Kamis, 30 April 2009 (Surabaya Pagi)
Pemilihan legislatif (pileg) Kamis (9/4), berlangsung sesuai harapan banyak pihak karena terselenggara secara aman, jujur, adil, dan transparan. Meskipun ada beberapa petinggi partai politik (parpol) terkait persoalan terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT), di mana banyak orang tak terdaftar hingga tak bisa menyalurkan hak politiknya untuk menyontreng. Namun, di luar itu pelaksanaan pesta demokrasi berlangsung sukses.
Di sisi lain, meskipun hasil pemilihan belum diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum mengingat penghitungan suara perolehan partai politik (parpol) di pusat tabulasi penghitungan suara masih terus berjalan manual, namun berkaca dari hasil penghitungan cepat beberapa lembaga survei, masyarakat dan elite partai politik (parpol) sudah dapat menebak hasil perolehan partai peserta pemilu.
Di samping petinggi parpol yang berharap cemas dengan perolehan suara partainya, sebenarnya ada pihak yang lebih gelisah menanti keputusan resmi KPU terkait hasil total pencontrengan, yaitu calon legislator (caleg). Pasalnya, dibanding sistem tahun 2004, pileg sekarang bukan hanya petinggi parpol yang bekerja keras memenangkan partainya. Tetapi malah bisa dikatakan caleg yang lebih berperan mendulang suara dengan seringnya turun langsung menemui konstituennya agar dapat meraup suara sebanyak-banyaknya.
Dampaknya, setiap caleg harus sering terjun langsung menemui masyarakat untuk mengenalkan dirinya agar terpilih mengingat yang bisa menduduki kursi sebagai anggota dewan adalah caleg peraih suara terbanyak. Akibatnya, masing-masing caleg dari berbagai nomor urut berlomba dengan berbagai cara mempromosikan dirinya. Tak sendirian, petinggi partai yang ikut mencalonkan diri sebagai caleg pun ikutan memakai cara tradisional dengan menemui masyarakat demi memperkenalkan dirinya agar terpilih.
Yang terjadi, setiap caleg akhirnya harus mengeluarkan banyak biaya untuk membiayai kampanyenya agar popularitasnya naik dan dipilih masyarakat. Namun karena jatah di kursi Senayan cuma 550, sedangkan caleg yang berkompetisi berjumlah 12.000, maka yang tereliminasi sangat besar. Sehingga yang terjadi adalah diperkirakan akan banyak caleg yang stres hingga depresi karena tak terpilih mengingat kompetisinya sangat ketat.
Sudah pasti yang terpilih akan menerima beban psikologis akibat sudah keluar banyak uang, tenaga, dan waktu, tetapi tak terpilih. Maka pantas ketika hari-hari ini akan banyak caleh yang jantungnya berdegup kencang menunggu hasil keputusan KPU. Karena itu, perlu diwaspadai akan banyak orang gila baru setelah KPU melansir daftar caleg yang lolos dan tersingkir sebagai wakil rakyat.
Jika caleg yang kalah siap menerima hasil apa adanya meskipun konsekuensi tak bisa duduk sebagai anggota legislator itu tak masalah. Tetapi diperkirakan akan banyak caleg yang tak bisa menerima hasil bahwa dirinya gagal menjadi wakil rakyat. Itu semua menandakan bahwa banyak caleg yang berorientasi pada kekuasaan semata ketika dirinya mendaftar jadi caleg dan bukan bertujuan untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan mengincar jabatan sebagai anggota dewan.
Maka itu, ketika kursi empuk dewan yang selama ini didambakan tak kunjung didapat hasilnya adalah kekecawaan mendalam. Sehingga dikhawatirkan akan banyak caleg berpotensi menjadi gila sebab sudah berkorban banyak tetapi yang diinginkan tak kesampaian.
Analisis tersebut bukannya mengada-ada. Karena beberapa waktu lalu ada seorang mantan calon bupati di wilayah Jawa Timur yang gagal menang menjadi stres hingga harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) sebab tak bisa menerima realita. Sehari setelah pileg saja ada media media elektronik memberitakan seorang caleg yang sudah menemui psikiater karena menduga dirinya tak terpilih sebagai anggota dewan. Sehingga saya takutkan dalam beberapa hari ke depan RSJ akan banyak didatangi penghuni baru yang tak lain caleg yang kalah dalam pileg.
Dan ternyata ketakutan saya menjadi kenyataan. Sekarang dari berbagai daerah dipublikasikan banyak sekali caleg dengan tingkah polahnya sudah harus menjalani kehidupan di luar kenormalan seperti saat sebelum menjadi caleg. Diberitakan ada caleg yang harus menjalani pengobatan alternatif, ada yang mengmabil kembali hadiah yang dulu diberikan konstituennya akibat tak terpilih untuk menutupi hutangnya yang menggunung, hingga depresi karena malu tak kesampaian jadi anggota legislator. Bahkan yang lebih parah, ada caleg yang sampai harus menghembuskan nafas terakhir setelah mengetahui perolehan suaranya tak sesuai ekspektasinya dengan melakukan bunuh diri maupun kaget sehingga terkena penyakit jantung.
Berkaca dari itu sangat wajar ketika banyak petinggi RSJ melakukan antisipasi dengan menyiagakan psikiater maupun psikolognya guna menangani pasien supaya tak semakin banyak caleg depresi yang berpotensi jadi gila jika tak ditangani secara cepat dan tepat. Karena dapat dimengerti bahwa tekanan psikologis akibat gagal meraih kursi dewan setelah berjuang mati-matian pasti akan membuat caleg tertekan aspek psikologisnya sebab sebelumnya sudah keluar uang banyak demi membiayai perjalanannya mengarungi kompetisi menyambut pileg. Untuk itu, kita tunggu berita berapa banyak pasien baru di RSJ setelah ini.
Erik Purnama Putra
Mahasiswa Psikologi UMM
0 comments:
Posting Komentar