akan selalu mendapatkan kebenaran jika terus menuruti tuntunan logika.
Memang benar logika menjadi pegangan utama bagi seseorang untuk menemukan sebuah jawaban. Namun, di suatu waktu tertentu hal sebaliknya malah bisa jadi sebuah solusi. Malah, hal yang kita percayai bisa menjadi boomerang bagi diri sendiri.
Kata pepatah, ketika kita mencoba mendaki gunung maka logika pada umumnya akan menjadi terbalik jika kita sudah mencapai puncak. Karena dengan berada di pucak wawasan dan pandangan kita dalam menyikapi sesuatu bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Jadinya, sesuatu hal yang sebelumnya kita acuhkan dan dianggap buruk malah bisa menyelamatkan kita, begitu pula sebaliknya.
Logika terbalik memang kadang akan memberikan pelajaran tersendiri bagi kita. Ingat sebuah cerita di dua tempat berbeda ketika ada dua orang anak sedang memanjat pohon hingga lupa waktu tak turun-turun saking asyiknya melihat pemandangan dari atas. Ayah dua orang yang khawatir itu sama-sama mencari anaknya hingga akhirnya ketemu.
Ayah pertama yang memiliki karakter emosional dengan mudahnya langsung memarahi anaknya. Bahkan ia menuding-nuding dengan telunjuknya sambil mengancam jika tidak segera turun akan diberi hukuman. Sang anak yang mendengarkan perkataan bapaknya semakin gemetaran di atas pohon dan takut turun.
Tak lama kemudian ia menangis dan terus berpegangan di puncak pohon. Ia tak berani turun akibat ancaman ayahnya yang terus menungguinya di bawah. Melihat anaknya tak juga turun membuat sang ayah terus memendam amarah. Sehingga anak itu baru mau turun setelah ayahnya membujuknya mati-matian.
Sedangkan, ayah satunya lagi ketika mendapati anaknya yang sedang duduk manis di pohon menikmati kesendiriannya tak langsung memanggilnya, apalagi memarahinya meminta sang buah hatinya turun. Ia berpikir sejenak dan mengingat masa kecilnya dulu saat ia mendapati situasi yang mirip dengan sekarang.
Selanjutnya bisa ditebak. Sang ayah tak meminta anaknya turun dari pohon, melainkan menyuruhnya untuk tetap berada di tempatnya selama ia mau. Mendengar pernyataan ayahnya ia malah tidak enak hati dan takut jika terus berada di pohon.
Seketika ia turun secara perlahan-lahan dan menemui ayahnya sembari meminta maaf sebab tidak memberi tahu sebelumnya jika ingin bermain. Keduanya pun langsung pulang bersama ke rumahnya.
Jika kita perhatikan dengan saksama, kisah barusan adalah contoh cerdas penggunaan logika terbalik di tempat yang tepat. Berpatokan hal tersebut pemikiran kita dengan kenyataan di lapangan bisa saja berbeda sehingga dalam memecahkan masalah jangan pernah terus menggunakan pendekatan konvensional.
Paling mudah memahaminya adalah jika kita gemar memecahkan teka-teki. Tentu kita akan diajak untuk mengernyitkan dahi barang beberapa waktu untuk mendapatkan sebuah jawaban gemilang. Memang susah, tapi jika kita mampu menghasilkan solusi terbaik maka kepuasan akan kita rasakan.
Teka-teki sederhana berikut ini bisa menjadi sebuah renungan;
Di negeri Timur Tengah terdapat perlombaan pacuan kuda sejauh 10 kilometer. Lomba ini lain dari pacuan kuda biasanya, di mana antara dua fulan harus saling bertarung untuk menyelesaikan lomba paling akhir di depan garis finish.
Dua kuda yang bertanding itu memiliki fisik dan kekuatan seimbang sebab dirawat oleh orang yang sama sejak kecil. Pertanyaannya adalah bagaimana agar perlombaan terus berlangsung tanpa membosankan, dan cara agar terdapat pemenang sejati yang mampu memberikan suguhan menarik terhadap penonton.
Jawabannya sangat sederhana;
Penggunaan logika terbalik harus dilakukan dalam kasus ini. Kita tentu tidak bisa menunggu ke dua orang tersebut saling berlomba untuk lambat-lambatan. Karena jika begitu, perlombaan ini tidak akan pernah selesai dan memakan waktu lama sebab keduanya akan memilih untuk tidak membiarkan kuda pacuannya.
Tapi, jika kita melihat ketentuan pemenang lomba adalah penunggang paling akhir menyentuh garis finish dan bukan orangnya, maka lomba dapat dibuat dua orang itu saling bertukar naik alias menunggang kuda lawannya.
Yakni, penunggang kuda A menaiki kuda B, dan sebaliknya. Sehingga kedua orang tersebut bisa saling memacu secepat mungkin agar kuda yang ditungganginya paling cepat sampai. Jika begitu, maka kuda yang ditunggangi lawannya bisa finish paling akhir. Cukup mudah bukan?
0 comments:
Posting Komentar