Minggu, 18 April 2010

Berpasrah Diri, Meraih Kebahagiaan Sejati

Sabtu, 17 April 2010 (Republika Jawa Timur)

Oleh: Erik Purnama Putra

Apa sesungguhnya yang paling dicari manusia di dunia? Jawabannya bisa bermacam-macam, tergantung latar belakang pribadi masing-masing. Namun yang pasti, jawabannya pasti tak jauh dari harta yang berlimpah, jabatan dengan kekuasaan yang besar, atau kekuatan fisik beserta wajah rupawan.

Dari sederatan jawaban itu, apakah ada yang bisa menjamin seseorang akan meraih kebahagiaan sejati setelah mampu memenuhi permintaannya yang bersifat duniawi itu? Belum tentu atau bahkan tidak sama sekali.

Tak dapat dimungkiri, seseorang dalam menjalani hidup di dunia pasti lebih memilih mendapatkan kebahagiaan dalam artian sebenarnya dari pada meraih berbagai hadiah berwujud materi lainnya.

Jika tak percaya boleh dibuktikan. Seseorang bisa bahagia mendapat rejeki nomplok berupa uang atau naik jabatan. Tetapi, kebahagiaan itu hanya bersifat semu dan akan lenyap dalam jangka waktu tidak lama.

Malahan, orang bersangkutan akan gelisah dengan kondisi barunya itu sebab terbebani secara mental atas pencapaiannya itu. Alhasil, kebahagiaan yang dirasakan hanya menyentuh sisi ragawi semata.

Padahal, puncak kebahagiaan itu bisa diraih dengan bentuk kepasrahan dan kecintaan mendalam kepada Sang Pencipta. Dalam kata lain, spiritual happiness adalah puncak kebahagiaan. 

Misalnya, orang yang putus asa setelah tak menemukan atas persoalan yang dihadapinya. Padahal dia sudah meminta bantuan kepada semua teman, saudara, bahkan keluarganya sendiri. Karena tak jua tenang dan hati terus tertekan, maka hanya dengan lari dan curhat kepada Sang Pencipta, setidaknya akan muncul kelegaan.

Dalam konteks lebih berat, dengan diam dan memasrahkan diri agar semuanya diberikan keringanan oleh-Nya akan membuat seseorang akan lebih rileks. Ketegangan akan berganti dengan kelegaan dan senyuman. Jika boleh disebut, itulah bentuk konkret kebahagiaan sejati sebab seseorang menemukan harmoni dalam hubungannya dengan Sang Pencipta.

Mengingat kebahagiaan yang berbentuk kepasrahan akan lebih abadi dan menyentuh aspek rohani. Sehingga kebahagiaan sejati itu merupakan bentuk syukur manusia kepada-Nya. Pasalnya, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan itu sendiri. Bukan bahagia yang disebabkan unsur ‘karena’ yang terdapat ambisi dan nafsu. Maka itu, spiritual happiness identik dengan ketentraman, ketenangan, dan kenyamanan, yang akan membentuk hati menjadi dekat dengan Yang Mahakuasa.

Melalui serangkaian kata-kata bijak, penulis buku best seller ini mengajak kita untuk memilih jalan kebahagiaan melalui hidup yang bermakna. Memburu harta dan jabatan tidak terlarang. Justru, kita harus mengejarnya untuk membuat hidup lebih bermakna.

Judul : 250 Wisdoms (Membuka Mata, Menangkap Makna)
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Mizan Publika (Februari 2010)

0 comments: