Selasa, 23 November 2010 (Republika)
Hati Samsul Huda (35 tahun) berbunga-bunga. Setelah menunggu empat tahun lamanya, Hariyatin (32), istrinya, bisa pulang ke Indonesia.
Hariyatin sebelumnya bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi. Lewat sambungan telepon, Hariyatin meminta Samsul menjemputnya di Bandara Juanda, Rabu 4 Agustus lalu.
Sayang, bukan kebahagiaan yang muncul, tetapi justru kesedihan. Rabu itu, Samsul menunggu hampa di bandara. Tak sekali pun ia melihat sosok istrinya. Sementara, Hariyatin tak tahu keberadaan Samsul. Keduanya saling mencari.
"Akhirnya, setelah seharian mencari, saya menemukan istri saya. Kesulitan bertemu itu karena saya pangling pada wajah istri saya," kata Samsul membuka kisahnya kepada Republika, Senin (21/11).
Wajah Hariyatin, jelas Samsul, berubah 180 derajat. Fisik ibu satu anak ini tak lagi seperti dulu karena mengalami siksaan. Kepalanya penuh bekas luka. Matanya buta.
Batin Samsul menjerit. Cobaan tidak hanya datang dari istrinya yang kini cacat. Selama bekerja di Arab Saudi ternyata Hariyatin tak pernah diupah.
Ia lalu menceritakan kronologi penyiksaan istrinya. Hariyatin berangkat ke Arab Saudi pada Desember 2006. Ia hanya membayar Rp 700 ribu kepada biro penyalur jasa tenaga kerja Indonesia (TKI) PT Kemuning Bunga Sejati. Perusahaan ini punya cabang di Blitar, kampung Hariyatin.
Sebelum diberangkatkan, Hariyatin mendapat pelatihan selama 10 hari di Jakarta. Di Arab Saudi, Hariyatin seharusnya menjadi pembantu rumah tangga Haya Mubarok di Riyadh. Namun, sesampainya di sana ia dipindahkan ke rumah Fatma, anak Mubarok.
Pada awalnya segala sesuatu berlangsung normal. "Memasuki bulan kedua, istri saya mulai mengalami perlakuan kasar dari Fatma," kata Samsul.
Siksaan pun bertambah sering. Menjelang setahun bekerja di rumah Fatma, setiap hari bagian badan, kepala, dan mata Hariyatin terus-terusan dipukuli. "Akibatnya saraf mata istri saya putus dan bola mata kirinya rusak, sebab terus diperlakukan secara tak manusiawi," kata Samsul.
Sialnya lagi, saat di tanah perantauan Hariyatin tak leluasa menghubungi Samsul untuk mengadu. Hanya pada bulan-bulan awal bekerja komunikasi lancar. Selebihnya, Samsul tak lagi bisa menghubungi istrinya.
Nomor yang diberikan Hariyatin setiap ditelepon tak bisa tersambung. "Dari situ saya mulai bertanya-tanya dengan keadaan istri saya. Tapi, saya tak bisa berbuat apa-apa," terangnya.
Akhirnya pada pertengahan 2010, satu telepon dari Hariyatin mengagetkan keluarga di Desa Bakalan RT/RW 03/05, Kecamatan Wonodadi, Blitar. "Istri saya bisa menelepon berkat pertolongan saudara majikannya yang kasihan. Istri saya diberi telepon dan sejumlah uang untuk membeli tiket pulang," katanya.
Dari telepon inilah Samsul mengetahui istrinya selama bekerja menjadi pembantu tak pernah digaji sepeser pun. Malahan, Hariyatin harus bekerja siang-malam tanpa henti sembari dipukuli.
"Banyak luka fisik yang diterimanya. Bahkan, karena sering dipecut dengan menggunakan selang plastik di bagian mata, akhirnya istri saya mengalami gangguan penglihatan sebelum menjadi buta total," ungkap Samsul.
Samsul menceritakan, istrinya sudah lima kali mencoba kabur, tapi selalu ketahuan majikannya dan diseret lagi ke rumah, lalu dikurung agar tak berbuat macam-macam. "Istri saya saat kabur tak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa. Jadi, setiap mencoba kabur selalu gagal dan mendapat penyiksaan lebih kejam dari majikannya," kata Samsul.
Samsul pun sangat kecewa dengan biro jasa penyalur istrinya yang seolah lepas tangan, tak mau memberikan bantuan pengobatan atau dana tali asih. Padahal, sebelumnya terdapat perwakilan dari PT KBS yang mengajaknya berdamai untuk menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan.
"Tapi, nggak ada realisasinya. Mereka hanya janji-janji. Bisa jadi malah lupa pada kewajibannya sekarang," tegas Samsul.
Karena kondisi kedua matanya yang buta, Samsul pun sempat membawa Hariyatin bolak-balik sejumlah rumah sakit. Pertama ia dibawa ke RS Wlingi, Blitar. Namun, karena keterbatasan alat medis, ia dirujuk ke RS Mata Undaan.
Kemudian, Hariyatin dipindah ke RS Bhayangkara Polda Jatim. Sialnya, meski sudah di negeri sendiri, nasib Hariyatin tetap terlunta-lunta. Dokter di RS Bhayangkara mematok tarif Rp 3 juta tiap kali periksa.
Samsul yang punya pekerjaan serabutan ini jelas angkat tangan. Dompetnya tak setebal permintaan dokter. Akhirnya ia mengajak istrinya pulang ke Blitar pada Jumat (19/11) lalu.
Samsul menyesalkan tak adanya perhatian dari pemerintah, mulai dari Kabupaten Blitar, Pemprov Jatim, hingga pusat. Tak ada bantuan advokasi maupun keuangan. Bantuan yang masuk hanya dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Tapi, uangnya sudah ia gunakan untuk biaya sekolah putri mereka, Wulan Asnaningrum.
Samsul memang tak mengharap dikasihani. Namun, ia mengharap adanya bantuan yang akan digunakannya untuk keperluan perawatan istrinya agar kesehatannya bisa lebih baik. "Saya hanya meminta pertanggung jawaban semata dari pemerintah. Hanya itu yang saya inginkan, sebab sejauh ini tak ada perhatian dari mereka," katanya dengan nada getir.
0 comments:
Posting Komentar