Minggu, 3 Agustus 2008 (Surabaya Post)
Tak ada yang menyangkal jika Indonesia dijuluki sebagai salah satu negara besar di dunia. Namun nyatanya hingga enam dasawarsa lebih sejak meraih kemerdekaan Bangsa Indonesia belum saja mampu mengentaskan diri dari belenggu kemiskinan dan kebodohan.
Hal itu terjadi karena disinyalir pemimpin yang mengelola bangsa ini tak mampu menjalankan manajemen secara baik, hingga berakibat Indonesia masih saja mendapatkan julukan sebagai negara miskin.
Hal itu terjadi karena disinyalir pemimpin yang mengelola bangsa ini tak mampu menjalankan manajemen secara baik, hingga berakibat Indonesia masih saja mendapatkan julukan sebagai negara miskin.
Kondisi itu sebenarnya sebuah ironis karena Indonesia pernah digadang-gadang menjadi sebagai ’Macan Asia’. Tetapi karena sistem pemrintahan dan tata kelola yang kurang baik membuat Indonesia menjadi negara terbelakang dan jauh dari kata modern.
Badai krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis multidimensi berujung pada makin remuknya kondisi bangsa, yang membuat Tanah Air seolah menjadi negara ’sakit’. Boleh dikata Indonesia saat ini masih belum bisa sembuh seratus persen akibat hantaman krisis moneter yang terjadi lebih dari satu dasawarsa lalu.
Di tengah bangsa ini yang berjuang menyembuhkan diri untuk mencapai ke keadaan sebelum terjadinya krisis, malah dari unsur bangsa membuat Negara Indonesia menjadi semakin terpuruk saja. Salah satunya karena ’budaya’ korupsi yang dilakukan elite politik dan pejabat tinggi pemerintah.
Di tengah bangsa ini yang berjuang menyembuhkan diri untuk mencapai ke keadaan sebelum terjadinya krisis, malah dari unsur bangsa membuat Negara Indonesia menjadi semakin terpuruk saja. Salah satunya karena ’budaya’ korupsi yang dilakukan elite politik dan pejabat tinggi pemerintah.
Korupsi sudah menjadi penyakit kronis bangsa dan menjadi penghambat besar bagi Indonesia untuk menjadi negara yang makmur sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Eksekutif, legeilatif, dan yudikatif bersama-sama melakukan tindakan korupsi hingga membuat bobrok sistem pemerintahan, yang berujung pada pembangunan manusia Indonesia yang jalan di tempat.
Akibat korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah tersebut yang mencuri kekayaan negara tanpa henti mengakibatkan rakyat menjadi sengsara dan menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Sehingga Indonesia menjadi negara yang melarat dan dapat dikatakan sebagai negara miskin.
Akibat korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah tersebut yang mencuri kekayaan negara tanpa henti mengakibatkan rakyat menjadi sengsara dan menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Sehingga Indonesia menjadi negara yang melarat dan dapat dikatakan sebagai negara miskin.
Di samping itu, salah satu yang membuat Indonesia tertinggal dari Negara lain adalah kurangnya perhatian pemerintah dalam hal research & development (R&D). Padahal kegiatan R&D yang dijalankan masyarakat dengan difasilitasi negara adalah salah satu faktor yang menjadi sebuah tolok ukur kemajuan bangsa. Karena nantinya sebuah negara itu akan akan menghasilkan sebuah produk terapan modern yang dapat diaplikasikan demi kemajuan bangsa itu sendiri.
Namun sayangnya, Indonesia hanya mengalokasikan dana sekitar 0,1 persen untuk kegiatan R&D dari total penerimaan produk domestik bruto (PDB) negara. Fakta itu menjadi pertanda bahwa Indonesia masih akan terus tertinggal dari bangsa lain di dunia karena kebanyakan bangsa maju (Amerika, Jepang dan Eropa) mengalokasikan dana untuk R&D sekitar 2 hingga 3 persen lebih. Bahkan Israel mengalokasikan dana untuk R&D sebesar 4,5 persen (hal.251). Sebuah jumlah yang fantastis, sehinga negeri Zionis tersebut bisa menjadi bangsa yang maju dan modern.
Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah masih juga belum bisa mengelola sendiri potensi kekayaan alam tersebut. Buktinya dalam bidang investasi kerjasama minyak dan pertambangan, Indonesia berada pada posisi yang kurang menguntungkan karena harus tunduk kepada kepentingan investor asing.
Sehingga margin pendapatan yang didapat negara dari pengelolaan minyak dan pertambangan yang masuk ke dalam devisa negara sangat kecil. Namun meskipun kondisinya seperti itu, pemerintah Indonesia tak berani meminta bertindak tegas dan malakukan negoisasi ulang untuk meninjau kesepakatan tersebut.
Sehingga margin pendapatan yang didapat negara dari pengelolaan minyak dan pertambangan yang masuk ke dalam devisa negara sangat kecil. Namun meskipun kondisinya seperti itu, pemerintah Indonesia tak berani meminta bertindak tegas dan malakukan negoisasi ulang untuk meninjau kesepakatan tersebut.
Jika nasionalisasi dianggap sebagai langkah yang terlalu ekstrem atau revolusioner, bukankah ada jalan lain yang bisa ditempuh pemerintah untuk mencapai keadilan demi perbaikan nasib masyarakat Indonesia daripada terus menanggung kerugian yang besar.
Karena diakali investor asing yang terus menyedot kekayaan alam Indonesia, sementara Bangsa Indonesia tak mendapatkan keuntungan yang sepadan dari hasil kerjasama pengelolaan minyak dan tambang yang dikelola investor asing.
Karena diakali investor asing yang terus menyedot kekayaan alam Indonesia, sementara Bangsa Indonesia tak mendapatkan keuntungan yang sepadan dari hasil kerjasama pengelolaan minyak dan tambang yang dikelola investor asing.
Contoh paling nyata adalah kontrak Freeport MacMoran di Papua, yang sejak 1967 memperolah izin dari pemerintah untuk menambang emas, perak, dan tembaga di provinsi paling timur tersebut. Padahal Freeport sejauh ini telah melakukan beberapa kejahatan terhadap bangsa Indonesia.
Pertama, Freeport telah melakukan tailing (membuang limbah) sebanyak 300 ribu ton tiap harinya ke sungai Aghawagon-Otomona, hingga Freeport diangap melakukan ecocide (pembunuhan lingkungan). Kedua, Freeport melakukan kejahatan perpajakan, karena tidak membayar pajak seperti seharusnya.
Ketiga, kejahatan etika dan moral dengan melakukan penyogokan kepada oknum aparat pemerintaha, polisi dan militer. Keempat, kejahatan kemanusiaan karena Freeport menggusur tujuh suku asli Papua yang mendiami tanah leluhurnya dan membunuh sekitar 160 orang penduduk di daerah pertambangan. Kelima, kejahatan menguras kekayaan Indonesia melalui manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan yang misterius dan rahasia (hal. 161-163).
Pertama, Freeport telah melakukan tailing (membuang limbah) sebanyak 300 ribu ton tiap harinya ke sungai Aghawagon-Otomona, hingga Freeport diangap melakukan ecocide (pembunuhan lingkungan). Kedua, Freeport melakukan kejahatan perpajakan, karena tidak membayar pajak seperti seharusnya.
Ketiga, kejahatan etika dan moral dengan melakukan penyogokan kepada oknum aparat pemerintaha, polisi dan militer. Keempat, kejahatan kemanusiaan karena Freeport menggusur tujuh suku asli Papua yang mendiami tanah leluhurnya dan membunuh sekitar 160 orang penduduk di daerah pertambangan. Kelima, kejahatan menguras kekayaan Indonesia melalui manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan yang misterius dan rahasia (hal. 161-163).
Meskipun sudah jelas Freeport telah banyak merugikan Indonesia, pemerintah masih tetap saja memperpanjang kerjasama dalam hal pengelolaan kekayaan alam. Hal itu dikarenakan pemimpin bangsa ini yang bermental inlander, sehingga Indonesia tak mau mengusik Freeport sama sekali.
Sayang sekali, meskipun rakyat Indonesia sudah sangat menderita pemerintahan yang berkuasa masih saja tunduk kepada sebuah kekuatan korporatokrasi internasional. Padahal jika kondisi itu terus berlanjut, Indonesia tidak mungkin bisa memelihara kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandiriannya apabila Indonesia tetap saja mau didikte kepentingan kekuatan kapitalis dunia yang merusak.
Indonesia harusnya menyontoh langkah yang ditempuh oleh beberapa negara Amerika latin yang dengan berani membuat langkah tegas dengan meninjau ulang kontrak minyak dan pertambangan dalam negeri yang dikelola investor asing.
Sehingga ketika kerjasama itu ditinjau ulang, negara seperti Venezuela yang dipimpin Hugo Chavez dan Bolivia di bawah Evo Morales mampu mendatangkan keuntungan jauh lebih banyak bagi rakyatnya. Dan dalam waktu singkat kesejahteraan masyarakat Venezuela dan Bolivia meningkat.
Sehingga ketika kerjasama itu ditinjau ulang, negara seperti Venezuela yang dipimpin Hugo Chavez dan Bolivia di bawah Evo Morales mampu mendatangkan keuntungan jauh lebih banyak bagi rakyatnya. Dan dalam waktu singkat kesejahteraan masyarakat Venezuela dan Bolivia meningkat.
Amien Rais yang menjadi salah satu tokoh penting yang dimiliki Bangsa Indonesia berupaya menyumbang segala ide dan gagasannya demi kemajuan bangsa. Selaku penulis, Amien ingin agar pemerintah Indonesia untuk menghentikan segala tindakannya yang dapat memperburuk kondisi bangsa.
Karena jika tak segera ditangani, dikhawatirkan Indonesia bisa terjerumus ke dalam jurang yang dalam hingga berakibat Indonesia menjadi negara gagal. Dari buku ini kita bisa mendapatkan sebuah solusi untuk mengantarkan negara ini menjadi negara yang lebih baik daripada saat ini. Buku ini menawarkan agenda yang perlu kita kerjakan bersama. Mari kita selamatkan Indonesia!
Karena jika tak segera ditangani, dikhawatirkan Indonesia bisa terjerumus ke dalam jurang yang dalam hingga berakibat Indonesia menjadi negara gagal. Dari buku ini kita bisa mendapatkan sebuah solusi untuk mengantarkan negara ini menjadi negara yang lebih baik daripada saat ini. Buku ini menawarkan agenda yang perlu kita kerjakan bersama. Mari kita selamatkan Indonesia!
Judul Buku : Agenda Mendesak Bangsa (Selamatkan Indonesia!)
Penulis : Mohammad Amien Rais
Edisi : April 2008
Tebal Buku : xviii + 298 halaman
Penerbit : PPSK Press
Peresensi : Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi dan Aktivis Pers Koran Kampus Bestari UMM
0 comments:
Posting Komentar