Sabtu, 19 Februari 2011 (Unpublished)
Oleh Erik Purnama Putra
Masyarakat Indonesia itu lucu. Dimana letak lucunya? Ini terjadi ketika beberapa waktu lalu pemerintah menggulirkan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk kesekian kalinya ke masyarakat. Responnya sudah bisa diduga, yakni penentangan terhadap kebijakan itu sedemikian tinggi.
Masyarakat Indonesia itu lucu. Dimana letak lucunya? Ini terjadi ketika beberapa waktu lalu pemerintah menggulirkan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk kesekian kalinya ke masyarakat. Responnya sudah bisa diduga, yakni penentangan terhadap kebijakan itu sedemikian tinggi.
Mulai anggota DPR, politikus, aktivis, hingga masyarakat biasa, ramai-ramai menolak rencana kenaikan BBM. Padahal rencana pemerintah menaikkan harga BBM lebih pada upaya untuk membatasi konsumsi bahan bakar yang semakin tak terkendali setiap tahunnya.
Yang punya sepeda motor pasti akan merasakan dampaknya saat membeli bensin. Yang gemar naik kendaraan umum juga akan mengeluarkan biaya pembayaran lebih sebagai konsekuensi naiknya harga BBM. Alhasil penolakan berbagai kalangan itu bisa diterima tanpa perlu dipertentangkan lagi.
Alasannya yang dikemukakan bermacam-macam. Tapi, jika ditarik garis besar akan bertemu pada satu titik, “Kenaikan harga BBM akan membuat beban hidup masyarakat bertambah.” Harus diakui alasan itu bisa langsung diterima akal tanpa perlu dipikirkan ulang. Karena dengan naiknya harga BBM tentu pengeluaran masyarakat menjadi bertambah.
Di luar alasan menyalahkan pemerintah hendaknya kita bisa melakukan intropeksi. Karena jika ditelaah lebih jauh penolakan kenaikan harga BBM akan menimbulkan pertanyaan baru yang perlu penjelasan logis, sistematis, dan ilmiah. Pasalnya dari waktu ke waktu keberadaan BBM di perut bumi yang merupakan kekayaan tak terbarukan jumlahnya semakin menyusut.
Di sisi lain, permintaan akan kebutuhan BBM terus meningkat seiring dengan bertambahnya kendaraan bermotor dan mesin industri. Apalagi harga BBM di Indonesia paling murah di antara negara di kawasan. Sebagaimana diketahui dengan harga bensin (gasoline)—bahan bakar yang paling banyak dikonsumsi masyarakat—harganya Rp 4.500 per liter.
Dengan kondisi tersebut pemerintah harus menggelontorkan subsidi sebesar Rp 2.605 per liter. Sebagai perbandingan harga bensin di Vietnam sebesar Rp 7.759 per liter, Thailand Rp 8.777 per liter, Filipina Rp 8.451 per liter, dan Singapura mencapai Rp 11.560 per liter.
Menurut Direktorat Jenderal Migas, Saryono, tanpa program pembatasan, subsidi akan terus naik seiring meningkatnya konsumsi BBM. Yang memprihatinkan adalah subsidi triliunan itu justru banyak dinikmati masyarakat mampu. Rinciannya adalah 53 persen BBM bersubsidi dinikmati oleh pemilik mobil pribadi, sepeda motor menyerap subsidi sebesar 40 persen, kemudian mobil barang 4 persen, dan angkutan umum 3 persen.
Jika kenyataannya seperti itu tak ada alasan menolak kenaikan harga BBM. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya harga BBM dalam negeri terlampau murah. Memang benar jika dibandingkan negara tetangga yang pendapatan per kapitanya lebih tinggi atau lebih sejahtera dibanding Indonesia, maka menyamakan harga BBM menjadi tidak adil.
Namun, mengacu pada demi terwujudnya kebaikan bersama di masa akan datang tak ada salahnya kita mendukung kebijakan pemerintah. Pasalnya, jangan sampai generasi sekarang mewarisi kebobrokan dan masalah energi dan sumber daya tak terbarukan kepada anak cucu kita kelak.
Tak masuk akal
Yang tidak bisa diterima akal terkait penolakan harga BBM adalah di sisi lain masyarakat kita dengan entengnya mengeluarkan uang demi membeli minuman botol yang harganya sangat-sangat mahal. Jika memakai perbandingan harga BBM yang satu liter bensin hanya perlu membayar Rp 4.500. Maka masyarakat tak akan keberatan membeli minuman ringan dengan merek tertentu dalam botol ukuran 500 mililiter (setengah liter) dengan harga Rp 4.500.
Bahkan, ada pula minuman kemasan dengan volume 350 mililiter yang harganya mencapai Rp 5.500. Namun, tetap saja harga bukan menjadi kendala sebab sudah jamak dijumpai demi membasahi tenggorokannya dengan membeli minuman berkarbonasi maupun bersoda di pinggir jalan dengan harga yang lebih mahal dibanding jika mereka membeli BBM masyarakat tak mengeluh.
Padahal minuman ini bisa diproduksi tanpa batas sebab bahan pembuatnya tersedia di alam dan dapat diperbarui dengan jangka waktu terbilang cepat. Coba bandingkan dengan harga bensin yang bahannya dari fosil—bahan tak terbarukan—yang adanya di dalam perut bumi dan proses mengolahnya butuh teknologi tinggi dan memakan waktu lama.
Namun, ketika pemerintah akan menaikkan harga BBM masyarakat seketika mengeluh, tapi tidak jika membeli minuman ringan. Ini jelas sikap tidak adil yang ditunjukkan manusia. Dibandingkan dari segi apapun jelas seharusnya harga BBM jauh lebih tinggi daripada minuman botol. Kenyataannya, masyarakat lebih berat mengeluarkan uang untuk membeli bahan bakar daripada minuman ringan.
Entah apa jadinya jika suatu saat keberadaan BBM di dalam perut bumi semakin menipis. Sedangkan, permintaan terus melonjak tanpa bisa dibatasi. Apakah dengan keadaan itu masyarakat baru tersadar dan mau membeli BBM dengan harga berapapun sebab persediannya semakin sedikit. Itulah anehnya masyarakat kita yang menunjukkan gejala sedang sakit. Lucu kan masyarakat kita?
0 comments:
Posting Komentar