Sabtu, 28 Agustus 2010 (Republika Jawa Timur)  
Oleh: Erik Purnama Putra
Beberapa  waktu lalu, organisasi modern Muhammadiyah merayakan milad satu abad.  Selain menjadi organisasi modern yang jumlah pengikut puluhan juta  orang, Muhammadiyah juga tercatat memiliki ribuan lembaga pendidikan  mulai sekolah dasar SD hingga perguruan tinggi (PT), rumah sakit, serta  panti sosial.
Namun siapa sangka, awal berdirinya  Muhammadiyah berasal dari seorang Ahmad Dahlan, yang bergelar kyai, yang  tinggal di daerah Kauman, Yogyakarta. Sebagai sosok kontroversial di  jamannya, ia menawarkan sebuah metode pembelajaran baru yang didapatnya  setelah mendapat ilmu dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, selama  menetap lima tahun (1883-1888) di Makkah.
Sang Pencerah yang  diangkat dari skenario film karya Hanung Bramantyo dengan judul sama  mencoba menjabarkan perjalanan penuh liku dari tokoh karismatik sejarah  Islam di Indonesia dalam balutan novel historis. Tak hanya itu, sisi  manusiawi pria yang semasa kecil bernama Muhammad Darwis tersebut juga  diangkat dengan menunjukkan bahwa antara perkataan dengan perbuatan  selalu seiring.
Pemikiran dan metode dakwah Ahmad Dahlan  yang berani melawan arus dan tradisi setelah kembali ke Kauman, juga  dipengaruhi pemikiran dari Syaikh Jamaluddin Al Afghani dan Syaikh  Muhammad Abduh, tokoh Islam pembaharu dan reformis yang mengajarkan  rasionalitas dalam memandang agama agar tak terjerumus dalam kerangkeng  tradisi.
Seperti kisah percakapan antara Ahmad Dahlan dengan murid ngajinya berikut ini yang mampu memberikan pencerahan.
Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu. “Kenapa main musik londo, Kiai?” tanya Jazuli.
“Memangnya  kenapa?” Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung, “Bukannya  alat musik itu bikinan orang kafir?” sanggah Daniel.
“Orangnya  yang kafir, alat musiknya tidak ada yang muslim atau yang kafir,”  jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan.
Sosok pendobrak
Begitulah  kontroversi sosok Ahmad Dahlan. Dia merupakan sosok anak muda pendobrak  tradisi, yang tak lain berniat agar Islam kembali menjadi rahmat bagi  semesta alam, bukan Islam eksklusif yang menyulitkan pemeluknya sendiri.
Bahkan,  ia pernah bikin geger karena shalat tak lurus menghadap ke barat  seperti jamaah umumnya, melainkan menghadap beberapa derajat ke arah  barat laut. Sontak hal itu membuat kehebohan di kawasan Kauman dan  sekitarnya.
Maka itu, pada masanya dia bahkan dianggap  kafir, tapi beberapa orang yang berpikiran terbuka dan banyak anak-anak  muda kritis menyukai cara berpikir dan tindakannya. Sehingga tak sedikit  yang akhirnya berguru kepadanya
Meski begitu, Ahmad  Dahlan yang menawarkan metode pengajaran Islam dengan berbagai  terobosan, yang tak lazim di zamannya mendapat tentangan luar biasa dari  penguasa. Bukan kompeni, melainkan dari Kyai Kamaludiningrat, selaku  kyai penghulu Masjid Ghede yang terletak dalam kompleks keraton, yang  yang tak suka dengan caranya menyebarkan dakwah yang dianggap sesat.
Bahkan,  karena saking mangkelnya dengan ajaran Ahmad Dahlan, Kyai  Kamaludiningrat menyuruh beberapa orang suruhan untuk menghancurkan  Langgar Kidul, yang menjadi tempat bagi keturunan ke-11 Syaikh Maulana  Malik Ibrahim (Sunan Gresik) tersebut untuk menyebarkan ilmu agama.
Alhasil,  Ahmad Dahlan yang melihat rumah Allah, yang dipandangnya sangat tak  ternilai itu rubuh mampu menghancurkan hatinya. Bahkan, akibat tak bisa  menahan diri, ia sempat akan meninggalkan Kauman sebab merasa  keberadaannya tak disukai banyak orang dan dakwahnya akan sia-sia.  Namun, ia mengurungkan niatnya setelah mengingat perjuangan Nabi  Muhammad yang dirasanya jauh lebih berat dibanding dirinya.
Di  sisi lain, Ahmad Dahlan yang berpendirian teguh tak pernah sedikitpun  melunak menghadapi alasan yang dikemukakan para kyai sepuh yang ingin  menjaga tradisi yang terusik dengan berbagai ajarannya. Bahkan, ketika  para kyai dari keluarganya sendiri mulai mempertanyakan dakwahnya yang  keluar pakem, ia tak kendur sedikitpun dan tetap tabah. Akibatnya, ia  mulai mendapat pandangan sinis dari warga kampung dan dijuluki kyai  kafir.
Meski begitu, ia acuh dan tak merespon balik  tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Bahkan, karena ingin memperluas  ajarannya agar tak hanya dilingkup pribumi, Ahmad Dahlan menyebarkan  ajaran itu ke sekolahnya para anak priyayi yang beragama Islam, namun  asing dengan ajaran tersebut dalam kesehariannya. Hasilnya, ia dituduh  antek kompeni, sebab mengajar di sekolah kafir dan memakai baju bergaya  kebarat-baratan.
Seiring berjalannya waktu, setelah muncul  organisasi modern pertama di Yogyakarta (Indonesia), bernama Budi  Utomo, Ahmad Dahlan yang tertarik untuk belajar organisasi bertemu  pengurus Budi Utomo, yang digawangi dr Wahidin Sudirohusodo. Ia tertarik  bergabung dan berbekal ilmu yang diperolehnya dari Budi Utomo, anak  dari Kyai Abu Bakar tersebut mencoba menerapkannya untuk mendirikan  perkumpulan organisasi Islam.
Setelah memikirkan nama yang  tepat, dari usulan salah satu muridnya, tercetuslah nama Muhammadiyah  sebagai nama organisasi yang dideklarasikannya pada 18 November 1912.  Muhammadiyah yang artinya pengikut Nabi Muhammad dinilainya memiliki  arti yang sangat tepat dan relevan untuk kepentingan memajukan kehidupan  umat dari keterbelakangan.
Judul                      : Sang Pencerah
Penulis                   : Akmal Nasery Basral
Penerbit                 : Mizan
Edisi                       : Juni 2010
Tebal                      : xvi + 461 halaman


0 comments:
Posting Komentar