Senin, 3 Januari 2011 (Unpublished)
Oleh Erik Purnama Putra
Banyak orang mengatakan wajah hukum di Indonesia amburadul. Kenyataan itu saya akui sendiri. Beberapa kali meliput agenda persidangan yang melibatkan terdakwa berstatus kepala daerah yang diduga terbelit kasus korupsi, membuat saya jadi ngeh tentang dunia penegakan hukum.
Benar kata orang, hukum di Indonesia berpihak kepada pemilik kekuasaan dan uang. Bagaimana tidak, hukum bisa tunduk jika berhadapan dengan orang terpandang. Meski secara terang yang bersangkutan bersalah dan terdapat bukti kuat. Namun, entah mengapa hakim yang memimpin persidangan bisa memutuskan terdakwa kasus korupsi bebas melengang tanpa perlu mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Beberapa kali saya meliput kepala daerah yang duduk di kursi pesakitan. Tak jarang pula mereka bebas murni, meski jaksa penuntut umum (JPU) memiliki bukti kuat yang bisa dijadikan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan vonis terberat.
Sayangnya, meski sudah ditambah keterangan saksi ahli yang dihadirkan khusus untuk memperkuat kesalahan terdakwa yang memakan uang rakyat. Hakim sepertinya punya pandangan lain sehingga harus mengetokkan palunya sembari mengatakan terdakwa tak bersalah dan nama baiknya harus dipulihkan.
Yang membuat jengkel. Tak jarang di kalangan wartawan sebelum sidang dimulai hasil keputusan hakim sebelumnya sudah ‘bocor’ dan diketahui pengunjung sidang. Kenyataan itu saya dapat dari rasan-rasan pengunjung sidang yang mampu memprediksi bahwa jika hakimnya, umpama berinisial A, maka keputusannya pasti A. Begitu juga bila yang memimpin sidang adalah hakim B, maka keputusan yang dibuat pasti B.
Ternyata benar perkiraan para pengunjung sidang. Dalam kasus korupsi yang membelit salah satu bupati di kabupaten di Jawa Timur yang harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, terdakwa diputus bebas. Tentu sebagai masyarakat yang peduli terhadap penegakan hukum pasti sangat kecewa melihat kenyataan itu.
Namun bagi pengunjung sidang hal itu sudah menjadi kelumrahan yang memang begitu adanya. Hukum bisa ditawar sesuai dengan kemampuan terdakwa. Yang jika mampu menyediakan dana besar, meski terjerat kasus yang berpotensi membuat hukuman terdakwa sangat berat, maka hukuman yang diterima akan sebaliknya. Bahkan bebas.
Wajar saja jika beberapa tahun terakhir Indonesia Corruption Watch menempatkan kehakiman maupun kejaksaan sebagai jajaran teratas institusi paling korup di Indonesia. Terbukti, hukum dengan mudah diperjualbelikan seenaknya sendiri dengan mengkhianati hati nurani masyarakat.
Karena itu, sangat pantas jika masyarakat akhirnya menaruh kepercayaan yang amat sangat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di tangan KPK, tak ada koruptor yang bisa bebas dari jeratan hukum. Yang kenyataan itu sulit ditemukan di PN kabupaten/kota di Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar