Sabtu, 02 Mei 2009

Menjadi Karyawan Berprestasi, Mengapa Tidak?

Jumat, 1 April 2009 (Harian Bhirawa)

Hidup ini ibarat film. Ada juga yang mengatakan seperti drama atau panggung hiburan. Analogi itu ada benarnya juga sebab setiap individu pada dasarnya memiliki beberapa peran yang harus dimainkan. Misalnya, di masa kecil seseorang berperan sebagai anak dalam keluarga.

Menginjak dewasa, peran itu berubah dan menjadi anggota di komunitas sekolah maupun organisasi. Saat memasuki dunia kerja, seseorang menjadi bagian dalam tim perusahaan, entah cocok atau tidak dengan suasana kerja setiap karyawan harus terus menunjukkan performance tinggi sebagai konsekuensi dia digaji bosnya.

Maka itu, karyawan mesti berdedikasi untuk menampilkan kinerja terbaiknya supaya memberikan dampak positif terhadap perusahaan. Salah satu caranya adalah setiap pekerja wajib memiliki bentuk dan corak yang selaras dan harmonis dengan rekan lainnya, yang dianalogikan dengan bentuk potongan puzzle.

Pasalnya sepotong puzzle harus ditempatkan sesuai dengan areanya, dan mesti bisa menempatkan dirinya pada posisi yang tepat supaya bersama-sama dengan partner lainnya bisa mewakili gambar besar yang utuh, yang perwujudan tempat bekerja.

Apalagi dunia kerja diidentikkan seperti arena kehidupan kecil, di mana setiap individu dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara cepat di lingkungan baru dan wajib segera mencari tahu tugas yang harus dikerjakannya. Karena jika tak begitu, kinerja seseorang akan dinilai kurang oleh pimpinan dan jabatan lebih tinggi melalui promosi hanya akan terus menjadi angan-angan jika tak dibarengi dengan hasil kerja produktif, mengingat reward dan punishment pasti dijalankan setiap perusahaan.

Karena itu, setiap karyawan dituntut untuk menampilkan kemampuan terbaiknya guna mencuri perhatian bosnya. Untuk itu, perlu dilakukan sebuah up grade dalam diri agar segala kegiatan yang dilakukan dapat berjalan baik dan memberikan kontribusi signifikan dibanding partner lainnya. Pasalnya, jika tak begitu maka kita akan berada di urutan sekian dalam daftar penilaian pimpinan untuk diberikan tanggungjawab lebih dan itu menjadi tanda kurang bagus.

Sudah sering terjadi karyawan baru malah mampu membuat jajaran tinggi perusahaan tersenyum sebab mampu menunjukkan kualitas kinerja meyakinkan. Tak hanya itu, yang bersangkutan sampai pula mengharumkan nama perusahaannya. Sehingga atas jasanya yang bersangkutan diganjar dengan diberikan tugas baru di pos lain yang memerlukan kemampuan di atas sebelumnya dan lebih prestisius.

Padahal posisi itu sebenarnya menjadi incaran banyak karyawan lain yang lebih senior dari si karyawan baru tersebut. Namun karena aturan di perusahaan dengan jelas menjabarkan bahwa hanya karyawan berprestasi yang dapat menduduki posisi itu maka mau tidak mau karyawan lain harus legowo dan menerima kenyataan.

Contoh itu menunjukkan bahwa penilaian obyektif perusahaan tak diukur dari aspek senioritas semata sebab mempertimbangkan banyak aspek. Sehingga kemampuan seorang karyawan tak dinilai dari satu aspek semata. Dan biasanya diukur dengan melihat indikator-indikator yang sudah dijadikan kesepakatan internal perusahaan.

Hal itu mengingat dalam perusahaan terdiri banyak karyawan beragam karakter dan masing-masing mempunyai tugas dengan bobot berbeda. Maka itu ketika akan ada rotasi atau mutasi jabatan rutin supaya menyegarkan suasana perusahaan, yang memiliki kinerja baik akan mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya yang pas-pasan akan menerima nasib tak mengenakkan.

Namun bukan berarti malu untuk belajar kepada senior jika memang masih bingung atau kurang puas dengan hasil pekerjaan. Karena masukan dari orang lain lebih bermanfaat dibanding diam saja. Sehingga lebih penting adalah mampu menunjukkan diri dengan berkompetisi menjadi yang terbaik di antara karyawan lainnya.

Pasalnya, dunia kerja menuntut setiap individu bersikap profesional. Karyawan harus tunduk pada aturan perusahaan dan tak boleh bertingkah. Di satu sisi wajib juga menjaga hubungan baik dengan rekan kerja agar suatu ketika jika membutuhkan sesuatu bisa saling membantu.

Mempunyai orang yang tak disenangi di kantor hanya akan membuat karyawan menjadi tak konsentrasi dalam pekerjaannya karena hanya akan terus memusatkan pikiran dan energinya untuk memikirkan ’musuhnya’ tersebut dan membuatnya tak betah berlama-lama di tempat kerja.

Padahal menurut Jami Lidya Rahardjo, jika ingin menjadi yang terbaik bukan dengan ’menjatuhkan’ rekannya, namun dengan menunjukkan dirinya yang memiliki kapasitas dan kapabilitas mumpuni agar dilirik untuk diberi kesempatan. Sehingga jalan keluarnya adalah jangan menjadi karyawan pasif dan menerima apa adanya jika bisa berbuat lebih dari itu. Sangat disayangkan bila potensi yang belum tergali tak dimanfaatkan dengan baik.

Di dunia kerja yang serba kompetitif juga akan ada pribadi sukses maupun gagal. Yang membedakan dua golongan ini biasanya menyangkut masalah etika pekerjaan. Jika memang bersaing untuk mengejar ambisi setidaknya berkompetisi secara sehat dan jangan saling menjatuhkan. Itu malah diharapkan karena akan memacu tingkat produktivitas lebih tinggi.

Tak lupa penulis turut menyertkan tips agar karyawan bisa meraih sukses di tempat kerja, semisal sering berkomunikasi di tempat kerja sangat penting agar tak dinilai sebagai pribadi dingin, berkepribadian nice person, membuang jauh-jauh sifat minder agar bisa berkembang, dan yang terpenting tidak cari muka sebab akan sia-sia, serta memiliki motivasi dan etos kerja tinggi.

Buku ini selain untuk pekerja juga pantas dibaca para job seekers (pencari kerja) yang masih fresh graduate, karyawan bagian personalia, praktisi HRD, maupun pengusaha atau pemilik perusahaan yang sedang berburu calon karyawan handal.

Judul Buku : 30 Secret at Work
Penulis : Ir. Jamy Lydia Rahardjo
Cetakan : Pertama 2009
Tebal Buku : ix + 243 halaman
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Peresensi : Erik Purnama Putra, Pegiat Pers Kampus Bestari UMM

0 comments: