Selasa, 07 April 2009

Menerima Gratifikasi Itu Korupsi

Senin, 29 September 2009 (Surabaya Pagi)

Bulan suci Ramadhan akan segera berlalu, digantikan hari Kemenangan yang akan tiba pada 1 September 2008, dan saatnya bagi umat Islam untuk menyambut hari Raya Idul Fitri 1429 H. Dalam merayakan momen hari Kemenangan ada budaya tidak tertulis yang terus berlangsung hingga sekarang di negara Indonesia, yaitu masalah pemberian hadiah sebagai upaya menjalin silaturahmi dan mempererat persahabatan yang telah terbentuk.

Jika diamati, sebenarnya budaya pemberian hadiah itu baik dan tidak perlu dipersoalkan. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia adalah bahwa hadiah dan semacamnya yang diberikan kepada pejabat negara biasanya cenderung memiliki ulterior motive (motif tersembunyi) dan bukan berdasarkan keikhlasan hati dari si pemberi.

Untuk itu, sebagaimana yang dikatakan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Harkristuti Harkrisnowo, bahwa segala pemberian yang biasanya marak terjadi menjelang lebaran bisa disebut sebagai gratifikasi dan patut diwaspadai. Karena selalu dikaitkan dengan pemberian yang berkonotasi negatif, baik si pemberi maupun penerima, yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

Biasanya pemberian barang dan semacamnya itu diberikan kepada pejabat negara yang mempunyai posisi penting dan terpandang di masyarakat. Karena posisinya itulah biasanya orang yang bersangkutan akan menerima banyak kiriman bantuan dan hadiah dari kolega maupun orang lain yang mengenalnya.

Masalahnya adalah selama ini pemberian hadiah kepada pejabat itu lebih bermakna gratifikasi yang dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh lobi dan bantuan dari si pejabat yang berangkutan. Sehingga ditakutkan pemberian itu sebagai upaya untuk mendapatkan sesuatu dan akan mempengaruhi pejabat bersangkutan ketika suatu saat nanti harus berhadapan dengan si pemberi.

Seperti yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu di mana yang dimaksudkan gratifikasi adalah pemberian dalam bentuk uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Untuk meminimalisir fenomena gratifikasi, KPK mengeluarkan larangan pemberian/penerimaan dan pengertian gratifikasi itu pada pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal itu sebagai bentuk langkah praktis guna mempersempit pejabat agar tidak bisa melakukan korupsi dan memutus rantai budaya korupsi yang sudah akut di negeri ini.

Di samping itu, tindakan KPK yang akan mengusut pejabat negara maupun pegawai negeri yang menerima gratifikasi dalam berbagai bentuk selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya gratifikasi tersebut adalah langkah tegas yang perlu ddukung sebagai upaya memerangi korupsi. Karena gerakan pencegahan dan tindakan anti korupsi itu harus terus dilakukan sebagai upaya agar korupsi tidak semakin meluas dan menggerogoti setiap sendi kehidupan masyarakat.

Kita memang perlu mempertanyakan jika seseorang ingin memberikan bantuan maupun hadiah kepada pejabat sebagai upaya membantu orang lain. Pasalnya jika ingin memberikan bantuan atau sejenisnya lebih baik disalurkan kepada rakyat miskin saja, karena pejabat negara hidupnya sudah bergelimang harta dan fasilitas. Sehingga sebaiknya pemberian tersebut disalurkan kepada janda miskin, korban bencana alam, dan golongan masyarakat yang belum mengenyam pendidikan secara layak, yang sekiranya lebih membutuhkan bantuan sebagai bentuk kesetiakawanan sosial.

Karena itu, tindakan yang dilakukan KPK itu adalah sebuah gebrakan bagus dan perlu terus didukung agar gartifikasi yang menjurus korupsi bisa dihilangkan dari Indonesia. Karena esensi merayakan hari Raya Idul Fitri bukannya bagi-bagi hadiah kepada pejabat dan elite negara secara berlebihan karena tidak pada tempatnya, melainkan lebih pada bagaimana hati dan perilaku ini bisa selalu berada di jalan Sang Pencipta.

Erik Purnama Putra
Mahasiswa Psikologi UMM dan Jurnalis Koran Kampus Bestari

0 comments: