Ahad, 2 Januari 2011 (Unpublished)
Oleh Erik Purnama Putra
Ada sebuah keuntungan sendiri menjalani profesi wartawan. Yakni, bisa keluar masuk instansi dengan mudah dan tak perlu ribet harus meminta izin atasan. Apalagi jika instansi tersebut merupakan hotel prodeo, tempat para narapidana menjalani hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepadanya. Namun, halangan itu tak berlaku bagi saya saat berkunjung ke Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II Medaeng, Surabaya.
Bagi masyarakat biasa ada jam-jam tertentu jika ingin berkunjung ke rutan yang namanya cukup familiar di dunia kejahatan tersebut. Entah untuk bertemu sanak keluarga maupun penjaga rutan, masyarakat biasa harus melalui prosedur ketat dan tak bisa dilakukan sepanjang waktu.
Berbeda dengan wartawan. Bersama teman-teman saya bisa sesuka hati berkunjung ke Medaeng jika memang ada keperluan untuk liputan. Tinggal kontak Kepala Rutan Kelas II Medaeng, Surabaya, yang dijabat Wahid Husein, kami bisa melenggang masuk setiap saat dengan terlebih dulu meninggalkan kartu identitas di pintu masuk.
Pernah pagi, siang, sore, bahkan malam, saya berkunjung ke situ. Bermodal ingin liputan dengan menyampaikan maksud tersebut kepada kepala rutan, biasanya izin akan langsung turun.
Bisa masuk dan merasakan suasana di dalam rutan merupakan pengalaman baru yang cukup menyenangkan. Meski selama melihat sekeliling rutan harus mendapati tatapan mata tajam dari penghuninya, namun hal itu tak terlalu merisaukan. Pasalnya sebuah kewajaran bagi orang luar yang berkunjung akan merasa diawasi orang di sekelilingnya yang tidak bisa lagi merasakan kebebasan hidup dalam artian sebenarnya.
Para narapidana yang hak kemerdekaannya dicabut negara sampai masa hukumannya habis hanya bisa menjalani hari demi hari dalam kungkungan bangunan sempit. Bagaimana tidak, Rutan Kelas II Medaeng, Surabaya, yang idealnya dihuni sekitar 500 narapidana harus menampung sampai 1.700 narapidana dan tahanan.
Tentu blok khusus yang menjadi tempat orang-orang yang terlibat tindakan kejahatan tersebut semakin sempit dan pengab dengan keadaan overload penghuni tersebut. Ditambah keseharian yang hanya mengulang aktivitas seperti sebelumnya tentu berpotensi membuat para penghuni rutan mudah stres akibat terjebak dalam pola kehidupan monoton.
Belum lagi cuaca Surabaya yang cukup panas membuat tubuh gampang gerah. Sehingga dipastikan setiap orang akan merasa yakin tidak kerasan jika harus menjadi penghuni Medaeng.
Dari pengalaman yang saya dapat itu menyadarkan bahwa rasa bersyukur itu harus dimiliki dalam setiap menjalani kehidupan. Pasalnya kebebasan beraktivitas itu sangat mahal harganya sebab tidak semua orang bisa melakukannya.
0 comments:
Posting Komentar