Senin, 03 Agustus 2009

Kritik Pedas Terhadap Tradisi Masyarakat


Jumat, 31 Juli 2009 (Harian Bhirawa)

INDONESIA dijuluki sebagai negara muslim terbesar di dunia. Alasannya, negara ini penduduknya sekitar 90 persen memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menunjukkan bahwa agama yang tertera di situ tertulis Islam. Berangkat dari situ, masyarakat internasional menjuluki Indonesia sebagai negeri yang religius dan beragama sebab 10 persen penduduk lainnya juga beragama, meski non-Islam.

Sayangnya, sejauh mata memandang, negeri ini banyak dihuni masyarakat miskin. Walaupun memiliki banyak orang kaya, namun tak bisa dinafikan bahwa kemelaratan terjadi di mana-mana dan dengan mudah dijumpai pengemis atau pengamen di jalanan terutama kota besar.

Kondisi itu jelas sebuah kontradiksi mengingat Tanah Air dikarunia Sang Pencipta dengan limpahan kekayaan alam luar biasa besarnya. Tak hanya meliputi daratan, seperti kesuburan tanah, kekayaan tambang mineral, minyak bumi, gas alam, dan flora-fauna. Pun kekayaan lautan negeri ini tak terhingga nilainya sebab masih belum diolah secara maksimal. Semua fakta itu bisa jadi gambaran betapa kayanya negeri ini yang diberi anugrah oleh Tuhan, yang keadaan itu sulit ditemukan negara lainnya.

Jika diruntut kebodohan yang dialami banyak penduduk Indonesia terutama muslim bisa jadi penyebabnya. Bagaimana tidak, jelas-jelas dalam Islam setiap muslim dituntut untuk mempercayai bahwa Tuhan itu esa dan hanya Allah Swt, yang pantas disembah. Namun kenyataannya masih banyak penduduk yang mengaku beragama Islam tetap mempercayai kekuatan mistis, takut terhadap pohon yang dikeramatkan, mengagungkan budaya lokal yang permisif terhadap judi yang jelas bertentangan dengan agama, hingga memberikan sesajen kepada jin atau setan.

Padahal semua aktivitas hidup yang didasari pada kepercayaan nenek moyang tersebut menurut penulis yang membuat mayoritas penduduk tetap dalam kubangan kebodohan. Hal itu bisa dilihat dari realita yang terjadi di masyarakat, di mana untuk sekedar selametan (pengajian memeperingati kelahiran atau kematian) banyak orang sampai rela memaksakan diri tetap mengadakannya. Bahkan jika perlu sampai harus utang kepada tetangga atau saudara hanya demi melanggengkan tuntutan tradisi yang kadang tak diajarkan dalam Islam.

Gilanya lagi, budaya pada masyarakat Jawa masih memegang teguh bagaimana mengurus proses kelahiran yang ruwetnya minta ampun. Mulai upacara menanam ari-ari bayi –jika laki-laki ditanam di samping kanan rumah, perempuan di samping kiri rumah—sambil diberi lampu teplok sebagai penerangan di malam hari. Lima hari setelah kelahiran diadakan ’sepasaran bayi’. Kemudian setiap 35 hari diadakan dirayakan selapan, atau kadang di hari ke 40. Itu masih dilakukan setiap tahunnya yang diulangi hingga menjadi ritual melelahkan, yang setiap melakukan kegiatan itu mengundang semua tetangga hingga membuat biaya yang dikeluarkan sangat banyak.

Padahal dalam Islam tak pernah diajarkan setiap muslim untuk melakukan bancakan seperti itu yang malah memeberatkan empunya yang punya acara. Karena dalam Islam, jika ada kelahiran cukup dilakukan akikah pada si bayi dengan memotong kambing pada hari ke 7 setelah kelahiran. Itu pun untuk yang mampu, jika dari kaum tak berada tak wajib hukumnya dilaksanakan. Sederhana, namun masyarakat lebih memilih hidup ruwet dan memberatkan.

Fenomena lainnya yang diutarakan Mbah Dipo terkait keterpurukan bangsa ini akibat perilaku masyarakat itu sendiri adalah gemarnya melakukan pemujaan terhadap hal yang berbau klenik. Di saat bulan Muharram datang yang merupakan bulan awal tahun kalender Hijriyah yang sangat mulia dan seharusnya disambut dengan kebahagiaan penuh harap. Tetapi bagi mayoritas orang Jawa yang menyebut bulan itu sebagai bulan Suro malah menjadi suasana yang penuh keangkeran, wingit, mencekam, dan penuh mistis.

Sehingga akhirnya dikaitkan dengan kedatangan Danyang Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul, yang bakal minta tumbal perjaka untuk dijadikan budak. Belum lagi di daerah Surakarta (Solo) pada bulan Muharram dijadikan ajang Thawaf Kebo Bule Kyai Slamet. Yang dinantikan secara histeris masyarakat yang berebut ingin mendapatkan tahi kebo, yang diyakini sangat mujarab sebagai obat untuk mengusir berbagai penyakit tubuh. Sementara di Wonogiri, di lereng Gunung Lawu terdapat gua, yang didatangi ribuan masyarakat untuk berbondong-bondong datang ngalap berkah agar keinginan yang diharapkan dapat terkabul setelah berdoa di goa tersebut.

Judul : Republik Genthonesia
Penulis : Mbah Dipo
Penerbit : Pro U Media
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 254 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra, Aktivis Pers Bestari Universitas Muhammadiyah Malang

0 comments: