Sabtu, 18 April 2009
Catatan hitam mengenai perilaku bobrok anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu mengundang perhatian khalayak ramai untuk dikupas. Banyaknya kasus yang terjadi di Senayan membuat masyarakat sebagai konstituen harus geleng-geleng kepala mencoba memahami tindak-tanduk di luar rasionalitas anggota dewan.
Dari masa ke masa, citra DPR sebagai lembaga representasi kedaulatan rakyat Indonesia tidak pernah lebih baik dan cenderung suram. Parodi dan dagelan yang ditunjukkan oleh wakil rakyat semakin menunjukkan bagaimana sesungguhnya kualitas pendidikan dan integritas politik, serta kesehatan hati nurani wakil rakyat (tidak) terhormat tersebut.
Buku DPR Uncensored hadir untuk membedah satu persatu kebejatan perilaku anggota dewan. Pasalnya, sebagai wakil rakyat yang bertugas menyalurkan segala aspirasi masyarakat Indonesia, anggota DPR masig belum bisa amanah menjalankan tugasnya. Padahal dengan lingkungan kerja mewah dan dipenuhi berbagai fasilitas kelas atas yang membuat suasana ruang kerja anggota legislatif menjadi serba nyaman. Kondisi itu malah membuat anggota parlemen itu kurang dapat bekerja secara kompetitif dan cenderung bermalas-masalan.
Seperti yang tertuang dalam Program Legislasi (Prolegnas) tahun 2005-2009 yang menjadi kesepakatan antara Pemerintah dan DPR, diperolah kompromi bahwa 284 UU harus diselesaikan oleh bagian legislatif. Sayangnya, dari jumlah itu hanya sebagian kecil saja yang sudah rampung dan mendapatkan pengesahan.
Dari berbagai sektor, bidang politik, hukum, dan keamanan mendapatkan pengesahan UU paling banyak, 55, 98 persen. Sedangkan aturan berkaitan dengan kesejahteraan rakyat memperolah prosentase 14,78 persen, yang merupakan sektor terendah.
Belum tercapainya target pengesahan UU dari segi kuantitas juga diikuti kualitas. Lihat saja pada 2005, dari target 55 UU yang harus disahkan, baru 14 yang sudah terealisir. Itu pun hanya 2 yang melibatkan DPR dari sisi substansi perundangan. Pada tahun selanjutnya, dari target 36 UU, baru disahkan 4 UU hingga sidang I, tanggal 18 Oktober 2008 (hal.45).
Hal itu jelas merupakan cerminan betapa tidak profesionalnya penghuni Senayan itu dalam bekerja. Kinerjanya tidak sebanding dengan gaji minimal sebesar Rp 36 juta per bulan. Padahal kerja keras membanting tulang tidak perlu dilakukan. Namun, di sisi lain hal itu tidak diimbangi performance bagus dalam kesehariannya. Asalkan mempraktikkan 3 D (Duduk, Datang, Diam), modal itu sudah lebih dari cukup bagi anggota DPR untuk menjalankan tugas yang diembannya.
Banyaknya bad news (berita miring) yang di-blow up berbagai media massa (cetak maupun elektronik) membuktikan kepada rakyat Indonesia bahwa anggota dewan hanya memikirkan kebutuhan perut dan mendahulukan kepentingan golongan (partai). Karena itu, tidak salah jika banyak masyarakat dan kalangan menilai anggota dewan bukan wakil rakyat, melainkan wakil partai.
Itu belum cukup. Apa yang bisa rakyat Indonesia simak seputar pemberitaan negatif penghuni Senayan adalah fakta tak terbantahkan. Merebaknya berbagai kasus di tempat kerja yang menimpa beberapa anggota dewan, seperti skandal korupsi, seks, abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), dan kasus sepele seputar rendahnya kedisiplinan dalam megikuti sidang adalah bukti konkret betapa rendahnya moral wakil rakyat. Hal itu jelas menjadi gambaran efektif untuk menggambarkan betapa konyolnya kinerja legislator pilihan rakyat.
Belum lagi jika berbicara masalah rapat komisi atau bidang yang tidak membahas masalah asupan ’gizi’, pasti rapat itu akan sepi peserta dan bakal banyak kursi melompong. Karena anggota dewan akan lebih memilih tidak datang atau ngacir lebih dulu daripada mengantuk terus mengikuti rapat yang dalam benaknya tidak menguntungkan dirinya.
Jika pun ada wakil rakyat tampil di podium tertinggi dengan semangat menggelora menyuarakan aspirasinya dengan mengkritisi kebijakan pemerintah. Hal itu sebenarnya semata-mata bukan murni untuk kepentingan masyarakat, melainkan hanya demi meraih simpati dan dukungan supaya namanya melambung. Karena itu, sangat tepat jika renungkan ucapan Gus Dur tempo hari ketika menganggap tingkah laku anggota legislator tak ubahnya seperti anak Taman Kanak-Kanak (TK).
Dalam soal sistem pemerintahan, seperti dikatakan Budiarto Shambazy di bab pengantar buku, pada kenyataannya di Indonesia, demokrasi seringkali justru berhenti total ketika segenap aspirasi rakyat disampaikan melalui parlemen. Dampaknya, masyarakat tidak bisa terlalu berharap banyak menggantungkan aspirasinya untuk disampaikan kepada politis pilihannya yang sudah menikmati baju kekuasaan. Hal itu menyiratkan bahwa keberadaan legislator bukannya menjadi solusi bagi rakyat Indonesia. Yang ada malah menjadi beban dan membuat penderitaan masyarakat menjadi bertambah.
Judul Buku : DPR Uncensored
Penulis : Dati Fatimah & Mail Sukribo
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal Buku : xviii + 165 halaman
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Peresensi : Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi UMM dan Aktivis Pers Kampus Bestari
0 comments:
Posting Komentar