Senin, 27 Desember 2010 (Unpublished)
Oleh Erik Purnama Putra
Suatu ketika pada pertengahan tahun 2010, saya lupa persis tepatnya, terdapat demo yang dilakukan sekelompok massa di depan Gedung Negara Grahadi, Jalan Yos Sudarso, Surabaya—Kantor Gubernur Jawa Timur. Massa yang berjumlah puluhan orang dan mayoritas seumuran mahasiswa dengan pakaian serba hitam meneriakkan yel-yel kelompoknya untuk membakar semangat aksi yang dilakukannya.
Entah bagaimana ceritanya, para pendemo itu terlibat aksi saling dorong dengan belasan petugas keamanan dari Polwiltabes (sekarang Polrestabes) Surabaya, yang disiagakan disitu. Meski berjumlah lebih banyak, namun pendemo kocar-kacir setelah polisi mengeluarkan pentungan dan memukul secara membabi-buta yang dialamatkan kepada pendemo, yang dinilai sudah melebihi batas dan cenderung tak bisa dikendalikan.
Kontan, momen itu menjadi incaran para fotografer, yang ikut serta mendekati baku hantam antara pendemo dengan pak polisi. Selang lima menit kemudian, pendemo semburat dan buyar dengan sendirinya setelah berhasil dipukul mundur.
Namun, masalah belum selesai. Koordinator lapangan (korlap) aksi dengan wajah pucat tampak gelisah dan mondar-mandir di depan Grahadi, tempat petugas keamanan berkumpul setelah menjalankan tugasnya mengendalikan keamanan. Yang bersangkutan tampak menunjukkan wajah masam setelah berbincang sebentar dengan para polisi yang sedang menunggu jemputan truk pengangkut.
Tak disangka, datang Wakil Kepala Polwiltabes Surabaya, berinisial BD, dengan pangkat dua melati di pundak. Kedatangan komandan yang dikenal dekat dengan insan pers ini dimanfaatkan dengan cerdik oleh sang korlap pendemo tadi. Ia menceritakan kronologis kejadian yang menimpanya.
Ia menjelaskan kepada BD jika dompet miliknya disita salah satu petugas dan ia kecewa setelah hampir semua yang ada disitu tak ada yang mengaku saat ditanya. Kejadian yang tak disangka BD itu membuatnya marah dengan memanggil para anak buahnya. Mereka yang sebagian sudah naik truk disuruh turun dan tak boleh ada yang pergi sebelum dompet si pendemo kembali.
Apalagi kejadian itu didengar langsung sebagian wartawan yang belum beranjak meninggalkan lokasi. Setelah berteriak kepada seluruh anggotanya, datang satu petugas dari seberang jalan dengan tergopoh-gopoh sambil menyerahkan dompet kepada komandannya. BD yang menerima dompet langsung menyerahkannya ke pemiliknya setelah barang di dalam dompet dipastikan utuh.
Masalah tak berhenti sampai disitu. Korlap pendemo tiba-tiba bercerita kepada wartawan bahwa polisi telah berbuat kekerasan dengan memukuli pendemo. Untuk memperkuat pernyataannya, ia juga menunjukkan bekas luka di tubuhnya akibat hantaman benda tumpul yang berasal dari tongkat petugas keamanan.
Mendapat pengakuan tersebut kontan wartawan antusias mengutip omongan korlap pendemo barusan. BD yang menyadari institusinya dipojokkan langsung menyuruh pendemo yang banyak omong tersebut untuk pergi atau bakal ditindak.
Melihat ketegas BD, pemuda tadi langsung ngacir. Gantian wartawan meminta konfirmasi kepada BD tentang kebenaran polisi bertindak militeristik dengan menggebuki pendemo tanpa mempedulikan rasa kemanusiaan.
Saya yang waktu itu bersama teman dari Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Jawa Timur yang dekat dengan posisi BD, langsung dirangkulnya. Bukannya menjawab pertanyaan kami. Sang komandan langsung mengutarakan keinginannya mengajak kami untuk mendinginkan tubuh di rumah makan (RM) Padang, di depan Grahadi.
“Jangan banyak tanya terus. Sudah, ayo ikut saya kesana,” ujarnya sambil menggiring para wartawan menuju RM Padang sambil menyeberangi jalan yang banyak dilewati kendaraan.
Ternyata jurus yang dikeluarkan BD cukup jitu. Para wartawan yang terpapar panas sinar matahari yang menyengat langsung disuguhi minuman dingin sembari menunggu pesanan makanan datang. Karena pada lapar, semuanya, termasuk saya lahap sekali dalam menyantap makanan.
Entah mengapa. Setelah itu, enam wartawan yang ikut tak ada lagi yang antusias bertanya tentang kekerasan yang dilakukan polisi. Semuanya, entah karena sungkan atau pada kekenyangan tak ada lagi yang mempersoalkan masalah itu. Alhasil, saya nilai sang komandan BD ini cukup cerdik dalam ‘menjinakkan’ wartawan.
Meski begitu, bukan berarti kami tak menuliskan berita penting tadi. Kami tetap mewartakannya dengan cover both side, sebab sudah mendapatkan statemen dari BD sebelumnya.
Tentu pengalaman menarik itu hanya dapat saya rasakan dengan menjadi wartawan. Pengalaman menjadi wartawan sangat menyenangkan. Sambil liputan, dapat traktiran.
0 comments:
Posting Komentar