Minggu, 26 September 2010

Dilema Pengabdian Negara dan Keluarga

Ahad, 19 September 2010 (Duta Masyarakat) 

Sebagai Menteri Kesehatan RI saat itu, Siti Fadilah Supari dikenal akan kegigihan dan keberaniannya. Bahkan, ia sempat mengguncang dunia dengan menuding organisasi kesehatan dunia (WHO) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil untung dalam kasus penyebaran flu burung di dunia.

Namun, mungkin tak ada yang mengira di balik itu dia harus menghadapi musibah yang mengguncang kehidupannya. Tepatnya, saat sang suami divonis dokter menderita penyakit leukimia akut.

Di tengah dilema dan kegelisahan, antara pengabdian negara dan keluarga, wanita yang sekarang menjabat Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini mencatat bahwa perjalanan hidupnya penuh air mata dan peluh mendampingi sang suami.

Pengabdian, semangat nasionalisme, perjuangan, pengorbanan, perang batin, hingga kisah cinta lulusan doktor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini yang belum terungkap ke publik dituangkan dengan sangat personal. Bahkan bisa dinilai sepenuh hati dalam sebuah novelisasi memoar, yang merupakan pengakuan tulus dan terus terang penulis dalam mengarungi bahtera hidup bersama sang suami.

“Ini adalah novel biografis yang tak biasa ... ungkapan spontan dan jujur dari seorang mantan pejabat negara,” puji sastrawan Yudhistira M Massardi.

Pengakuan bahwa novel ini luar biasa bukan asal sebut. Penulis tak hanya menceritakan pengalaman yang jika pembaca hanya semakin kagum terhadapnya. Namun, perangi tidak emosionalnya juga turut diceritakan tanpa tedeng aling-aling.

Seperti saat awal-awal pernikahannya banyak diisi dengan pertengkaran hingga berujung pada rencana perceraian. Yang itu tak jadi dilakukan setelah oleh petugas BP4 Kantor Urusan Agama (KAU) Kebayoran Baru mereka dibukakan wawasannya bahwa keduanya masih saling mencintai.

Masalah pelik selanjutnya datang saat sang suami yang menjadi direktur di sebuah perusahaan real estate tiba-tiba memilih mengundurkan diri pada 1986. Alasannya adalah perusahaan tempat sang suami bekerja telah membohongi masyarakat, yang itu tak sesuai dengan prinsip hidupnya.

Alasan yang dikemukakan sang suami itu membuat hati Siti Fadilah hancur berkeping-keping. Karena saat itu ia sedang menempuh pendidikan spesialis dan tiga anaknya sudah bersekolah. Alhasil, ia harus hidup dari tabungan dan menjual tanah sebab sang suami menjadi pengangguran.

Akibatnya komunikasi keduanya terputus. Keadaan keluarga yang memburuk membuatnya sejak saat itu konsultasi pada psikolog yang menyarankannya untuk bercerai. Entah mengapa, saran dari psikolog itu secara dahsyat mengguncangkan pikirannya dan mengurungkan niatnya untuk bercerai.

Mulailah sejak saat itu ia menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus pontang-panting menghidupi keluarganya dan menjadi pribadi mandiri, meski tak jarang masih berkeluh-kesah kepada ayahnya di Solo. Namun, setelah mendapatkan saran menyejukkan dari bapaknya yang kyai ia kembali luluh dan bertekad menggawangi keluarganya agar semua anaknya memiliki masa depan cerah.


Titik balik
Kehidupan Siti Fadilah berubah saat medio Oktober 2008, saat suaminya tiba-tiba terbaring lemah di ruang rawat inap sebuah rumah sakit. Meski berharap tak terserang penyakit berbahaya, namun insting dokternya tak bisa mengingkari bahwa suaminya terserang penyakit berbahaya.

Akhirnya hasil pemeriksaan dokter keluar dan tak jauh dari perkiraannya, sang suami menderita penyakit leukimia akut. Jalan satu-satunya untuk memberikan kesembuhan adalah melalui chemotherapy dan perawatan di ruang steril.

Leukimia yang diderita sang suami—yang dipanggilnya mas Pari—membuat Siti Fadilah kembali sebagai perempuan biasa. Seolah momen itu menjadi titik balik hidupnya. Ia menjadi perempuan yang peka perasaannya, yang disadarkan bahwa di atas segalanya dirinya sebenarnya hanya mendambakan kasih dan cinta semata dari orang yang menjadi pendamping hidupnya selama 36 tahun tersebut.

Karena ia sebagai pejabat negara maka tak bisa berkutat menjaga suaminya dan harus menjalankan tugas negara dengan sering berkunjung ke pelosok daerah dan luar negeri. Hal itu ditanggapi sang suami dengan kecewa, yang malah membuatnya sebal. Tetapi, keteguhan hatinya selalu menuntutnya untuk tetap sabar di tengah pengabdiannya kepada negara dan keluarga.

Apalagi saat itu ia juga harus operasi penyakit mata yang dideritanya. Lengkap sudah kerumitan yang melandanya. Namun, ia malah semakin tegar dan tak mengeluh sedikitpun karena sudah berjanji akan menyampingkan kebahagiaan pribadi dan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia.

“ ... pembuktian kecerdasan Ibu Siti Fadilah Supari dalam memadukan tugas negara serta tugas istri dan ibu,” puji Lintang Sugianto, penulis novel Matahari di Atas Gilli.

Akhirnya takdir tak bisa dilawan. Setelah berjuang ekstra keras melalui pengobatan medis, tanggal 28 Maret 2009, selang tiga hari setelah merayakan ulang tahun pernikahan ke-36, sang suami menghadap Sang Pencipta.

Kepergian sang suami tercinta menorehkan duka tersayat dan cinta membara. Dari situ ia bisa merasakan sebuah cinta sejati. Tersadar pula bahwa semua yang ada di dunia merupakan titipan dan akan kembali kepada-Nya.

Judul                 : Tatkala Leukimia Meretas Cinta
Penulis              : Siti Fadilah Supari
Penerbit             : Hikmah
Edisi                 : Juli 2010
Tebal                : ix + 262 halaman
Peresensi            : Erik Purnama Putra, peminat kisah buku inspiratif (erikpurnamaputra@yahoo.co.id)

0 comments: