Selasa, 07 April 2009

Dengar Musik Klasik Mencerdaskan, Siapa Bilang?


Jumat, 13 Maret 2009 (Harian Bhirawa)

Ada mitos berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa ibu hamil akan melahirkan anak yang berkepribadian baik, berpikir intelek dan cerdas, bila sejak dalam kandungan jabang bayinya sering diputarkan musik klasik, misal karya musisi Mozart. Pendapat itu tidak ada benarnya sama sekali dan sebuah pengagungan mitos yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

Pasalnya kondisi itu sudah dibuktikan pemerintah negara bagian Georgia, Amerika Serikat (AS), yang sampai harus membagikan CD musik Mozart kepada ibu yang baru melahirkan. Hasilnya? Mendengarkan musik klasik tak ada relevansinya dengan penambahan Intellegence Quotient (IQ) bayi. Hal itu diperkuat hasil penelitian Frances H. Rauscher yang menyebut adanya kesalahpahaman massal di masyarakat karena data efek Mozart hanya lah bentuk mitos dan tidak ada hubungannya dengan perbaikan IQ.

Padahal ’keyakinan’ itu sudah kadung dipercaya banyak orang hingga Indonesia. Faktanya banyak ibu hamil di Indonesia yang kadang mendengarkan musik klasik saat hamil dengan harapan supaya anaknya kelak memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata. Sehingga patut disayangkan banyak masyarakat, terutama orangtua yang lebih percaya dengan mitos yang kurang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Buku Read – Aloud Handbook hadir sebagai pegangan baru yang berfungsi mendekonstruksi berbagai pemahaman keliru yang sudah terlanjur menyebar di masyarakat seantero dunia. Bisa jadi isi dalam buku ini banyak bertentangan dengan berita yang banyak dipercayai orang tua karena sering mematahkan berbagai pernyataan yang sudah kadung dipercaya orangtua. Karena tulisan dalam buku ini berdasarkan penelitian dan dapat dipertanggungjawabkan secara empiris. Sehingga sangat sulit bagi pembaca untuk tidak tak percaya terhadap kandungan informasi yang terdapat dalam buku.

Di zaman multimedia, di mana godaan hiburan semakin bervariasi setiap orang tua yang baru melahirkan dan memiliki anak kecil (balita) harus ekstra hati-hati dalam membesarkan anaknya. Karena perilaku orangtua di rumah akan menentukan perilaku dan kepribadian anaknya. Jika orangtua lebih senang menonton televisi, maka anak akan belajar merekam realita itu dan akan menggemari hal serupa. Sehingga ungkapan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya cocok dianalogikan untuk menggambarkan hubungan relasi anak dengan orangtua.

Di samping itu, memaksakan anak dengan menyuruhnya belajar membaca setiap hari juga kurang bagus bagi perkembangan anak dan hanya bikin runyam keadaan. Yang ideal adalah anak dibiarkan berkreasi supaya pikirannya bisa berkembang dan baru menginjak sekolah dasar diupayakan untuk diperkenalkan dengan huruf bacaan. Anak itu menurut Jim Trelease adalah sebuah spon yang selalu siap menyerap segala aktifitas yang dilakukan orang terdekatnya. Sehingga sangat kontradiktif bila orangtua tetap memaksakan anaknya untuk membaca. Karena menurut penelitian profesional di negeri Paman Sam, disebut anak akan senang membaca dengan sendirinya jika dia sering melihat orangtuanya membaca.

Di lain pembahasan, buku ini mengungkap bagiamana sebuah kerugian besar bagi orangtua yang tidak punya waktu untuk membacakan sebuah cerita (dongeng) kepada anaknya. Karena dari modal mendengarkan itu lah suatu saat nanti si anak akan bisa jadi pembaca yang baik. Tak masalah apa yang kita bacakan, namun tetap si anak pada posisi jadi pendengar.

Di samping itu dongeng yang diceritakan akan disimpan kuat dalam kognitif dan akan terngiang hingga dia dewasa. Meskipun banyak informasi yang diperoleh seiring bertambahnya usia, namun cerita dongeng yang berkesan akan terus menempel kuat dan tak akan luntur di makan zaman. Dan itu membuktikan kekuatan dongeng. Karena ketika orangtua mendongeng sama halnya mengondisikan anak untuk terbiasa dengan bunyi ritmis dari suara saat membaca dan anak mengasosiasikannya dengan rasa damai dan aman, (hal. 71).

Pembelajaran melalui media televisi tidak banyak menolong daya kreasi anak. Dan lagi-lagi hal itu sudah diriset sebuah lembaga pendidikan di AS, di mana anak yang belajar dengan buku akan menciptakan pertanyaan lebih banyak meskipun dengan gambar diam dibanding gambar bergerak yang ditampilkan televisi. Karena ketika di televisi anak cenderung akan belajar pasif dan berbeda pergerakan imajinasinya jika menggunakan media buku.

Karena itu orangtua perlu meluangkan banyak waktu untuk berbagi kasih dengan anaknya. Karena tidak dapat dimungkiri perkembangan kecerdasan anak sangat berpengaruh pada tingkat pemberian kasih sayang dari ayah maupun ibunya. Sehingga Jim Trelease mengundang orang tua, guru, tenaga pendidik dan pengasuh anak supaya ikut mengampanyekan pentingnya membacakan cerita pada anak-anak yang proporsional dan disesuaikan dengan masa prasekolah dan sekolahnya.

Yang perlu dicatat setiap anak sebenarnya bisa menjadi penggemar bacaan, dan itu dimuali dari membacakan cerita kepada mereka sejak dini. Dan Jim Trelease akan memberitahu bagaimana cara mewujudkannya. Dengan pembahasan yang sarat makna, penulis berbagi cara inspiratif melalui kisah mencerahkan dari beragam penelitian terkini, dan testimoni dari para orangtua dan guru yang sudah membacakan cerita pada anak dan muridnya.

Meskipun buku ini menceritikan kejadian di negeri Paman Sam, namun tetap relevan dijadikan pegangan untuk orang tua di Indonesia. Mengingat buku ini kaya akan data dan bisa dijadikan referensi dalam mendidik anak dengan metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Judul Buku : Read - Aloud Handbook
Penulis : Jim Trelease
Edisi : Desember 2008
Tebal Buku : xvi + 275 halaman
Penerbit : PT Mizan Publika (Hikmah)
Peresensi : Erik Purnama Putra, Aktivis Pers Kampus Bestari UMM

0 comments: