Selasa, 07 April 2009

Sintong Mengungkit Kebobrokan Wiranto dan Prabowo


Jumat, 3 April 2009 (Harian Bhirawa)

Hancurnya imperium Jenderal Besar Soeharto sebelas tahun silam (Mei 1998), yang digulingkan kalangan reformis bagi sebagian analis bukan semata desakan keras kalangan reformis semata, melainkan karena ada ketidakberesan yang terjadi dikalangan pendukung setia the smiling general (ABRI dan Golkar). Mengingat sangat janggal jika penguasa Orde Baru (Orba) yang menguasai segala segi kehidupan masyarakat tak berkutik ketika berhadapan dengan rakyat sipil yang notabene berhasil mereka kendalikan selama 32 tahun.

Karena itu, banyak kalangan masih penasaran ada apa dengan ABRI ketika itu hingga tak mampu mengendalikan massa yang membuat kekuasaan Soeharto jatuh. Pasalnya banyak elite politik dalam dan luar negeri serta masyarakat yang tak percaya kekuasaan Soeharto bisa habis dalam sekejap mata.

Namun, jawaban itu bisa pembaca dapatkan di buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, hasil penuturan tertulis Letjen (Purn) Sintong Hamonangan Panjaitan. Untuk diketahui, perjalanan karir militer Sintong begitu menakjubkan, di mulai dari operasi memburu Kahar Muzakkar di Sulawesi; Penumpasan Gerakan 30S/PKI di RRI Jakarta, Lubang Buaya, dan Jawa Tengah; operasi tempur di Irian Barat (Papua); hingga operasi antiteror pembajakan pesawat Garuda di Thailand, serta keterlibatan Sintong Panjaitan sebagai Panglima Kodam IX/Udayana saat Peristiwa Dili 1991.

Yang jadi catatan, buku ini menjadi menarik karena mengungkap cerita kontroversi petinggi ABRI, yang sekarang berjuang maju mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) dari Partai Hanura, Wiranto dan Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Untuk semakin memanjakan curiousity pembaca, penulis buku Hendro Subroto, yang wartawan perang melukiskan drama keadaan saat Letjen (Purn) Prabowo Subianto, dicopot jabatannya sebagai Pangkostrad. Tak hanya itu, kejanggalan kerusuhan Mei 1998 dan peran Jenderal (purn) Wiranto yang bergeming menyikapi peristiwa itu yang menjadi awal kejatuhan Presiden Soeharto, tak luput dikupas.

Pada bulan kelima sebelas tahun lalu itulah tercipta sebuah ‘tragedi’ bagi pemimpin Republik Indonesia. Saat itu pemerintahan Orba yang digawangi Soeharto harus dilindas habis oleh kaum reformis yang dimotori mahasiswa. Di saat genting dan mencekam itulah, era kediktatoran Soeharto yang sudah berumur 32 tahun ambruk karena harus menuruti keinginan massa yang menuntut perubahan kehidupan, yaitu penerapan kehidupan demokrasi disegala lini.

Setelah membaca penuturan Sintong, yang saat tragedi berdarah Mei menjabat sebagai penasehat Wakil Presiden BJ Habibie bidang Pertahanan Keamanan (Hankam), mensinyalir ada beberapa bentuk ‘pengkhinatan’ yang dilakukan orang dekat pendiri trah Cendana tersebut. Runtuhnya Soeharto dari kursi Kepala Negara bukan hanya disebabkan tuntutan kaum reformis semata, melainkan karena dua kekuatan utama penopang the smiling general, ternyata tak patuh dan dinilai ‘berkhianat’.

Panglima Besar ABRI, Wiranto tak menuruti perintah Soeharto untuk mengambil tindakan tegas untuk mengondisikan massa. Sementara, Golkar sebagai penguasa Senayan malah menuruti pendemo untuk menyarankan Soeharto mundur.

Pasalnya, ketika terjadi chaos hebat di Jakarta, kekuatan militer organik yang ada ditambah dari kesatuan lain yang bisa bergerak mengatasi keadaan malah seperti tak ambil pusing dengan yang kerusuhan di Ibu Kota. Lagian, bukan perkara sulit bagi tentara untuk membereskan segala gejolak yang timbul, yang dapat dapat menggangu stabilitas keamanan dalam negeri dengan alasan menjaga stabilitas karena dibenarkan sesuai konstitusi.

Massa yang terus berkumpul akhirnya berhasil menduduki gedung DPR untuk memaksa para wakil rakyat untuk menuntut mundur Soeharto dari jabatan presiden. Ironis. Padahal beberapa bulan sebelumnya penghuni Senayan yang mengesahkan Soeharto menjadi presiden untuk masa ketujuh periode kepemimpinannya. Soeharto yang Jenderal Bintang Lima merasa dirinya telah ditinggalkan seluruh orang kepercayaannya hingga membuat instingnya sebagai mantan prajurit menandakan bahwa kekuasaannya akan berakhir. Tak menunggu lama, Soeharto menyerahkan estafet kepemimpinan kepada BJ Habibie.

Pergantian Presiden RI tak membuat kondisi Indonesia lebih baik. Harga nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar terpuruk ke level Rp 17.000 per US$. Ekspor maupun impor nol. Sebuah situasi yang memaksa BJ Habibie pusing tujuh keliling karena di saat bersamaan kerusuhan belum mereda dan tak berhasil dikendalikan.

Dalam situasi tegang dan mencekam, BJ Habibie bertanya kepada Sintong tentang keberadaan para jenderal yang tak kelihatan. Padahal di saat itu Jakarta sedang dilanda kehancuran dan kerusuhan yang sudah amat parah. Sebagai penasehat bidang Hankam, Sintong bergerak responsif dengan menghubungi petinggi ABRI. Namun kekecewaan yang didapat mantan Pangdam Udayana tersebut. Ternyata, pejabat teras militer semuanya ‘boyongan’ ke Malang untuk menghadiri upacara serah terima Komandang PPRC dari divisi I ke Divisi II Kostrad.

Sebuah hal aneh dan menimbulkan gonjang-ganjing mengingat jika dibandingkan dengan situasi keamanan yang membutuhkan penanganan dari tentara, di sisi lain semua pejabat militer ‘melarikan diri’ ke Malang. Kondisi yang tak bisa dipikir secara akal oleh siapa pun. Karena menunjukkan bahwa Panglima ABRI, Wiranto, seperti lepas tanggungjawab masalah keamanan yang berpotensi mengancam stabilitas negara. Bisa disebut jika Wiranto tak melaksanakan amanah pekerjaan dengan baik sebab tak bisa memprioritaskan mana yang harus didahulukan.

Di bagian lain, Sintong juga mengupas bagaimana bisa Prabowo sampai mempertanyakan (menolak) dicopotnya dari Pangkostrad hingga harus menemui Presiden BJ Habibie di Istana Negara dengan senjata lengkap. Padahal setiap tamu Negara yang berkunjung harus disterilkan, tetapi karena Paspamres kenal dan segan terhadap Prabowo, anak begawan ekonomi Prof Soemitro tersebut bisa melenggang masuk menemui Kepala Negara. Meskipun ketika bertatap muka, akhirnya senjata Prabowo berhasil diamankan aparat Paspamres atas perintah Sintong guna menghindari kemungkinan terburuk.

Dicopotnya Prabowo dari Pangkostrad karena Wiranto melapor kepada BJ Habibie bahwa ada pergerakan pasukan disekitar kediaman BJ Habibie dan Jakarta tanpa sepengetahuan Panglima ABRI. Karena takut ada kudeta, Habibie memerintahkan Jenderal Wiranto untuk mencopot Prabowo hari itu juga sebelum fajar meski sebelumnya orang kepercayaan Prabowo (Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Muchdi Pr dan Kaskostrad Mayjend Kivlan Zen) berhasil bertemu mantan Menristek itu dengan membawa surat dari Jenderal TNI Purn AH Nasution agar Prabowo diangkat sebagai KSAD. Tetapi akibat laporan Wiranto, semuanya berubah cepat dan hubungan Habibie, Wiranto dan Prabowo menjadi tak harmonis lagi hingga sekarang.

Judul Buku : Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
Penulis : Hendro Subroto
Cetakan : Maret 2009
Tebal Buku : xxx + 522 halaman
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara
Peresensi : Erik Purnama Putra, Pegiat Pers Kampus Bestari Universitas Muhammadiyah Malang

0 comments: