Jumat, 10 Juli 2009

Ketika Jurnalisme Baru Jadi Tuntutan


Jumat, 10 Juli 2009 (Harian Bhirawa)

ERA sekarang, banyak media cetak (koran) berlomba melakukan berbagai inovasi demi mendekatkan diri kepada pembacanya. Salah satu metode yang digunakan adalah memunculkan rubrik citizen journalism, di mana masyarakat bisa menjadi ‘wartawan’ ikut melaporkan peristiwa yang terjadi disekitarnya agar merasa menjadi bagian dari koran yang dibacanya. Meskipun liputan berita yang ditulis secara kualitas kalah jauh jika dibandingkan dengan tulisan wartawan profesional, namun hal itu tak bisa ditawar lagi sebab akan menjadi trend beberapa tahun lagi.

Tuntutan zaman pula yang membuat media cetak harus menyediakan rubrik letter to the editor yang berfungsi sebagai sarana penyambung bagi pembaca untuk menyampaikan keluhan maupun pendapatnya tentang berbagai hal kepada pihak terkait yang sedang terjadi di masyarakat. Kondisi itu disebabkan pembaca makin sibuk dan tak punya waktu untuk sekedar menyampaikan gagasannya langsung sehingga memanfaatkan media cetak untuk menyalurkan suaranya.

Buku Jurnalisme Masa Kini hadir menawarkan perkembangan jurnalisme baru yang berkembang pesat, yang sedang diaplikasikan pihak media cetak di seluruh penjuru dunia. Tak hanya memberi pemahaman, buku ini juga membedah banyak hal seputar perubahan media cetak, hingga tuntutan terhadap wartawan yang melakukan reportase lapangan untuk mengikuti perubahan secara total. Tujuannya tak lain supaya para pemimpin media, calon jurnalis (reporter) dan peminat kajian komunikasi sejak saat ini siap dapat memprediksi era komunikasi massa baru yang akan berkembang sangat dahsyat di masa datang.

Peningkatan sumber daya manusia (wartawan) sebagai ujung tombak koran juga mesti dilakukan secara berkelanjutan. Hal itu agar ketika mencari berita dapat memilah dan menyajikan berita yang berkualitas dan menampilkan unsur edukasi, bukan asal setor demi gugur tugas. Menjunjung tinggi kebenaran menjadi harga mati agar media dapat terus bertahan dan memiliki pembaca loyal sebab wartawan adalah mata dan telinga masyarakat.

Hal itu sependapat dengan pernyataan Tom Walfe, yang pernah menganjurkan agar media cetak di seluruh dunia segera mengaplikasikan jurnalisme baru (new journalism) agar tak ketinggalan zaman dalam isi sajian pemberitaannya. Karena jika tidak mengikuti trend masa kini, pembaca koran secara perlahan akan memilih media elektronik (televisi dan internet). Meskipun begitu, ide cerdas tersebut belum sepenuhnya dipraktikkan di Indonesia dengan berbagai alasan dan kondisi.

Dapat dimengerti hal itu berlalu begitu saja mengingat media massa Tanah Air masih memiliki beberapa kaidah klasik yang belum bisa ditinggalkan di saat masyarakat menuntut pihak media massa untuk mengikuti perkembangan zaman dengan mengaplikasikan teknologi modern. Salah satunya, terbentur kualitas kinerja wartawan dan kemauan pimpinan media cetak itu sendiri.

Dampaknya masa sekarang menjadi masa terberat bagi perkembangan koran karena keberadaan media eletronik semakin mengancam dan menyingkirkan peran pangsa pasar televisi. Ditambah penetrasi internet yang mampu menyajikan berbagai keunggulan maka dalam waktu tak lama lagi akan menggerus oplah koran jika tak ada perubahan berarti dalam hal sajian beritanya.

Pasalnya, apabila berdiam diri dan tak melakukan revolusi, keberadaan koran akan terpinggirkan. Bahkan Prof. Philip Meyer meramalkan pada 2040, koran akan berhenti cetak. Maksudnya manusia akan menjadi saksi sejarah mengerikan dengan melihat koran terakhir terbit, beredar dan dibaca masyarakat. Dari thesis itulah perlunya bagi pihak yang bergelut di bidang media cetak untuk memahami tentang jurnalisme masa kini yang perlu ditempatkan sesuai proporsi sebagai pondasi media cetak supaya dapat bertahan mengikuti arus zaman.

Sehingga ungkapan, “Anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang menggigit anjing itu berita”, sudah tak relevan lagi dipertahankan kebenarannya. Bagaimana tidak sebab seandainya yang digigit itu seorang publik figur seperti artis, politisi, atau bahkan pejabat pemerintahan, pasti menarik untuk diberitakan. Mengingat kejadian itu unik dan layak diketahui khalayak umum. Termasuk ungkapan klasik “Good news is no news, bad news is good news” juga sudah mulai dipertanyakaan kebenarannya dan tak bisa dipertahankan lagi secara ilmiah sebab berita bagus jika diulas dari sudut tertentu bisa menghasilkan berita jauh lebih dahsyat dibanding berita buruk.

Karenanya, aturan jurnalisme kuno, di mana wartawan hanya menulis berita dengan kaidah lawas menggunakan rumus 5W + 1H, yang membuat bacaan berita menjadi datar dan cuma berpegang teguh dengan fakta di lapangan sebagai obyektivitas murni mesti diluruskan. Memang mengubah dan menambahi fakta jelas tak boleh, namun mengubah gaya penuturan, detail peristiwa yang disajikan, melihat konteks fakta secara holistik dan membuat banyak sisi mendukung supaya berita lebih enak dinikmati tak ada yang melarang. Dan keadaan itu yang harus dilakukan wartawan dengan menerapkan jurnalisme baru dan tak kaku berpegang pada aturan jurnalisme lama yang mensucikan kesaklekan aturan.

Penulis dalam buku ini pada bagian lain mengulas bagaimana sebaiknya media dalam kasus tertentu, misalnya konflik SARA, berposisi netral dengan menyajikan berita secara seimbang, supaya tak semakin memperkeruh suasana. Sehingga jalan satu-satunya wartawan harus adil dalam meliput agar ketika berita nanti dibaca masyarakat dapat dipertanggungjawabkan isinya dan tak membuat kondisi semakin kacau. Maka aspek fakta aktual wajib diutamakan wartawan dalam menyajikan berita sebab jangan sampai wartawan memasukkan opini ke dalam tulisannya. Karena itu, kebenaran di lapangan dapat disajikan dengan menjunjung tinggi integritas agar tak muncul berita bohong yang bisa bikin marah masyarakat yang berimbas pada hancurnya reputasi media cetak yang bersangkutan.

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Penerbit : PT RajaGrafindo Persada
Terbit : Juni 2009
Tebal : xvi + 350 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra, Pegiat Pers Kampus Bestari Universitas Muhammadiyah Malang

0 comments: