Kamis, 8 Desember 2010 (Republika Jawa Timur) 
Oleh Erik Purnama Putra
Hukum sepertinya hanya untuk kalangan berada. Kenyataan pahit itu  dirasakan Saidah (56 tahun), nenek Noval (10), siswa kelas 4 SD Dumas,  Jalan Jepara Nomor 7, Surabaya. Bersama Robby (12), teman satu tingkat  di sekolahannya, keduanya harus merasakan status terdakwa melekat pada  dirinya akibat melakukan pengeroyokan terhadap Rifki, siswa kelas 4 SDN  Jepara, Surabaya.
Dalam sidang ketiga di Pengadilan Negeri  (PN) Surabaya, Rabu (8/12), kedua anak tersebut dituntut jaksa penuntut  umum (JPU) I Made Suryana, dengan Pasal 170 dan 351 KUHP tentang  Bersama-sama Berbuat Kekerasan dengan ancaman hukuman 10 sampai 12 tahun  penjara. Hingga tiga kali persidangan, baik Rifki maupun Nidi (ayah  Rifky) tak pernah datang dan semua tuntutan disampaikan JPU. Sidang  selanjutnya digelar Selasa (14/12) mendatang dengan agenda pembacaan  vonis.
Selepas sidang, kepada Republika, Saidah  menjelaskan kronologis kejadian yang menimpa cucunya dan temannya.  Saidah menerangkan bahwa kasus pengeroyokan terjadi medio Maret lalu.  Bermula dari Noval dan Robby, yang sepulang sekolah meminta uang kepada  Rifki sebesar Rp 1.000. Karena tak dikasih, kedua anak tersebut  mengeluarkan bogem mentah dan tepat mengenai wajah Rifky hingga  menimbulkan memar membiru di wajahnya.
Karena kesakitan  habis dipukul, Rifki pulang sembari menangis dan melaporkan kejadian  yang dialaminya kepada ayahnya, Nidi, yang berprofesi sebagai pengacara.  Mengetahui anaknya barusan dipukul teman sebayanya, Nidi tidak terima  dan mengganggap anaknya habis dipalak preman kecil.
Berbekal  pengakuan dari anaknya, terang Saidah, Nidi melaporkan kejadian itu  kepada aparat Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polwiltabes  (sekarang Polrestabes) Surabaya. Namun, kata Saidah, polisi tak  serta-merta menuruti keinginan Nidi, sebab masalah yang terjadi sangat  sepele dan bisa diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan.
Sayangnya,  karena terus mendesak aparat kepolisian dengan berargumen berbagai  pasal hukum dalam KUHP yang tidak dimengerti Saidah, akhirnya kasus  aduan anak Nidi ditindaklanjuti penyidik. Saidah bersama keluarga Robby  pun beberapa kali harus memenuhi panggilan penyidik untuk mendampingi  Noval yang dimintai keterangan polisi.
“Disitu saya  sengaja beberapa kali ditemukan polisi dengan Pak Nidi. Saya sudah  berkali-kali meminta maaf, namun tak ditanggapinya. Akhirnya, polisi  akhirnya menetapkan cucu saya sebagai tersangka bersama Robby,” terang  Saidah.
Perjuangan Saidah untuk melunakkan hati Nidi tak  hanya berhenti sampai disitu. Nenek yang sehari-harinya bekerja sebagai  pembersih lantai tahanan PN Surabaya tersebut mengaku sering berkunjung  ke rumah Nidi untuk melunakkan hatinya dengan harapan laporan di  kepolisian bisa dicabutnya.
Meski berstatus tetangga  dekat, di Jalan Dupak Masigit Gang 9, Kelurahan Jepara, Kecamatan  Bubutan, Surabaya, Saidah yang tinggal di kontrakan dan Nidi bertempat  di rumah mewah dengan segala perabotannya tak mau mempedulikannya.  Meski, Saidah sudah mengiba hingga memohon sampai menangis, namun  egoisme yang menguasai pikiran Nidi tak runtuh.
Tak cukup,  bahkan Kepala Sekolah SD Dumas, Slamet Riyadi, sempat berusaha  mendamaikannya secara kekeluargaan sebab pelakunya masih anak-anak dan  kurang pas jika tindakan itu disebut pemerasan. “Namun, lagi-lagi  mediasi yang dilakukan tak berhasil karena Pak Nidi ngotot laporan  polisi sudah berjalan sehingga tak bisa dicabut,” jelas Saidah yang mengaku sering melihat Nidi mondar-mandir di PN Surabaya mengantarkan kliennya dalam persidangan.
Saidah  mengaku takut jika cucunya masuk penjara sebab ia bisa merasakan  kesedihan orang yang di penjara. “Jika sampai di penjara kasihan cucu  saya sebab akan kehilangan kebahagiaan selamanya. Saya mohon mas  wartawan membantu saya. Saya sudah tak tahu lagi harus meminta bantuan  kemana lagi,” katanya sambil berkaca-kaca.
Ia pun  memaklumi jika kenakalan Noval akibat kurang mendapat kasih sayang dari  orang tuanya. Noval yang dari keluarga yatim dan miskin hanya diberi  uang saku seadanya sebab penghasilan yang didapat orang tunya tak  menentu. “Kadang jika saya punya rezeki saya kasih Rp 2 ribu. Jadi,  pasti cucu saya tak berniat buruk dengan meminta uang Rp 1.000 kepada  Rifki,” ungkapnya.
Sedangkan, Kepala Sekolah SD Dumas,  Slamet Riyadi, mengaku kecewa dengan orang tua Rifki yang tak mau  mencabut laporan terhadap dua anak didiknya. Pasalnya, akibat harus  meluangkan waktu mengikuti sidang di PN Surabaya, Noval dan Roby harus  sering tidak mengikuti pelajaran sekolah. “Hari ini (Rabu) saja mereka  ada jadwal ujian akhir semester. Tapi, mereka harus sidang disini. Jadi  agenda belajarnya terganggu,” kata Slamet.
Sementara itu,  majelis hakim yang memimpin persidangan, Unggul Ahmadi, mengatakan akan  mempertimbangkan status anak-anak dan tak akan menuruti keinginan JPU  yang menyatakan perbuatan Noval dan Robby sebagai tindakan kriminal  murni. “Saya jelas tak bisa menghukum dua tersangka dengan pasal yang  sama dengan orang dewasa tentang penganiayaan. Yang pasti kasus ini tak  bisa dihentikan dengan dasar apapun,” jelasnya.
Jikapun  keduanya dalam putusan dinyatakan bersalah, Unggul mengatakan hukumannya  tak harus di penjara. Bisa dikembalikan kepada orang tuanya agar  dididik lebih baik lagi atau diserahkan kepada negara untuk mendapatkan  pembinaan agar dikemudian hari tak mengulangi kesalahannya lagi. “Saya  tak bisa menceritakan putusan nanti sebab sidang belum dilakukan. Dalam  membuat keputusan saya juga berpegangan aspek kemanusiaan sebab keduanya  masih anak-anak dan memiliki masa depan,” tukas Unggul.


0 comments:
Posting Komentar