Selasa, 26 Mei 2009

Ketika Orang Miskin Hidupnya Menderita


Jumat, 22 Mei 2009 (Harian Bhirawa)

Dewasa ini ketika kemodernan semakin kasat mata dan mudah dijumpai simbol kemakmuran, seperti gedung bertingkat menjulang tinggi hingga sarana transportasi modern, ternyata di sisi lain kemiskinan juga tak kunjung hilang. Meskipun saat ini makin banyak orang yang mengklaim peduli dan berjuang untuk mengangkat harkat dan derajat rakyat kecil, orang pinggiran, atau pun masyarakat marjinal. Namun sebenarnya belum ada yang ikhlas mengabdi demi mengentaskan kemiskinan. Sehingga kemiskinan dan kebodohan jumlahnya terus bertambah.

Berangkat dari fenomena itu, Iwan Sulistiawan yang pendidik dan seniman berupaya membangun empati dengan menghadirkan kisah seru yang sering terjadi di sekitar kita, terutama penderitaan dan ketidakadilan yang kerap diterima kelompok tak mampu yang tertuang dalam buku kumpulan kisah fiksi singkat. Judul Miskin Tapi Sombong menandakan ada ketidakberesen pada orang miskin yang identik dengan kaum hina atau pemalas yang kerjanya hanya jadi benalu orang kaya.

Bahkan menurut Jaya Suprana dalam pengantar buku ini menilai jika judulnya kurang tepat sebab dinilai paradoksal. Dan benar, miskin yang diulas tuntas dalam buku tak ada yang menggambarkan sifat kesombongan, malah keprihatinan akibat selalu menerima sikap direndahkan maupun dipandang remeh. Jika pun ada hanya sebuah bentuk sebuah luapan gengsi dan jauh dari sifat sombong.

Meskipun buku ini berisi cerita fiksi singkat, namun bukan berarti pembaca tak menemukan sebuah penyegaran suasana sebagai barang yang dicari. Namun, akan banyak ditemui sebuah wacana bagus yang mengiris hati dan sembilu sebab banyak cerita yang mengundang kekaguman dan keprihatinan akibat keadaan orang miskin yang selalu tersisihkan.

Untuk memulai ulasan kisah penderitaan kaum papa, penulis mengingatkan dengan pertanyaan, benarkah politisi sungguh peduli dan berjuang untuk rakyat miskin dalam kampanyenya? Atau pernahkah kita mencoba membayangkan apa rasanya jadi orang kecil? Tentu sebuah kalimat refleksi yang akan menyadarkan individu untuk segera ’menginjak bumi’ agar segera menilai sikap kita selama ini kepada rakyat miskin.

Karena itu, beragam kisah singkat dalam buku ini akan membawa pembaca pada empati dan sampai pada kesimpulan, ternyata jadi orang susah itu ’sangat susah’. Pasalnya fakta membuktikan masih banyak rakyat miskin yang hidupnya serba kekurangan dan tak mendapatkan pelayanan memadai ketika mengurus kesehatan maupun fasilitas publik lainnya yang disediakan pemerintah. Untuk itu, kita berharap bisa semakin ingat dan peduli jika di lingkungan tempat tinggal masih banyak orang yang hidupnya tak lebih baik dari kita. Dan seyogyanya rasa syukur selalu terucap dari bibir sebagai wujud refleksi diri sebab diberi karunia kehidupan lebih baik oleh Tuhan.

Penulis yang dosen nyentrik ini melengkapi bukunya dengan banyak kisah yang terjadi pada wong cilik, mulai dari yang bertema politik, agama, plesetan dongeng sampai masalah perselingkuhan. Semua dikupas satu-persatu agar pembaca tergugah dan tak melewatkan barang satu pun isi buku untuk dibaca.

Seperti kisah kehidupan karyawan miskin kebingungan setengah mati akibat pada hari di mana gaji seharusnya bisa diambil, si istri terus menanyakan kapan bisa membawa sang bayi yang mengalami demam tinggi hingga harus dibawa ke klinik untuk diperiksa dokter. Dengan kondisi cemas berangkatlah sang bapak ke kantor untuk bekerja sembari menunggu gajian bulanan. Setiba di kantor terpampang pengumuman yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, tertulis ”Manajer Sedang ke Luar Kota dan Urusan Gaji Bisa Diambil Hari Jumat.” Padahal saat itu masih hari Rabu dan perlu dua hari menunggu duit, sementara pengobatan kesehatan anak tak bisa ditunggu karena bisa berbahaya. Kondisi itu jelas membuat hati trenyuh.

Ada pula seorang guru yang setiap sorenya harus tarik omprengan dan kucing-kucingan dengan polisi. Tujuannya hanya satu, yakni mendapat uang tambahan sebagai sarana meyambung hidup keluarga agar dapur tetap mengepul. Karena pendapatan dari mengajar tak mencukupi untuk biaya menghidupi keluarga, jadinya ’nyambi’ terpaksa dilaksanakan.

Cerita menggelitik lainnya tersaji dari peristiwa seorang ibu yang harus opname di rumah sakit tua sudah begitu bertempat di bangsal kumuh pula untuk menjalani pengobatan akibat kanker paru dan hati yang menggerogoti kesehatannya. Karena segan untuk merepotkan dokter maupun suster, sang anak yang berbakti dengan telaten mengurus dan menjaga ibunya selama berbaring di situ. Saat nafas sang ibu kian tersenggal dan dalam kondisi panik si anak bertanya pada dokter jaga, malah hardikan yang diterima. Pasalnya si dokter merasa tidurnya terganggu akan kedatangan si anak tersebut.

Setelah ditelusuri, ternyata disebabkan menjadi pasien Asuransi Kesehatan (Askes) yang diidentikkan dengan warga miskin sehingga malah dinilai sudah untung oleh dokter itu karena ibunya dirawat di rumah sakit dengan biaya pemerintah. Karena itu, anak yang berbakti tadi mencaci maki dirinya sendiri dalam hati mengapa harus menjadi pengguna Askes.

Tetapi ada juga cerita menggelikan sekeluarga miskin akan melakukan reuni sekolah. Tak ingin kehilangan wibawa di mata teman-teman maka untuk naik ke tujuan tempat acara harus menyewa taksi supaya tak dinilai turun derajat. Alhasil, karena ongkos mahal, belum sampai di tempat tujuan harus turun sebab uang di kantong semakin menipis. Payahnya, untuk ongkos pulang saja belum tentu mencukupi untuk membayar angkutan umum.

Kehadiran buku ini semoga menguatkan ketabahan hati insam manusia sebab di sisi lain ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari beberapa kisah ketangguhan kaum miskin dalam mengarungi kehidupan. Misalnya tak cepat putus asa dan pandai memeras otak guna mencari jalan keluar menghadapi masa tersulit sekali pun.

Judul Buku : Miskin Tapi Sombong
Penulis : Iwan Sulistiawan
Penerbit : PT Ufuk Publishing House
Cetakan : April 2009
Tebal Buku : xiv + 204 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra, Aktivis Pers Kampus Bestari Universitas Muhammadiyah Malang

0 comments: