Jumat, 19 November 2010 (Harian Bhirawa)
Nelson Mandela dikenal masyarakat dunia sebagai pejuang kemerdekaan melalui politik anti apartheid (rasial). Dia pula yang membantu mempersatukan penindas dan yang tertindas di Afrika Selatan (Afsel) dengan suatu cara elegan, yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Meski kita tahu sejarah sepak terjang sosok Presiden Afsel kulit hitam pertama tersebut. Namun, masih sedikit informasi yang mengungkap secara detail kepribadian Mandela—panggilan populer Nelson Mandela.
Seperti buku The Last Lecture atau Tuesday with Morrie, yang mengajarkan makna kehidupan dan harapan. Buku ini pun memberikan perbedaan ajaran hidup luar biasa sebab mengabdikan semangat pejuang mewakili manusia biasa yang menjadi sosok luar biasa dengan tekad ingin membawa perubahan.
Maka itu, jangan heran seandainya saat membaca tak terasa hati terketuk untuk memikirkan ulang berbagai hal yang selama ini kita terima begitu saja, tanpa sadar kita mengabaikan rasa syukur atas nikmat yang didapat.
Buku ini tersusun dari percakapan antara editor majalah Time Richard Stengel dengan Nelson Mandela melalui percakapan intens yang melewati waktu ratusan jam. Melalui ujian berat yang dihadapi Mandela dalam hidupnya, penulis menyajikannya ke dalam bentuk lima belas ulasan tentang pelajaran penting kehidupannya, yang menginspirasi pembaca.
Dari Mandela, kita bisa belajar banyak arti hidup, seperti keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, bahwa cinta menciptakan perbedaan, dan persamaan dapat diwujudkan dengan kedudukan status setara. Ia juga mengajarkan memimpin tak harus selalu memerintah, melainkan mendorong anak buah untuk ikut serta terlibat dalam mengambil tindakan. Sehingga memimpin harus dilakukan dari belakang dan depan, tergantung situasi di lapangan.
Pengalaman mendekam dalam sel tahanan sempit dan tak layak huni di Robben Island selama hampir 27 tahun hingga bebas pada 1990, mampu membentuk karakter Mandela. Dari pribadi yang gampang meledak-ledak saat masih muda, menjadi sosok penuh kontrol dan tenang dalam pembawaannya setiap menghadapi persoalan. Mandela mengakui bahwa penjara adalah guru hidupnya.
Guru yang sanggup mengubah kepribadian yang dapat kita lihat sekarang. Satu ajaran yang perlu kita catat dan renungkan. Mandela tak pernah ingin membalas dendam kepada kaum kulit putih yang memperlakukannya secara tak manusiawi, meski punya kesempatan untuk itu.
Ia lebih memilih memaafkan kepada semua pelaku yang pernah menyakiti hatinya demi keutuhan dan kemajuan Afsel, meski ia berpesan agar sejarah kelam itu tak dilupakan begitu saja oleh masyarakat setempat.
Tujuannya ia memilih cara itu adalah untuk mempersatukan negeri heterogen dalam persatuan agar terhindar dari rasa sakit akibat cabikan pertempuran dalam satu bangsa seperti masa lalu.
Pilihan kebijakan visioner dengan tak mengusir penduduk kulit putih hingga memberikan jaminan keamanan untuk tetap tinggal di rumahnya berdampak sangat cepat terhadap upaya rekonsiliasi dengan warga asli kulit hitam yang selama ini tersisihkan.
Alhasil, dengan mendesak ego pribadinya dan mengedepankan asas manfaat bersama dia berhasil membuat negara pelangi tersebut menjadi negara damai dan demokratis setelah mengantarkannya menjadi Presiden Afsel pertama melalui pemilihan langsung.
Di sisi lain, keteladanan penting yang perlu ditiru adalah sifat tak malu ingin belajar kepada orang yang ahli di bidangnya sebelum mengambil kebijakan negara. Mandela tak segan mengaku ingin belajar dan tak malu akan keterbatasan wawasan yang dimilikinya.
Karena dengan begitu, ia bisa menyerap ilmu dari sang pakar sehingga terjadi transfer ilmu, yang itu berarti sarana memberdayakan yang bersangkutan untuk dijadikan partner dalam membangun negeri.
Untuk masalah itu, Mandela berkeyakinan, ”Ketika kau memberikan kepercayaan kepada orang lain, kau menambah kesetiaan mereka terhadap dirimu.” Filosofi itu diaplikasikan betul olehnya untuk digunakan sebagai cara memperbanyak sekutu dan rekan.
Meski begitu, Mandela bukan sosok sempurna. Saat muda dan berjuang ingin agar negaranya merdeka. Melalui ANC, ia menerima pragmatisme yang mengalahkan prinsip yang dianutnya terkait perjuangan nonkekerasan.
Lelah dengan kebijakan yang konsisten, namun tak membawa hasil, ia setuju menggunakan kekerasan sebagai taktik demi terwujudnya kepentingan politik yang diusungnya. Sikapnya yang berani bertentangan dengan ajaran yang dianutnya membuktikan dirinya adalah pribadi dinamis dan fleksibel.
Namun, ia menilai hal itu lebih karena kondisi yang memaksanya untuk tak selalu sejalan dengan ajaran Ghandi, yang menebarkan aksi cinta damai dalam berjuang merebut kemerdekaan. Sehingga, buku ini tak semata mengungkap sisi positif peraih Nobel Perdamaian 1993, tersebut.
Tak pelak, penulis ingin menyampaikan pesan agar pembaca merenungi tentang segala warisan yang akan kita tinggalkan kepada generasi selanjutnya. Apakah bermanfaat atau jejak buram yang membawa petaka.
Judul : Mandela’s Way
(Lima Belas Pelajaran tentang Hidup, Cinta, dan Keberanian)
Penulis : Richard Stengel
Penerbit : Esensi (Erlangga Group)
Tahun : 2010
Peresensi adalah Erik Purnama Putra, alumnus Universitas Muhammadiyah Malang
0 comments:
Posting Komentar