Senin, 22 Maret 2010
”Jangan membatasi dirimu untuk melakukan apa saja yang kau minati hanya karena kau seorang perempuan.”
Kalimat di atas adalah pesan dari sang ibunda tercinta bernama Dorothy Howell yang dinilai Hillary Diane Rodham Clinton -yang saat ini menjabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat—paling dalam yang selalu diingat hingga membuatnya menjadi perempuan tangguh dan berprestasi, serta berani berdebat dengan mahasiswa laki-laki jika memang dirasa diperlukan.
Hillary Clinton sejak kecil dibesarkan dalam keluarga sempurna. Ayahnya yang dikenal temperamen dan keras membentuk karakternya menjadi perempuan yang tak gampang menyerah jika harus berhadapan dengan laki-laki. Sementara, figur ibunya yang dikenal lembut dan penyanyang menjadi penyeimbang pembentukan karakter Hillary Clinton, hingga membuatnya memiliki watak tegas, namun pengertian. Yang menarik untuk dicatat, orangtua Hillary lebih sering berinteraksi dengan mengajaknya bermain bersama dan tak pernah mengizinkannya untuk menonton televisi ketika dia masih kecil.
Perjalanan hidupnya di dunia dianggap mantan first lady tersebut sebagai sebuah hadiah (life is gift). Hal itu tak heran jika melihat berbagai pencapaiannya dalam bidang politik, yang semua direngkuhnya secara manis dan mulus hingga mampu menjadi Senator AS asal New York pada 2000-2008. Namun, kehidupan seseorang pastilah memiliki ketidaksempurnaan. Begitu pula yang dialami Hillary.
Ada dua peristiwa penting yang tak bakal dilupakannya, yang itu merupakan pengalaman pahit dalam kisah hidupnya. Yang pertama tentu saja skandal suaminya, mantan Presiden AS Bill Clinton yang berselingkuh dengan sekretaris pribadinya, Monica Lewinsky. Dan kedua adalah kekalahannya dari Barack Obama dalam konvensi nasional calon presiden (capres) dari Partai Demokrat tahun 2008.
Tetapi, Hillary tetaplah orang yang bijak dan mampu mengedepankan pandangan positif dalam menjalani hidupnya. Meskipun saat tahun 1998, dia mati-matian membela suaminya di depan media maupun politisi, yang diakuinya adalah orang setia. Namun di kemudian hari Bill Clinton malah mengakui jika dirinya terlibat affair dengan salah satu stafnya yang cantik di Gedung Putih. Hal itu memang membuat Hillary merasa dirinya seperti diterjang badai besar hingga merasa dirinya terhina dengan ulah suaminya.
Mengingat saat itu Bill Clinton sedang menjabat Presiden AS untuk periode kedua. Tetapi setelah bergulat hebat dengan pemikiran dan menghitung untung rugi jika harus bercerai dengan suaminya, akhirnya perempuan pengagum ajaran Martin Luther King tersebut lebih memilih mempertahankan keutuhan keluarga di atas segalanya, dengan mengenyampingkan egonya bersama suaminya.
Momen ketidakmampuannya menggalang dukungan saat konvensi perebutan kursi capres melalui Partai Demokrat, juga dianggapnya sebagai perjuangan yang sulit dilupakannya. Hal itu karena dia selama ini sudah berjuang dan mempersiapkan semuanya sejak lama untuk dapat memenangi tiket capres dari Partai Demokrat. Namun akibat kesalahan strategi yang sempat dilakukannya dengan menggunakan isu rasial untuk menjatuhkan rivalnya Barack Obama, membuat alumnus Fakultas Hukum Yale University tersebut harus kehilangan dukungan dari keturunan Afro-Amerika, akademisi, dan kaum muda.
Tetapi Hillary tak mau larut dengan kekalahannya itu dan di luar prediksi banyak orang penulis buku Living History (2003) tersebut menyikapi hasil mengecewakan itu secara elegan. Bukannya malu mengakui kekalahannya, perempuan yang sebenarnya bercita-cita jadi dokter itu malah berpidato di depan massa sambil menyeru agar seluruh energi dan kekuatan pendukungnya digunakan untuk membantu Barack Obama dengan cara memilihnya pada pertarungan pilpres melawan calon dari Partai Republik John McCain. Selanjutnya, simpati kembali mengalir kepada peraih gelar Arkansas Woman of the Year itu.
Dampaknya, sebagaimana kita tahu, Barack Obama yang saat itu menjadi keajaiban di negeri Paman Sam hingga menjalar ke seluruh dunia mampu memenangkan even pilpres. Dan sebagai balasannya, Hillary diajak bahu-membahu menggawangi pemerintahan Obama dengan menawarinya jabatan Menteri Luar Negeri, yang merupakan ujung tombak pemerintahan AS dalam berdiplomasi dan menyosialisasikan kebijakan negara superpower tersebut kepada masyarakat dunia.
Sehingga tak heran dengan posisi strategis yang disandangnya tersebut kini perempuan yang pada mudanya sangat concern dengan perjuangan persamaan gender itu menjadi salah satu tokoh perempuan modern yang dianggap mampu memberikan inspirasi bagi masyarakat dunia agar tak pantang menyerah dan berpikiran jauh ke depan jika ingin merengkuh kesuksesan lebih besar. Di samping itu, Hillary adalah contoh sedikit perempuan yang memberi pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, yang merupakan sosok yang dapat diteladani.
Buku Hillary merangkum perjalanan masa kecil diplomat handal itu hingga menjadi Menteri Luar Negeri AS sekaligus sebagai orang kepercayaan Barack Obama dalam mengemban misi mengenalkan kebijakan pemerintahan negeri Paman Sam yang sekarang menggunakan soft diplomacy dalam menjalin hubungan dengan begara lain. Di sisi lain, juga ditunjukkan beragam prestasi dan pencapaian Hillary Clinton semasa hidupnya, hingga membuat buku ini tak mengupas sisi hidupnya yang negatif.
Judul : Hillary
Penulis : A. Bahar
Penerbit : Penebar Plus
Cetakan : I, 2009
Tebal : 188 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra, Jurnalis.
0 comments:
Posting Komentar