Selasa, 26 Januari 2010 (Republika)
Oleh Erik Purnama Putra
Hukum di Indonesia itu seperti pisau dapur, tajam di bawah, tumpul di atas. Memvonis orang bawah itu sangat tajam, tetapi kalau ke atas tumpul. Analogi di atas pantas dialami David Dwi Yusuf, seorang anak berusia sembilan tahun.
Siswa kelas 3 SD Negeri Dr Sutomo VIII Surabaya itu memilih menyendiri karena takut dengan orang asing. Bahkan, beberapa hari ini. anak dan Seno Pranggono yang bekerja sebagai tenaga penjual (salesman) itu tak masuk sekolah karena masih trauma sebab terancam masuk penjara.
David yang dikenal penang dan banyak disenangi kawannya harus menjalani pemeriksaan di kepolisian hingga dihadapkan pada pengadilan gara-gara masalah sepele. Awalnya, dia cuma bermaksud guyonan dengan menyen-gatkan lebah (tawon) ke temannya bernama Dian. Namun, orang tua Dian yang berdinas di Kepolisian Daerah Jawa Timur tak terima dan memper-salahkarmya secara hukum.
Kondisi mental David terus terganggu hingga tak bisa berkonsentrasi belajar setelah beberapa kali memenuhi panggilan kepolisian dan kejaksaan. "David sekarang tak bisa masuk sekolah karena konsentrasinya pecah akibat memikirkan masalah itu," tutur Astutik, wali kelas 3 SDN Dr Sutomo VIII.
Peristiwa tersebut berlangsung pada 3 Maret 2009 lalu. Seusai pulang sekolah pukul 12.30 WIB. David sedang menunggu kendaraan jemputan yang akan mengangkut siswa pulang. Di kala menanti mobil jemputan, David bersama teman-temannya bermain sambil berlari-lari.
Di tengah bermain, muncul ide keusilan David. Ia berinisiatif mengambil seekor lebah yang hinggap di gerobak penjual es kelapa muda. Lebah yang biasa beterbangan di halaman sekolah itu lantas didekatkan ke temannya.
Tak disangka, seekor lebah di tangan David tiba-tiba menyengat pipi Dian. "Dian langsung menangis karena menahan sakit di pipinya yang mulai bengkak akibat disengat," ujar Astutik.
Usai diobati dan tangisan Dian reda. David dan teman-temannya pulang setelah kendaraan jemputan datang. "Karena tak terjadi sesuatu yang serius, semua siswa mulai pulang ke rumah masing-masing," lanjut Astutik.
Beberapa han kemudian, Astutik menganggap kejadian itu berlalu begitu saja karena ia tak mendapat laporan dah para siswa. Apalagi, para siswanya tak ada yang menyinggung kejadian itu. Tapi, prediksinya meleset.
Selang empat bulan usai penstiwa sengatan lebah, As-tutik kaget ketika ayah Dian, Komisaris Supardi Astiko. yang berdinas di Polda Jatim, melaporkan masalah itu ke Polres Surabaya Selatan. Oleh petugas kepolisian, kasus ini mulai ditindaklanjuti.
Kasus terus bergulir. Pada bulan November, berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejan) Surabaya dan dilakukan sidang pertama kali di PN Surabaya pada 30 Desember 2009.
Astutik makin kecewa tatkala mengetahui bahwa tuduhan ayah Dian yang melaporkan tindakan David hanya mengada-ada dan tak sesuai realita. "Masak di laporan tertulis bahwa David menyiapkan lebah hitam besar dari rumah dan sengaja menyengatkan lebah itu untuk melukai pipi Dian," paparnya.
Karena merasa bertanggung jawab, pihak sekolah berusaha ingin mendamaikan masalah itu dengan mengundang kedua orang tua David dan Dian. Tapi, hanya orang tua David yang datang, sedang Supardi sulit ditemui.
"Saya langsung saja mendamaikan masalah itu secara kekeluargaan. Meski orang tua Dian sulit ditemui, mereka menunjukkan iktikad baik untuk berdamai. Sehingga, pihak sekolah mengganggap masalah itu selesai sebab laporan dari kepolisian juga sudah tak ada kabarnya lagi," papar Astutik.
Polisi tak mempertimbangkan David yang masih di bawah usia orang dewasa dan tetap memprosesnya seperti orang dewasa. Setelah dilimpahkan ke kejaksaan, David yang aktif dalam kegiatan drumben di sekolahnya diancam hukuman maksimal 32
bulan penjara.
bulan penjara.
Jaksa beralasan, tindakan David sebagai bentuk penganiayaan sesuai Pasal 351 KUHP. Senin ini (25/1), Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya akan menjatuhkan vonis untuk menentukan apakah David bersalah atau tidak.
Keheranan Astutik juga dialami Semin, pedagang es kelapa muda yang juga saksi mata kejadian itu. Semin mengakui, lebah yang diambil David untuk menakut-nakuti teman-temannya itu berasal dari botol pemanis es kelapa miliknya.
Sehingga, lelaki berusia tua itu berani bersumpah bahwa David tak ada niatan untuk mencelakai temannya, namun hanya guyonan. "Itu kan lumrah bagi anak kecil," ucapnya.
Psikolog Salis Yuniardi mengatakan, tak seharusnya anak dihadapkan pada pengadilan dewasa. Karena, dalam kasus sengatan lebah, bisa saja si anak itu tidak menyadari perbuatannya keliru sebab anggapannya hal itu seperti permainan belaka.
Sehingga, katanya, sangat tak tepat jika anak harus sampai diinterogasi orang dewasa sebab akan menimbulkan ketakutan hingga traumatik pada anak dan membekas hingga dewasa. "Lebih baik, orang tua mesti berperan untuk menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan agar jiwa anak terfokus pada masalah itu." saran Salis. Mungkin benar, David Dwi adalah salah satu korban tajamnya pisau keadilan.
Selasa, 2 Februari 2010 (Republika)
Selasa, 2 Februari 2010 (Republika)
Petaka Sengatan Lebah
Oleh Erik Purnama Putra
Seno Pranggono dan Ani Sulistyowati tak kuasa menahan air mata. Begitu anak kesayangannya divonis dengan hukuman dikembalikan kepada orang tuanya, airmata yang sudah mengembung di sudut matanya itu langsung tumpah bersamaan dengan teriakan histerisnya.
“Saya gembira, anak saya tidak dipenjara,” kata Seno yang bersama istrinya mendekap erat David Dwi Yusuf, anaknya, siswa Kelas 3 SDN dr Sutomo VIII Surabaya. David sebelumnya menjadi terdakwa kasus sengatan lebah kepada temannya. Dian Nirmalasari, anak seorang polisi di Surabaya.
Dalam sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (1/2), hakim Yahya Sutriadi menjatuhkan vonis bersalah kepada David. David diputuskan dikembalikan kepada orang tuanya, tidak dimasukkan ke penjara sebagaimana tuntutan yang didakwakan kepadanya dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
“Saya akan bina David agar kejadian itu tak terulang,” kata Seno, meski dia tetap menyayangkan kenapa anaknya divonis bersalah.
Cerita berawal dari sepulang sekolah. Saat itu David dan teman-temannya berdiri di sebelah pedagang es. Melihat ada lebah hinggap di dagangan es, David langsung mengambilnya. Secara bergurau lebah itu didekatkan ke pipi Dian. Tapi tanpa disangka, lebah tersebut dengan cepat menyengat pipi teman sekelasnya itu. Tak pelak pipi mungil itu menjadi bengkak.
Rupanya orang tua Dian tidak terima dengan kelakuan David. Dia pun kemudian melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Laporan itu direspons dengan cepat, barangkali karena orang tua Dian seorang polisi di Surabaya. Akhirnya seperti yang sudah kita lihat, kasus kenakalan anak SD ini masuk ke ranah pengadilan.
Sedianya sidang vonis digelar 25 Januari silam. Tetapi, saat itu kondisi David tidak stabil. Badan demam. Apakah demam itu akibat dari depresi yang dirasakan anak SD itu, tidak begitu jelas. “Anak saya sakit, sehingga butuh istirahat, itu saja,” kata Seno menjelaskan ketidakhadiran anaknya di sidang saat itu.
Kali ini, dalam persidangan David relatif tenang meski harus duduk di kursi pesakitan. Peniup terompet dalam tim drumband itu mengatakan biasa saja ketika duduk di kursi terdakwa dan harus mengikuti persidangan kasusnya di depan hakim. Karena ia mengaku banyak teman di sekelilingnya yang memberi dukungan, sehingga ia bisa rileks dan tanpa beban meski duduk di depan hakim.
“Banyak teman-teman yang memberikan dukungan,” kata David. Memang, dalam persidangan tersebut, Astutik, wali kelas III tempat David sekolah, mengerahkan satu kelas terdiri atas 22 siswa didiknya ke pengadilan.
“Saya mengajak para siswa agar David tak tertekan dan dengan dikelilingi teman-temannya, dia akan merasa seperti berada di sekolah,” kata Astutik. Sebetulnya, jumlah murid yang akan ikut jauh lebih banyak, tapi Astutik sendiri yang membatasi, agar kegiatan belajar-mengajar tak banyak terganggu.
Persidangan itu sendiri sejak awal sudah banyak diprotes oleh masyarakat. Bahkan, hakimnya sendiri pernah mengatakan bahwa kasus ini tak layak masuk di persidangan, karena melibatkan anak kecil. Tingkat kenakalannya pun masih dalam taraf kenakalan anak-anak.
Barangkali perasaan itu pula yang hinggap di hati jaksa pada akhir rangkaian persidangan. Jaksa penuntut umum, Syahroli, sebelumnya ngotot ingin menjerat David dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, dengan ancaman hukuman maksimalnya 32 bulan penjara. Kemarin, kengototannya sirna.
“Saya melihat si terdakwa masih anak-anak dan belum layak dituntut hukuman penjara,” kata Syaroli yang sebelum sidang sudah membocorkan dulu tuntutannya. Tuntutan Syaroli yang diajukan adalah agar terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya. Harapannya, dengan dikembalikan ke orang tua, David tak mengulangi lagi kenakalan itu di kemudian hari.
Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi, yang mengaku mengikuti proses persidangan itu berkomentar bahwa saat ini sudah tak zamannya lagi orang tua menggunakan pendekatan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah. Idealnya, masalah anak-anak itu harus diselesaikan secara arif dan kekeluargaan, tak boleh dengan emosional.
Menurut dia, tak tepat jika kasus guyonan sengatan tawon itu bisa sampai masuk ranah hukum. “Kok hari gini masih ada orang tua yang menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah yang menimpa anaknya. Hal itu kan sudah bukan zamannya lagi,” kritiknya.
Sedangkan Sulistyo dari PB PGRI Jakarta menyayangkan kasus anak-anak itu sampai harus diselesaikan.ke pengadilan. Mengingat kejadian itu lebih pada sebuah bentuk keusilan anak-anak kepada temannya, sehingga sangat janggal jika David sampai dihukum. “Tak benar proses persidangan itu. Kejadian itu hanya main-main, hukuman
yang dijatuhkan itu seharusnya tak terjadi,” tukasnya.
Di mata Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak (PA), Aris Merdeka Sirait, vonis bersalah yang dijatuhkan kepada David merupakan tindakan pelanggaran hak anak. Mestinya, kata dia, keputusan majelis hakim dalam perkara ini adalah pembatalan persidangan karena kasus tidak layak dijatuhi pasal 351 ayat 1 KUHP tentang tindak kekerasan yang mengakibatkan orang lain kesakitan dan tergolong perbuatan tidak menyenangkan.
Menurut Aris, berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) lima menteri dan kepolisian pada Desember 2009, jelas bahwa anak usia di bawah 12 tahun yang melakukan tindak pidana ringan (tipiring) atau tidak terbukti melakukan kriminalitas otentik dikenai keadilan restoratif atau diversi.
Keadilan restoratif adalah pendekatan untuk keadilan di mana pelanggar didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka dan memperbaiki kerugian yang telah mereka lakukan- dengan meminta maaf atau melakukan pelayanan masyarakat.
Kini, David memang telah hidup bebas kembali. Tapi, sebagaimana dikatakan Aris Merdeka, kejadian seperti ini tidak boleh terulang. Karena itu, perlu hakim yang memahami aturan keadilan restoratif, dan juga ditunjuk jaksa yang memahami peraturan itu agar tidak terjadi lagi kasus David-David yang berikutnya. ed anif punto utomo
0 comments:
Posting Komentar