Ahad, 13 April 2008 (Duta Masyarakat)
Menjadi muslim di negeri yang penduduknya mayoritas bukan pemeluk Agama Islam tentu banyak tantangan. Kondisi itu yang dirasakan komunitas muslim Cina. Pemerintah Cina di bawah komando ideologi Komunis berusaha dengan berbagai cara untuk menghambat laju perkembangan Islam di negeri tirai bambu tersebut. Namun, meskipun ditekan sedemikian rupa, keadaan itu tak mampu menyurutkan komunitas muslim Cina untuk terus berjuang mempertahankan eksistensinya.
Menurut berbagai sumber, Agama Islam pertama kali sampai di daratan Cina kira-kira sejak dari 1400 tahun yang lalu atau tepatnya tahun 618 Masehi semasa pemerintahan dinasti Tang. Penyebaran Islam dimulai ketika Nabi Muhammad Saw. mengutus sahabatnya, yaitu Saad bin Abdul Qais, Qais bin Abu Hudhafah, Urwah bin Abi Uththan, dan Abu Qais bin Al-Harits untuk melakukan dakwah dan memperkenalkan Agama Islam di Cina. Sejak zaman dinasti Tang pula mulai terjalin terjalin kerjasama dan sebuah hubungan diplomatik antara pemerintahan Cina dengan pemerintahan Khulafa’ Ar-Rasyidin di bawah pimpinan Sayidina Utsman bin Affan.
Di awal perkembangan Islam di Negeri Tirai Bambu tersebut, ajaran Islam diterima dengan baik dan pemerintah yang berkuasa pun memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing. Agama Islam dengan cepat menyebar dan diterima masyarakat karena ajarannya sesuai dengan ajaran Konfusius yang dulu menjadi pegangan masyarakat setempat, yang mengutamakan ketinggian budi, serta kebaikan akhlak dan moral.
Golongan pertama umat Islam di sana melakukan memiliki peribadatan dengan cara yang berbeda dengan penduduk lokal yang masih berpegang dengan ajaran nenek moyangnya. Pemeluk pertama umat Islam ini menyembah langit tanpa tugu dan patung di dalam bangunan (masjid). Sementara dalam kesehariannya mereka tak makan daging babi, menyembelih hewan sebelum dimakan, dan tidak meminum arak. Dan itu yang menjadi ciri khas umat Islam saat itu.
Sejak kedatangannya pertama kali di daratan Cina, Islam mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Namun meskipun banyak rintangan yang mengiringi perjuangan muslim Cina dalam menyebarkan syiar Islam, jumlah muslim di sana terus saja bertambah dan perkembangannya sangat menggembirakan. Data resmi pemerintah memang menyebutkan saat ini ‘hanya’ ada 30 juta penduduk yang menganut agama Islam. Akan tetapi, dari berbagai sumber dan melihat realita di lapangan, banyak yang berkeyakinan jumlah sesungguhnya komunitas orang Islam di Cina sudah mencapai 100 juta lebih.
Keberadaan komunitas Islam yang jumlahnya lebih kecil dari yang dirilis pemerintah patut dipertanyakan, karena selama ini muslim Cina hanya diidentikkan dengan Suku Hui saja oleh pemerintah sehingga tak ter-ekspos dunia luar. Padahal masih banyak suku lainnya yang menganut Agama Islam, seperti uygur, Kazak, Dongxiang, Kirgiz, Salar, Tajik, Uzbek, Baoan, dan Tartar, yang setiap suku tersebut memiliki ciri kebudayaan Islam. Sehingga klaim umat Islam yang jumlahnya 100 juta lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Ketika pemerintahan Komunis di bawah pimpinan Mao Zedong melaksanakan Revolusi Kebudayaan tahun 1960-an, banyak aliran kepercayaan dan agama yang terhapus. Di bawah kendali Mao, Revolusi Kebudayaan dijadikan sebagai ajang untuk menghapus etnis umat Islam dan penduduk yang bukan keturunan Cina. Sepanjang Revolusi Budaya bergulir, hampir 30 ribu bangunan masjid telah ditutup, imam masjidnya ditangkap dan dipenjarakan, puluhan ribu umat Islam dipaksa bekerja menjadi buruh kasar, serta sekolah-sekolah Islam diganti menjadi sekolah yang mengajarkan ideologi komunis, (hal. 130).
Tetapi kondisi itu malah membuat umat Islam semakin menunjukkan eksistensinya dan Agama Islam tetap bertahan walaupun selalu dalam tekanan yang dilancarkan pemerintah Komunis. Saat itu umat muslim tetap melakukan aktivitas keagamaannya di masjid dan melakukan syiar kepada masyarakat. Di samping itu, mereka tetap teguh memegang akidahnya, serta mampu bertahan di tengah himpitan badai sosial, ekonomi dan politik yang membelenggunya karena tekanan pemerintah.
Buku Rahasia Sukses Muslim Cina memaparkan bagaimana muslim Cina membangun peradaban agar eksistensinya dapat terlihat. Buktinya sampai sekarang terdapat tidak kurang dari 35.000 masjid berdiri di negeri tirai bambu tersebut, yang bangunannya meskipun memperlihatkan ciri-ciri budaya dan kesenian Cina, tetapi dihiasi hiasan kaligrafi dan tulisan arab yang memenuhi seluruh ruangan dalam masjid itu hingga membuatnya unik.
Ada juga mahakarya umat Islam berupa masjid tertua yang masih ada dan digunakan hingga sekarang sebagai tempat beribadah umat Islam, yaitu Masjid Nujie. Masjid ini dibangun tahun 996 Masehi. Keberadaan masjid tersebut jelas dapat menjadi simbol keberadaan umat Islam karena berdirinya bangunan masjid yang unik tersebut membuat umat Islam dapat terus melakukan aktivitasnya.
Perkembangan Islam di Negeri Tirai Bambu tersebut juga tak lepas dari jasa dan kehadiran sejumlah alim ulama dan tokoh ilmuwan Islam yang turut memperkokoh keberadaan umat Islam. Munculnya tokoh muslim seperti Laksamana Cheng Ho atau nama Islamnya Muhammad Ho, telah memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan dunia Islam di Cina.
Dari buku ini, penulis Ann Wan Seng, yang seorang keturunan Cina, memaparkan kepada kita tentang sejarah perjuangan komunitas muslim Cina dalam mempertahankan akidah Islam sejak pertamana kedatangan Islam di daratan Cina hingga perkembangannya saat menghadapi tekanan pemerintahan Komunis yang ingin menghilangkannya dari Negara Cina. Apa yang dilakukan saudara kita di Cina sangat menginspirasi dan boleh jadi bisa kita terapkan bagi gerakan muslim Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan.
Judul Buku : Rahasia Sukses Muslim Cina
Penulis : Ann Wan Seng
Penerbit : Himah (PT. Mizan Publika)
Terbit : Februari 2008
Tebal Buku : x, 145 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra
*Erik Purnama Putra (erikeyikumm@yahoo.co.id)
Jurnalis Koran Bestari UMM
0 comments:
Posting Komentar