Senin, 9 Maret 2010
PRIA lebih mungkin melakukan kekerasan terhadap wanita. Pria adalah pemerkosa, dan wanita selalu menjadi korban. Pria lebih berkuasa dan identik membutuhkan penghormatan, sementara wanita sering menjadi budak kaum pria.
PRIA lebih mungkin melakukan kekerasan terhadap wanita. Pria adalah pemerkosa, dan wanita selalu menjadi korban. Pria lebih berkuasa dan identik membutuhkan penghormatan, sementara wanita sering menjadi budak kaum pria.
Semua mitos di atas dipatahkan oleh buku ini. Faktanya, pria lebih banyak menjadi korban jika dibandingkan dengan pandangan dan data-data valid, Warren Farrel, yang menghadirkan segala kontroversial dalam buku ini.
Penulis yang pernah menjabat sebagai Ketua Organisasi Nasional untuk Wanita di New York, memamaparkan secara gablang temuan hebohnya. Buku yang penuh kontroversi sebab penulis sepertinya ingin mengingkari naluri alamiah manusia, di mana pria selalu ingin berusaha melindungi wanita. Namun oleh penulis sepertinya ingin membalik semua anggapan itu.
Dewasa ini, berdasarkan hasil statistik modern yang digunakan acuan penulis didapatkan bahwa ’kekuasaan’ pria dari waktu ke waktu semakin sedikit dan tereduksi dengan semakin leluasanya istri menekan suami. Misalnya, sekarang muncul fenomenan di mana suami terlihat kurang bisa ekspresif dalam menghadapi istri sebab takut dibilang sebagai pribadi gampang mengeluh. Padahal sebagai kepala keluarga sudah selayaknya harus tampil meyakinkan dan tahan banting.
Atau kasus penghasilan yang dirasa suami semakin tak bisa menyejahterakan keluarga sebab penerimaan tak banyak meningkat sehingga harus sering menerima kerja lembur agar mendapat tambahan gaji. Namun, keadaan itu kadang disebabkan banyak uang hasil keringat suami digunakan untuk keperluan membeli barang kecantikan istri. Sehingga saat suami makin stress dan tak berani mengutarakan masalah itu kepada istri, di sisi lain semakin membuat suami tak berdaya melihat ulah istrinya yang terus menggila dalam belanja.
Mitos yang berkembang selama ini di masyarakat menyebut wanita lebih mungkin menjadi korban kejahatan daripada pria. Padahal pernyataan tersebut tanpa didasari bukti nyata. Mengingat seperti dilansir National Center for Health Statistics, sebenarnya pria yang menjadi korban kejahatan jumlahnya hampir dua kali lebih banyak dibanding wanita. Pria juga menjadi korban pembunuhan tiga kali lebih banyak dalam berbagai kasus yang terdata di kepolisian.
Dulu, anggapan pria lebih berkuasa karena menyandang status kepala keluarga membuat banyak kalangan menyebut wanita sebagai pengikut suami. Padahal nyatanya tidak seperti itu. Karena sebagai kepala keluarga yang harus mencari penghasilan sebagai karyawan, kaum pria ternyata lebih sering ditekan pemimpinnya sehingga dia tak cukup punya waktu untuk ’mengendalikan’ keluarga. Dan di satu sisi, istri yang lebih sering berada di rumah malah memiliki kontrol penuh terhadap diri dan anaknya, serta intensitas bersinggungan dengan suami kurang membuat wanita memiliki keleluasaan untuk menyebarkan kekuataannya, di saat sang suami terus mendapat kukungan aturan dari bosnya di kantor.
Dalam buku the Myth of Male Power (2009), disebutkan ketika sebuah keluarga menjalin pernikahan, cinta istri kepada suami akan hilang ketika tidak menerima uang lagi. Dan ternyata setelah ditarik benang merahnya adalah kekuasaan suami terhadap istri selama ini memang terdapat pada pemberian uang untuk digunakan pemenuhan biaya hidup keluarga.
Tetapi jika kontrol suami kepada istri yang didasarkan uang telah memudar maka akan terjadi pergeseran pengagungan. Kondisi itu disebabkan potensi ketidakbahagiaan dalam rumah mulai tercipta. Di mana suami merasa disibukkan oleh pekerjaan yang menyita waktu, pikiran dan tenaga, sedangkan istri mengalami kebosanan mengurusi anak dan pekerjaan rumah lainnya. Sehingga dimungkinkan terjadi tahapan menuju pasangan cerai yang sempurna.
Tetapi jika kontrol suami kepada istri yang didasarkan uang telah memudar maka akan terjadi pergeseran pengagungan. Kondisi itu disebabkan potensi ketidakbahagiaan dalam rumah mulai tercipta. Di mana suami merasa disibukkan oleh pekerjaan yang menyita waktu, pikiran dan tenaga, sedangkan istri mengalami kebosanan mengurusi anak dan pekerjaan rumah lainnya. Sehingga dimungkinkan terjadi tahapan menuju pasangan cerai yang sempurna.
Ketika sudah menikah, pria dan wanita yang dulunya bekerja akan mempunyai pilihan berbeda. Namun satu yang pasti, suami harus terus bekerja dan kemungkinan wanita menjadi ibu rumah tangga sangat besar dengan merelakan pekerjaan yang dulu disandangnya. Maka itu, suami sering harus menempuh resiko bekerja keras demi menyenangkan istrinya dengan mengorbankan beberapa aspek yang bisa membuatnya bahagia karena tak punya pilihan lain. Anehnya, wanita menganggap hal itu sebagai kewajaran dan keberhasilan pria dipandang akan mampu mengangkat harga dirinya setara dengan suami
Saat ini, konsep negara ideal adalah apabila suatu negara memerdekakan pria dan wanita. Maksudnya, negara membebaskan pria dari tanggungjawab untuk melindungi wanita dan menyosialisasikan wanita untuk melindungi pria. Pria mencintai wanita lebih dari mencintai diri sendiri. Tetapi pria lebih menghargai diri sendiri daripada wanita. Jadinya kekuasaan yang lahir dari tangan pria, secara tak langsung akan menciptakan kekuasaan untuk wanita pula.
Tindakan pria melindungi wanita menempatkan dia pada posisi dalam bahaya yang kadang itu tak disadari pria. Dalam hal lain, menurut sejarah pria juga sering jadi korban ketika cintanya bertepuk sebelah tangan. Di film setali tiga uang dengan dunia nyata, di mana saat wanita dalam bahaya, pria akan datang menolong tanpa memikirkan resiko meninggal karena menyelamatkan wanita.
Buku ini seperti menghilangkan mitos yang berkembang di masyarakat sebab stereotip bahwa pria selalu lebih super disbanding wanita belum tentu benar. Saking menariknya, David Horowitz dari National Public Radio menyarankan buku ini dimiliki setiap pria maupun wanita, entah dengan cara memohon, meminjam, membeli, atau mencuri!
Judul Buku : The Myth of Male Power
Penulis : Warren Farrel, Ph.D
Cetakan : Mei, 2009
Tebal Buku : x + 382 halaman
Penerbit : PT Ufuk Publishing House
Peresensi : Erik Purnama Putra, alumnus Universitas Muhammadiyah Malang
0 comments:
Posting Komentar