Minggu, 06 Desember 2009

Mengupas Muara Konflik Israel-Palestina


Jumat, 4 Desember 2009 (Harian Bhirawa) 

Hari-hari belakangan ini hubungan antara Palestina dengan Israel kembali memanas setelah militer negeri Yahudi tersebut menguasai Masjid Al Aqsa yang notabene merupakan tempat suci ketiga bagi umat Islam. Mirisnya, tak hanya menempatkan pasukan militer di Masjid Al Aqsa, pemerintahIsrael juga melarang umat Islam untuk menuaikan ibadah shalat di situ.

Jauh sebelumnya konflik di Palestina muncul secara lebih luas setelah agresi tentara Israel terjadi di Jalur Gaza pada Desember 2008 hingga Januari 2009, yang menyisakan penderitaan luarbiasa bagi rakyat palestina, terutama anak-anak, kaum perempuan, dan orangtua, yang menjadi korban kebiadaban militer Zionis tersebut. 

Memang pemerintah Israel berdalih bahwa agresi militer itu dilakukan untuk menghadapi pasukan Hamas yang dinilai mengacau dan membuat stabilitas keamaan terganggu. Sayangnya, bukan pasukan Hamas yang semata jadi korban, malah masyarakat sipil yang banyak jadi tumbal kebrutalan serangan yang dilakukan secara biadab oleh tentara negeri Yahudi itu. 

Memang Hamas menyerang Israel dengan roket rakitan yang tidak akurat, namun balasan yang dilakukan militer Israel adalah dengan senjata “Kembang Api kematian” melalui mesin tempur super canggih. Sehingga tidak mengherankan jika timbul penderitaan masyarakat, kehancuran gedung dan sarana infrastruktur, serta kematian korban tak berdosa di sisi warga Palestina. Karena dengan menggunakan pesawat supersonik Israel bisa mengacakngacak Jalur Gaza secara membabi-buta dengan mengebom wilayah itu yang banyak dihuni masyarakat sipil.

Sayangnya negara-negara di dunia tidak bisa berbuat banyak apalagi setelah AS dan sekutunya seolah membenarkan tindakan militer Israel tersebu. Jika mengacu keadaan itu, apakah masih pantas pemerintah Israel berlindung pada alasan sebagai upaya membasmi kelompok Hamas yang melakukan intifada. Mengingat alasan itu kurang tepat dan lebih benar jika tujuannya adalah pembersihan etnis Palestina.

Buku Jalur Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis merupakan catatan perjalanan jurnalistik ketika perang yang tak seimbang tengah berkobar antara Israel dan Palestina berlangsung. Buku ini dibuat karena Trias Kuncahyono yang melihat dengan telanjang bagaimana militer Israel melakukan tindakan keji kepada masyarakat sipil tak berdosa ingin agar realita itu dilihat masyarakat dunia.

Trias Kuncahyono tidak ingin pengalamannya berada di Jalur Gaza hanya untuk membuat laporan jurnalistik semata kepada kantor tempatnya bekerja, melainkan juga untuk menggambarkan realita di sana yang banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Hal itu agar masyarakat dunia menyadari bahwa Israel telah bertindak di luar batas peri kemanusiaan dengan melakukan perbuatan keji dan melanggar hukum perang.

Mengingat selama ini banyak warga dunia, khususnya barat melihat bahwa biang keladi masalah adalah Hamas, bukannya Israel. Namun, dari buku ini kita bisa menilai bahwa akar konflik sebenarnya adalah karena nafsu negeri Yahudi tersebut yang ingin menguasai Jalur Gaza dengan cara menghujani wilayah itu dengan bom secara brutal hingga tak kurang menewaskan 1.300 orang dan melukai ribuan lainnya. Maka itu, di tengah masih minimnya buku yang menceritakan tentang konflik abadi di Timur Tengah, terutama penindasan Israel. Buku ini lahir untuk mengisi kekosongan literatur itu.

Melihat ngerinya keadaan di Galur Gaza, Trias Kuncahyono sampai berjuar bahwa lebih mudah masuk ke surga daripada mendamaikan konflik di Jalur Gaza. Hal itu menunjukkan bahwa konflik yang hingga mengakibatkan perang itu sangat rumit sebab tak kunjung selesai meski berbagai upaya perdamian yang digagas banyak negara telah dilakukan yang berujung tidak membuahkan hasil siginifikan.

Judul                      : Jalur Gaza (Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis)
Penulis                   : Trias Kuncahyono 
 Penerbit                 : Kompas   
Tahun                    : Agustus 2009  
Tebal                      : xli + 326 halaman  
Harga                     : Rp 59.000
Peresensi Erik Purnama Putra, Aktivis Unmuh Malang

0 comments: