Selasa, 07 April 2009

Sulitnya Mewujudkan Profesionalisme TNI

No.38/Tahun XXI/Mei - Agustus 2008 (Jurnal Bestari)

Di era modern seperti sekarang ini, hampir semua negara di dunia berlomba-lomba menciptakan sebuah kekuatan organisasi militer yang mampu menjaga kedaulatan negaranya dari berbagai ancaman, baik dari luar maupun dalam. Sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh, Indonesia juga mempunyai sebuah kekuatan pertahanan dan keamanan (hankam) yang tugas itu diembankan pada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kekuatan TNI oleh negara dijadikan sebagai alat penangkis segala gangguan yang ditimbulkan pengacau yang ingin mengganggu stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tujuan awal pembentukan TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang secara konsisten menjaga dan mempertahankan agar NKRI tetap berdiri kokoh, seperti yang dicita-citakan pada tujuan awal bangsa ini memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945. Di samping itu, pembentukan kekuatan organisasi militer Indonesia itu adalah untuk mencegah terjadinya berbagai ancaman stabilitas yang mampu menggoyahkan negara, dan menjaga kedaulatan negara dari segala elemen bangsa yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945, yang menjadi acuan hidup masyarakat dan pemerintah Indonesia.

Pembentukan kekuatan militer memang mutlak harus dimiliki setiap negara untuk menangkal setiap gejolak yang dapat mengganggu stabilitas negara. Sebagai kekuatan militer yang dibentuk dan diberi kewenangan resmi oleh pemerintah, TNI bertugas menjaga keutuhan NKRI dari berbagai ancaman yang timbul, baik dari faktor Bangsa Indonesia sendiri (internal) maupun negara lain (eksternal).

Memperbincangkan TNI sangat menarik tentunya. Buku Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI karya Rektor UMM ini mengungkapkan, bahwa pasca reformasi yang bergulir satu dasawarsa lalu, institusi militer Indonesia itu menjadi salah satu isu sentral yang ramai dibicarakan masyarakat. Keberadaan isntitusi militer sangat disorot akibat banyak para petingginya (Jenderal) yang tidak melaksanakan tugas utamanya, malahan lebih senang berkecimpung ke dunia sosial politik (sospol). Kecaman yang dilontarkan masyarakat (kalangan sipil) datang bertubi-tubi karena mereka menganggap apa yang dilakukan kalangan militer selama ini sudah melenceng jauh dari tugas utamanya, yaitu sebagai alat hankam negara.

Era reformasi yang ditandai dengan kembalinya kekuasaan negara ke tangan sipil membawa konsekuensi yang besar bagi keberadaan TNI. Kehidupan demokrasi yang mengiringi reformasi berdampak pada tuntutan agar TNI segera berbenah diri dan tak bersentuhan lagi dengan dunia sospol yang sebetulnya menjadi ranah kajian kalangan sipil. Karena apabila TNI masih bergelut di dunia sospol, otomatis tujuan awal Bangsa Indonesia yang ingin memiliki sebuah kekuatan militer yang profesional akan sulit tercapai. Hal itu disebabkan dalam organisasi militer tidak diajarkan pendidikan untuk berpolitik praktis, melainkan di-didik dengan berbagai strategi peperangan guna menjadi alat hankam negara yang kuat.

Tuntutan perubahan dalam tubuh organisasi militer yang sangat kencang dan terus mengalir dari kalangan sipil memaksa TNI mau tidak mau harus mengikuti kehendak sipil yang sekarang memegang kendali dan mempunyai legitimasi. Kalangan sipil menginginkan agar TNI merubah pola paradigmanya yang lama menuju paradigma baru sesuai dengan asas profesionalisme militer modern, yang banyak dianut negara maju.

Paradigma lama militer, di mana banyak prajurit TNI yang melibatkan diri dalam kehidupan sospol harus segera diakhiri dan harus berganti ke paradigma baru. Caranya dengan melarang mereka bersentuhan lagi dengan dunia sospol dan prajurit TNI aktif harus kembali ke barak, serta menjalankan tugas serta fungsinya sesuai dengan amanat dalam UUD 1945. Hal itu dilakukan agar TNI bisa lebih meningkatkan kemampuannya dan menjadi sebuah tentara yang berkepribadian profesional.

Untuk mencapai kondisi itu (TNI yang profesional) memang sulit dan dibutuhkan sebuah perencanaan yang matang, serta memiliki kemauan untuk berbenah diri dari dalam tubuh militer itu sendiri. Karena selama era Orde Baru (Orba) tahun 1967-1998, TNI dijadikan sebagai alat hegemoni untuk melanggengkan penguasa (Soeharto). TNI- bersama Golkar—dijadikan sebagai mitra utama Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.

Selama masa pemerintahan Orba, Soeharto banyak menempatkan aparat militer aktif dalam struktur jabatan di pemerintahan, yang seharusnya dipegang sipil. Karena itu, corak pemerintahan di masa Orba cenderung koersif dan menerapkan supremasi kekuatan untuk mengontrol masyarakat. Namun sayangnya, yang terjadi malahan membuat netralitas TNI, serta perannya sebagai kekuatan hankam negara menjadi kontra produktif. Karena militer dikontrol penuh oleh penguasa dan dijadikan sebagai kepanjangan tangan untuk melindungi kekuasaannya.

Terus-terusan menjadi kaki tangan Soeharto, dalam masyarakat mencuat sebutan bagi TNI (dulu ABRI) yang telah menjalankan dwifungsi (fungsi ganda) karena sebagai alat hankam, mereka malah terlalu jauh mencampuri dunia politik. TNI yang fungsinya sebagai alat hankam negara sesuai dengan yang diatur UUD 1945, ternyata juga menjalankan tugasnya dalam dunia sospol secara praktis. TNI ikut-ikutan berpolitik dan menguasai panggung pemerintahan.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, masa ketika era Orba berkuasa yang menjadikan kekuatan militer sebagai refleksi kondisi sosial, politik, dan kultur masyarakat adalah hal yang sangat bertentangan dengan cita-cita awal pembentukan kekuatan militer saat kemerdekaan 1945. Karena pada masa Orba, fungsi organisasi militer dikebiri oleh penguasa dan tugasnya hanya sebatas keamanan internal, namun ruang lingkup tindakannya tak terbatas. Sehingga menciptakan manajerialisme militer politik dan perluasan peran bagi militer dalam setiap sendi kehidupan berbangsa.

Kondisi itu tentu semakin memperkokoh peran militer dalam setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, karena hampir di setiap sektor kehidupan di masyarakat, militer mempunyai peran yang sangat besar. Sehingga tercipta sebuah kondisi yang serba disiplin, main komando, dan hierarkhis yang sangat kuat. Hal itu disebabkan dalam tradisi militer secara universal tak ditemukan musyafarah mencapai mufakat atau kearifan dalam pengambilan keputusan. Dan hal itu juga mulai terjadi dalam dunia pemerintahan.

Runtuhnya panggung Orba yang ditandai krisis ekonomi dan diikuti krisis dimensial melahirkan berbagai gerakan yang menuntut adanya reformasi di pemerintahan, tak terkecuali institusi militer. Tuntutan penghapusan dwifungsi institusi militer (ABRI) adalah yang paling santer terdengar di masyarakat dan tak bisa ditawar lagi. Kalangan sipil maupun kaum reformis sebagai pelaku menuntut salam institusi militer untuk melakukan repositioning fungsinya sebagai alat hankam negara. Pihak sipil menginginkan agar dilakukan banyak pembenahan dalam tubuh militer untuk menjadi tentara yang profesional, yaitu tentara yang diartikan terlatih, terdidik, disenjatai dengan baik dan ahli dalam bidangnya sesuai dengan tugas pokoknya mempertahankan NKRI. Dan tidak lagi mengurusi dunia sospol yang menjadi kajiannya kalangan sipil.

Seiiring berjalannya waktu antara kalangan sipil dengan pihak militer tidak saling menemukan kesinkronan dalam merumuskan definisi profesionalisme yang harus dijalankan TNI. Kedua pihak tidak saling sepakat dan malahan menimbulkan perdebatan panjang yang mewakili pandangan masing-masing. Tudingan sipil bahwa pembenahan yang dilakukan internal TNI tak signifikan dan tak ada hasil menggembirakan yang dicapai hingga kini membuat para petinggi TNI meradang. Berbagai kalangan menilai reformasi dalam tubuh militer guna mewujudkan tentara yang berjiwa profesional berjalan sangat lambat dan nyaris tak ada perubahan signifikan.

Profesionalisme militer yang diartikan memiliki semangat, dan metode dalam menjalankan tugasnya yang berbeda jika dibanding profesionalisme dikalangan sipil memang ada benarnya. Kalangan sipil dan militer yang belum menemukan kesepakatan terus saja saling mempertahankan pendapatnya masing-masing tanpa mau peduli bahwa kondisi itu juga malah semakin menghambat terciptanya profesionalisme dalam tubuh TNI. Tidak adanya konsep blue print yang seharusnya menjadi master plan dalam membentuk prajurit yang berjiwa profesional adalah hambatan terbesar untuk melakukan profesionalisasi setiap prajurit militer aktif.

Seperti yang pernah diungkapkan Samuel Huntington bahwa jika organisasi militer negara ingin menjadi institusi yang profesional, setidaknya harus memiliki tiga ciri yang harus dipenuhi, yaitu expertise, responsibility, dan corporateness. Pertama, institusi militer harus memiliki expertise (keahlian) yang diartikan mempunyai kemampuan tentang pengetahuan dan ketrampilan. Jika di masa lalu militer cenderung ahli di bidang kekerasan, sampai Harrold D. Laswell memberi sebutan terhadap perwira militer sebagai manager of violence. Namun sekarang dalam konteks perspektif profesionalisme, militer adalah manager of security dengan melakukan pendekatan human relations dalam tugasnya agar lebih dekat dengan masyarakat.

Kedua, militer harus memiliki sifat responsibility, di mana militer memiliki tanggung jawab sosial yang khusus, yaitu harus dan hanya loyal kepada negara. Artinya militer merupakan suatu organisasi yang tidak mempunyai preferensi (kepribadian) dan keberpihakan kepada siapa pun, kecuali patuh dan taat kepada keamanan dan kelangsungan hidup negara.

Ketiga, militer mempunyai ciri corporateness, sebuah karakter yang biasa disebut esprit de corps, yaitu mempunyai samangat kesatuan yang kuat dan bersumber dari doktrin (dogma) organisasi yang menaunginya, seperti disiplin, taat pada perintah atasan, solidaritas antar anggota, dan mempunyai jiwa kebanggaan menjadi bagian dari militer.

Perubahan karakter TNI secara drastis dari seperti yang sekarang menjadi tentara yang berjiwa profesional seperti yang diinginkan sipil bukanlah perkara mudah. Hal itu disebabkan karena banyak jenderal pembuat keputusan yang sekarang memegang beberapa posisi puncak adalah hasil produk warisan Orba yang sudah ’kecanduan’ dunia sospol. Kenyataan itu tentu saja membuat perubahan dalam tubuh TNI sulit untuk dilakukan dalam sekejap, karena hambatan juga datang dari internal sendiri selain faktor luar yang tak kalah rumit tentunya.

Alumnus Program Doktor Unair ini tak memungkiri banyaknya hambatan yang muncul guna menciptakan tentara yang profesional. Karena untuk menuju sebuah institusi militer yang profesional memang tak bisa dilakukan dalam waktu singkat (instans). Namun semuanya itu harus melalui sebuah proses resultan dari konteks sosial, kultural dan politik yang terjadi di dalam dan luar institusi militer itu sendiri, yang tentu saja hal itu membutuhkan proses panjang dan tak bisa dalam sekejap mata dirasakan dampaknya.

Pemerintah selaku pemegang kekuasaan tertinggi juga sudah mengupayakan agar TNI bisa lebih profesional dari sebelumnya. Pembuatan rumusan untuk mengembalikan peran dan fungsi TNI sebagaimana harapan Jenderal Besar Panglima Soedirman sebagai penjaga hankam negara adalah salah satu landasan agar TNI bisa menjadi institusi profesional.

Seperti yang pernah disampaikan Jenderal Besar Panglima Soedirman tentang konsep profesionalisme militer bahwa konsep militer yang profesional adalah tentara yang mempunyai ketabahan hati, setia terhadap bangsa dan negara, dan mampu sebagai pelindung rakyat dan abdi negara.

Salah satu upaya pemerintah untuk mengatur TNI dalam menjalankan tugasnya adalah tercantum dalam Tap MPR RI No VII tahun 2000, tentang peran TNI yaitu, pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa TNI merupakan alat pertahanan NKRI, ayat (2) TNI sebagai alat pertahanan negara bertugas pokok menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap bangsa dan negara adalah dasar pegangan yang jelas bagi tentara untuk bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Sehingga TNI dalam bertugas sehari-hari sudah mempunyai pegangan, selain Doktrin Prajurit yang memang harus selalu diamalkan dalam setiap tugasnya.

Namun tak dimungkiri untuk membangun keprofesionalitasan TNI tak cukup hanya melalui pembuatan peraturan pokok semata, aspek pendidikan, dan pemenuhan peralatan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista), serta pemenuhan kesejahteraan prajurit juga perlu diupayakan guna menciptakan kekuatan militer modern yang kuat dan supaya bisa bertindak profesional. Karena selama ini tuntutan kalangan sipil yang ingin agar organisasi militer segera melakukan profesinalisasi dalam internal institusinya juga terkendala dari belum cukupnya kesejahteraan yang dirasakan prajurit TNI. Kesejahteraan prajurit sangat penting, disebabkan jika kondisinya seperti sekarang jangan harap TNI bisa bertindak profesional.

Di samping itu, era modern juga menuntut militer untuk segera melakukan pemenuhan peralatan senjata yang tak bisa ditawar lagi guna menghadapi berbagai gangguan yang timbul, yang mampu menggoyahkan keadulatan NKRI. Ditambah tuntutan untuk selalu berpegang teguh kepada Doktrin Prajurit, yaitu menaati Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai perwujudan sikap prajurit TNI dalam ideologi berbangsa dan bernegara harus konsisten dilakukan setiap prajurit TNI agar bisa bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.

Sehingga dari bermodalkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit itu, kalangan militer bisa didorong untuk mewujudkan diri menjadi tentara profesional yang menjunjung supremasi kekuasan sipil dan selalu siap melaksanakan putusan politik yang dibuat politisi sipil yang mempunyai legitimasi politik.

Meskipun harus taat kepada supremasi sipil, sebagai prajurit profesional yang harus mencintai negara di atas siapa pun, maka ada juga pemahaman bahwa tidak selamanya prajurit TNI itu harus selalu tunduk pada keputusan sipil apabila posisi NKRI dalam keadaan genting. Hal itu terjadi apabila keamanan dan keselamatan negara berada dalam ancaman, TNI bisa saja mengambil jalan sendiri tanpa harus menunggu keputusan politik sipil, seperti yang dicontohkan Jenderal Soedirman tempo dulu.

Untuk menjadi prajurit profesional, di samping menjalankan peran maupun tugas utamanya TNI juga tidak hanya berperang secara fisik melawan musuh yang kasat mata, namun musuh seperti kemiskinan, kebodohan, dan selalu siap menjaga kedaulatan negara juga penting diaplikasikan. Karena itu, profesionalisme TNI harus dilandasi Jati Diri Prajurit TNI yang berwawasan luas dan dapat memandang ke depan, memiliki kompetensi di bidangnya, memiliki jiwa berkompetensi secara fair dan sportif, serta menjunjung tinggi moral dan etika profesi keprajuritan sesuai dengan Doktrin Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yang selama ini ditanamkan dalam pikiran masing-masing prajurit TNI.

Menurut Muhadjir yang juga pakar militer, jika unsur militer sudah tidak lagi bersentuhan dengan dunia sospol, di-didik dengan etika militer yang sesuai, mengamalkan setiap Doktrin Prajurit, tunduk pada supremasi sipil, memiliki peralatan Alutsista yang memadai, serta yang terpenting adalah kesejahteraan prajurit dapat diciptakan, niscaya TNI bisa menjadi sebuah tentara yang lebih baik dari keadaannya yang sekarang ini, apabila tidak boleh disebut profesional.

Setaat apa pun TNI terhadap Doktrin Prajurit yang menjadi jiwa penuntunnya dalam menjalankan tugas, namun jika kesejahteraan prajurit tak terpenuhi kebijakan merumuskan tentara yang profesional akan terus menemui dinding tebal dan jalan buntu. Buku setebal 341 hlm ini sangat layak dijadikan pegangan untuk menilai dan mengetahui sejarah perkembangan tentara dari awal pembentukannya hingga tuntutan untuk mereformasi diri agar menjadi institusi militer yang lebih profesional. Di tengah masih jarangnya literatur yang mengupas tentang TNI, buku ini bisa dijadikan referensi bagi masyarakat untuk mengetahui perjalanan TNI, meskipun kadar keilmiahan buku ini juga patut dipertanyakan.

Judul Buku : Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI
Penulis : Muhadjir Effendy
Cetakan : 2008
Penerbit : UMM Press
Tebal Buku : xxx, 341 hlm
Peresensi : Erik Purnama Putra

*Erik Purnama Putra
Mahasiswa Psikologi dan reporter koran kampus Bestari UMM

0 comments: