Peneliti dari Universitas Indonesia Ivan Syaftian Namun, mengungkapkan hasil riset terbarunya terkait potensi zakat di Indonesia. Dengan menggunakan qiyas (mengukur) zakat emas, perak, dan perdagangan, didapat data potensi zakat profesi umat muslim sebesar Rp 4,825 triliun per tahun. Penghitungan tersebut menggunakan variabel persentase penduduk muslim yang bekerja dengan rata-rata pendapatan di atas nisab (batas).
Sementara itu, jumlah dana zakat yang bisa dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sampai akhir 2009 lalu hanya mencapai Rp 1,2 triliun. Nilai itu hanya 25 persen dari potensi minimal yang ada jika asumsikan mencapai Rp 4,8 triliun. Berpatokan data itu, jelas sekali jika amalan zakat masih terpinggirkan dan belum benar-benar dijalankan umat Islam.
Mengingat dampak dari minimnya jumlah zakat yang berhasil dikumpulkan berkorelasi dengan masih banyaknya warga yang hidup miskin di tengah jumlah orang kaya terus meningkat. Meskipun pendapatan pemerintah melalui zakat terus membumbung tinggi.
Sayangnya, zakat yang sudah terbukti efektif mampu mengurangi jumlah penduduk yang termarjinalkan oleh pemerintah Indonesia tak dijadikan sebagai program utama pengentasan kemiskinan. Malahan, sempat Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, zakat dianggap sebagai ancaman yang dapat mengurangi pendapat negara atas pajak.
Nah, untuk menjawab masalah itu Masdar Farid Mas’udi menulis buku Pajak itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahana Rakyat. Penulis yang mantan pelaksana harian ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mengajak kita untuk membedakan mekaniske zakat dengan penarikan pajak dengan sistem modern, namun berkonsep kapitalis.
Selain mengupas masalah pajak untuk mengatasi kemiskinan. Melalui buku ini, Masdar Farid Mas’udi juga mengajak umat Islam untuk berpikir kritis tentang donasi zakat yang harus dikeluarkan atas hasil niaga sebesar 2,5 persen, hasil pertanian 5-10 persen, dan zakat fitrah 2,5 kilo gram bahan makanan utama (beras).
Mengingat dalam salah satu pembahasannya, kita diajak untuk memaknai perintah mengeluarkan zakat tersebut daripada terus melegalkannya dengan memandanganya sebagai dogma yang tak bisa diutak-atik.
Pasalanya, zaman sudah berubah. Sehingga hendaknya umat Islam tak lagi terkungkung pola pikir sempit yang usang. Karena kehidupan modern yang lebih kompleks dibanding 14 abad lalu, membuat aturan yang tak lagi sesuai dengan ruang dan waktu, yang perlu ditelaah agar memberikan kebaikan umat.
Ia menganalogikan apakah orang yang bekerja di bidang jasa, transportasi, maupun telekomunikasi yang di era Rasulullah belum ada tak wajib mengeluarkan zakat? Sedangkan, petani yang nasibnya selalu dirundung duka dan hidup dalam bayang-bayang kemiskinan harus mengeluarkan pajak lebih besar dibanding wirausaha, yang notabene menduduki daftar peringkat orang terkaya di setiap negara di dunia, termasuk Indonesia.
Yang pasti, penulis menegaskan jika mekanisme penyaluran zakat terus berjalan seperti sekarang maka akan membuat kemiskinan akan terus berlangsung. Negara tak akan mampu mengatasi masalah sosial, dan umat Islam tak akan pernah mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, sebab tak mampu menikmati hasil pengutun wajib yang diserahkan kepada negara.
Karena itu, mengacu konsep zakat yang dipraktikkan Rasulullah SAW di negara Madinah pada abad ke-7 lalu, buku ini menegaskan pesan moral-spiritual yang sederhana, namun sangat mendasar.
Pertama, untuk wajib pajak, kita hendaknya membayar pajak dengan niat zakat (disedekahkan atas nama Allah), sehingga berhak mendapat pahala. Kedua, kepada pejabat dan aparat negara sebagai amil, yang wajib mengelola keuangan pajak yang diterima dari masyarakat dengan penuh ketakwaan kepada Allah selaku pemilik sebenarnya uang pajak.
Ketiga, kepada semua pihak yang terlibat kepengurusan pajak, langsung maupun wakilnya, awasilah setiap uang dari pembayaran itu agar benar-benar dibelanjakan untuk kemaslahatan segenap rakyat terutama yang lemah (mustadh’afin). Jika itu dilaksanakan maka keadilan dan kemakmuran dapat tercipta dan menjadi milik kita bersama.
Pasalnya, semua negara, kecuali pemuja kekuasaan absolut, bergantung pada pajak yang dipungut dari rakyatnya dengan ancaman keras terhadap mereka yang bekerja tak sesuai amanah alias dikemplang. Pertanyaan moral yang harus dijawab adalah siapa sebenarnya pemilik uang pajak itu, dan untuk kepentingan siapa?
Karena terbukti pengelolaan pajak era sekarang bukannya semakin membaik di era kecanggihan teknologi. Pemungutan pajak setelah dikelola pemerintah tak dimanfaatkan keuntungannya oleh masyarakat. Bahkan, tak jarang uang yang terkumpul hanya menjadi bancaan kaum elite dan petugas pajak itu sendiri, seperti kasus Gayus Tambunan.
Jika seperti itu, kita patut menaruh perasaan curiga dalam artian positif agar pajak yang terkumpul manfaatnya tak hanya dirasakan segelintir penguasa. Melainkan, kaum dhuafa yang jumlahnya masih puluhan juta di Indonesia. Tak ketinggalan, kita perlu mendorong agar pemerintah mengupayakan zakat sebagai gerakan nasional agar terwujud kesadaran bersama pentingnya berzakat.
Maka itu, pantas jika buku ini dibaca pemangku kebijakan agar tak meremehkan kekuatan zakat. Terbukti, negara yang mengandalkan pajak semata tak akan mampu menyejahterakan rakyatnya.
Judul : Pajak Itu Zakat
Penulis : Masdar Farid Mas’udi
Penerbit : Mizan
Edisi : Agustus 2010
Tebal : xxxviii + 236 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra, peminat buku keagamaan.
(erikpurnamaputra@yahoo.co.id)
0 comments:
Posting Komentar