Minggu, 5 April 2009 (Duta Masyarakat)
Menyambut perhelatan pesta demokrasi lima tahunan, Sintong Hamonangan Panjaitan bikin geger dunia perpolitikan Indonesia setelah meluncurkan buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang menceritakan perjalanan karir militernya sejak menjadi perwira pertama lulusan Akademi Militer Nasional angkatan IV tahun 1963, catatannya sebagai Panglima Kodan IX/Udayana saat Peristiwa Dili 1991, hingga peralihan kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie.
Sejak peluncurannya, buku ini langsung menjadi kontroversi, sebab dalam buku ini mengungkap kebobrokan yang menyinggung Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) dari Partai Gerindra, dan Jenderal TNI (Purn) Wiranto, yang merupakan capres dari Partai Hanura. Di samping itu, banyaknya respon yang muncul, mulai komentar sanggahan dari pihak yang tersudutkan hingga pujian dari berbagai kalangan yang menganggap buku ini bisa jadi menguak sejarah abu-abu yang mewarnai kehidupan transisi semasa Orde Baru (Orba) ke reformasi, menjadi nilai plus dibanding buku sejenis yang sudah ditulis pelaku sejarah lainnya.
Di mulai pada Mei 1998, ketika gerakan melawan Soeharto menguat hingga membuat suasana keamanan Ibu Kota bergejolak, kondisi itu memaksa Penguasa Orba untuk turun dari singgasana. Banyak kalangan tak percaya kekuasaan Soeharto yang ditopang Golkar dan ABRI (TNI&Polri) bisa habis dalam sekejap dilindas kaum reformis yang dimotori mahasiswa berhasil menguasai gedung DPR/MPR. Karena itu, analis menyebut ada ketidakberesan yang terjadi dikalangan pendukung setia Soeharto karena sangat janggal jika Orba yang menguasai segala segi kehidupan masyarakat tak berkutik ketika berhadapan dengan rakyat sipil yang notabene berhasil mereka kendalikan selama 31 tahun.
Pada 16 Mei 1998, melihat kondisi negara tak kunjung kondusif membuat insting Soeharto sebagai mantan prajurit lapangan merasa ada gejala yang dapat membuatnya bisa jatuh dari tampuk kekuasaan. Untuk merespon itu, Jenderal Bintang Lima perlu merasa membuat Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang selanjutnya direvisi menjadi Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (KOPKKN), di tunjuk Panglima ABRI, Wiranto, sebagai penanggungjawab keamanan dan ketertiban demi mengatasi kerusuhan.
Menurut Sintong, sikap Wiranto tak jelas dan mengambang sehingga tak mau melaksanakan perintah Soeharto. Padahal tak ada alasan bagi Wiranto untuk tak melaksanakan perintah pendiri Cendana. Karena kekuatan tentara terletak pada sistem hierarki komandonya. Sehingga bila tak melaksanan perintah itu maka konsekuensinya Panglima ABRI mengundurkan diri sebab tak berani pasang badan untuk melindungi dan menjunjung tinggi Presiden Republik Indonesia (RI) sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Di situ lah letak kesalahan terbesar Wiranto menurut Sintong sebab tak memiliki jiwa ksatria untuk melindungi pemimpinnya.
Tak berselang lama, 21 Mei the smiling general lengser dari jabatannya karena sudah tak ada yang mendukungnya. Dan MPR dan beberapa pembantunya (menteri) banyak yang ‘berkhianat’. Sehingga diangkat lah BJ Habibie ebagai Presiden RI, yang diikuti dengan Sintong diangkat menjadi Penasehat Presiden bidang Pertahanan dan Keamanan (Hankam).
Sehari setelah pelantikan, pagi hari Panglima ABRI, Wiranto menghadap Habibie untuk melaporkan situasi keamanan terbaru bahwa ada pergerakan pasukan Kostrad di bawah komando Prabowo dari luar Jakarta, menuju Ibu Kota tanpa sepengetahuannya. Karena Prabowo memiliki 11.000 pasukan yang 90 persen berada di Jakarta, sehingga ada kemungkinan akan melakukan kudeta. Maka itu berdasar masukan dan berbagai pertimbangan, Habibie tak bisa menoleransi keadaan itu dan memerintahkan Wiranto untuk mengambil langkah tegas dengan mengganti Prabowo sebelum matahari terbenam di hari itu juga.
Ketika mengetahui dirinya dicopot, sekitar pukul 15.00 WIB, Prabowo datang ke Istana Negara untuk menemui Kepala Negara. Petugas Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres) yang berjaga tampak segan menegur dan membiarkan Prabowo yang bersenjata lengkap melenggang masuk tanpa perlu diperiksa dan disterilkan. Sintong yang melihat ketidakberesan itu membuat langkah preventif guna mencegah hal buruk yang mungkin bisa terjadi pada presiden. Mengingat saat itu emosional Prabowo tampak diselimuti kemarahan akibat dicopot dari jabatannya sebagai Pangkostrad.
Setelah Sintong menyuruh alah seorang Paspamres untuk melucuti senjata Prabowo dengan sikap elegan, Habibie dan Prabowo terlibat perbincangan khusus, meskipun sebelumnya Sintong menyuruh menantu Presiden Soeharto tersebut untuk pulang. Namun BJ Habibie berkehendak lain dan ingin berbicara dengan Prabowo. Dalam obrolan dua orang itu, Prabowo mendesak kepada Presiden RI agar dirinya disambungkan via telepon kepada Wiranto. Tindakan itu dinilai Sintong tak etis, mengingat seorang Jenderal Bintang Tiga yang baru dicopot dari jabatannya mendesak Presiden. Sehingga dia memerintahkan kepada ajudan presiden agar tak menuruti keinginan Prabowo dengan mengatakan Panglima ABRI tak bisa dihubungi.
Buku ini di samping contoh di atas juga banyak mengupas sisi sejarah yang selama ini belum terpublikasikan di media massa. Di antaranya, peristiwa pada Maret 1983, yang disebut Prabowo yang saat itu masih berpangkat Kapten ingin melakukan coup d’ etat (kudeta) militer dengan menculik pejabat teras militer. Hingga banyaknya petinggi militer yang ‘dibawa’ Panglima ABRI, Wiranto ke Malang untuk menghadiri upacara serah terima Komandang PPRC dari divisi I ke Divisi II Kostrad. Padahal Jakarta sedang chaos dan membutuhkan pengamanan dari militer, yang membuat Wiranto dituding ‘melarikan diri’ dari tanggungjawab tugasnya dalam menciptakan keamanan dan ketertiban.
Judul Buku : Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
Penulis : Hendro Subroto
Cetakan : Maret 2009
Tebal Buku : xxx + 522 halaman
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara
Peresensi : Erik Purnama Putra, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
0 comments:
Posting Komentar