Kamis, 13 Mei 2009 (Surabaya Pagi)
Menjadi warga miskin hidupnya selalu tidak tenang. Di samping sering mengalami ketidakadilan kadang juga diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Tak hanya itu, posisinya selalu termarjinalkan dan sebagian orang menganggap hina. Maka itu, banyak penduduk miskin, apalagi yang tinggal di daerah perkotaan hidupnya tidak tentram karena sewaktu-waktu bisa mengalami penggusuran. Apalagi jika rumah yang ditempati berada di stren kali yang notabene tanahnya termasuk miliki negara.
Kondisi itu dialami ratusan penduduk Stren Kali Jagir Wonokromo, yang tempat tinggal satu-satunya dirobohkan oleh Satpol PP Kota Surabaya selaku pihak bertanggungjawab mengatasi permukiman illegal, yang di-back up aparat kepolisian dengan bantuan alat berat eskavator. Sehingga rumah yang ditempatinya sekarang lenyap seketika tanpa pernah diduga karena dianggal ilegal sebab tak memiliki sertifikat izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah daerah (pemda).
Memang benar mendirikan bangunan di sisi sungai merupakan bentuk pelanggaran karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dapat dikatakan ilegal. Namun yang tak boleh dilupakan mengapa warga di tempat itu bisa sampai mendapat Kartu Susunan Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang notabene dikeluarkan pihak kelurahan dan kecamatan Wonokromo, yang dengan bukti itu sama saja mengesahkan penghuni stren Kali Jagir sebagai penduduk resmi yang diakui keberadaannya. Sehingga logika berpikir kita jelas menyatakan antara kebijakan birokrasi satu dengan lainnya tak saling sinkron dan bertubrukan.
Namun di balik tragedi itu, banyak peristiwa memilukan terjadi yang dialami penduduk yang dulu menjadi penghuni Stren Kali Jagir. Pasalnya, dilaporkan proses penggusuran pada pagi hari awal pekan ini mengalami tentangan luar biasa dari warga sebab kompensasi yang dijanjikan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya sebesar Rp 5 juta sebagai ganti rugi agar berpindah mencari tempat tinggal lain belum dibayarkan kepada warga. Akibatnya seluruh warga kompak menolak digusur karena merasa dibohongi penguasa yang tak kunjung memenuhi janjinya dengan mengganti rugi bangunan liar (bangli) yang diratakan dengan tanah.
Di situ lah letak ketidakadilan terjadi pada golongan kaum bawah tersebut. Pasalnya jika mengacu kesepakatan penggusuran belum lama ini antara warga dengan Pemkot Surabaya yang belum menemukan titik sepakat, mengapa Satpol PP begitu berani dan sangat semangat berusaha melenyapkan rumah di sepanjang jalan Jagir Wonokromo itu. Karena hal itu jelas merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebab sama saja penguasa mengorbankan rakyatnya dengan melanggar kesepakatan yang dibuat bersama.
Selayaknya sebelum digusur, Pemkot Surabaya lebih dulu melakukan sosialiasi supaya penghuninya lebih siap jika harus pindah tanpa harus menerima kenyataan pahit seperti saat ini. Bisa juga dilakukan dengan cara lebih baik tanpa meninggalkan kesan buruk di mata warga mengingat kebanyakan mereka orang luar kota yang tak mempunyai sanak keluarga di Surabaya dan tak punya tempat tinggal lain lagi.
Karena penghancuran ratusan bangli juga merupakan langkah kontraproduktif mengingat berdasar Peraturan Daerah (Perda) Provinsi No.9/2007 tentang penataan sempadan sungai di seluruh Surabaya, tidak mengatur penggusuran, kecuali hanya renovasi saja. Berpatokan aturan tersebut bisa disebut tindakan Satpol PP sangat arogan, kelewat batas, dan tak berdasar. Apalagi cuma menghadapi rakyat jelata dengan cara unjuk kekuatan, sehingga jelas di sini aspek kemanusiaan tak diindahkan sama sekali.
Dampaknya, di area penggusuran terjadi pemandangan memiriskan, di mana tempat berkumpulnya warga, terutama ibu-ibu dan anak-anak yang menangis meraung-raung melihat rumahnya hancur, terlihat suasana menyedihkan. Kita tentu tak bisa membayangkan seandainya ada di posisi mereka yang harus kehilangan tempat tinggal satu-satunya, sedangkan pemda tak kunjung merealisasikan janjinya memberi uang ganti rugi.
Dampak Buruknya
Di antara penghuni Stren Kali Jagir terdapat 71 siswa yang yang sedang menghadapi ujian akhir sekolah (UAS). Akibatnya, puluhan siswa mulai tingkat SD, SMP, dan SMA tersebut harus rela kena mutasi paksa dari sekolah dan terancam gagal mengikuti tahap terpenting selama menempuh sekolah akibat diajak pergi oleh orangtuanya dipermukiman baru. Sebuah kejadian ironis dan sangat menggugah kesadaran hati karena penggusuran sampai harus mengorbankan pendidikan anak bangsa. Sehingga sungguh keterlaluan sekali kebijakan Satpol PP jika hanya mengedepankan tugasnya, namun mengesampingkan dampak serius yang dirasakan penduduk Stren Kali Jagir, yang bakal muncul dikemudian hari.
Tak hanya itu, ekses buruk juga bakal ditanggung warga yang rumahnya sudah terlanjur dieksekusi karena selanjutnya ratusan penghuni di sepanjang Kali Jagir tersebut tidak tahu akan dikemanakan penguasa. Akibatnya, sekarang mantan penghuni Stren Kali Jagir harus beretduh di tepi Jalan Jagir saat siang hari, sementara pada malam hari harus menumpang rumah penduduk yang mau membelaskasihani sebab penduduk sekitar tak tega melihat mereka keleleran di jalanan.
Sehingga dapat dipastikan mereka akan menjadi gelandangan, yang di satu sisi akan menimbulkan beban baru, yaitu munculnya masalah sosial baru bagi pemerintah. Karena dapat dipastikan mereka akan menjadi gelandangan dan pengangguran baru, yang tentu saja akan semakin menjadi beban sosial Pemkot Surabaya.
Erik Purnama Putra
Aktivis Pers Kampus Bestari Universitas Muhammadiyah Malang
0 comments:
Posting Komentar