Jumat, 12 Februari 2010 (Harian Bhirawa)
Indonesia dikenal sebagai negara surga bagi koruptor. Hal itu berdasarkan fakta bahwa di negeri ini, penanganan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum tak dapat ditegakkan secara optimal. Sehingga banyak kasus koruptor yang mencuri uang negara milyaran hingga triliunan rupiah hukumannya tak jauh beda dengan maling ayam. Dampaknya, hukuman itu tak memberikan efek jera, yang membuat praktik korupsi terus berjalan, dan bahkan tumbuh subur belakangan ini.
Di tengah keputusasaan masyarakat melihat penegakan hukum terkait kasus korupsi berjalan di tempat. Datang dewa penolong yang tak lain adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikenal tanpa kompromi memenjarakan koruptor. Kinerjanya yang bagus membuat masyarakat mengapresiasi KPK, khususnya pimpinan yang bertanggungjawab mengendalikan koruptor.
Itu wajar sebab para pimpinan itu yang berada di balik konsistennya KPK melawan segala bentuk praktik korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah maupun legislatif. Alhasil, tak berselang lama, para pimpinan KPK itu menjadi idola baru di mata masyarakat, sebab kinerjanya dikenal tanpa kompromi melibas habis praktik korup dan mengirim koruptor ke hotel prodeo. Di antara nama pimpinan KPK itu, Bibit Samad Riyanto termasuk yang paling populer di masyarakat sebab dikenal sebagai pribadi bersih dan tak takut menghadapi fight back (serbuan balik) koruptor.
Akibat kengototannya melawan koruptor, Bibit Samad Riyanto bersama Chandra M Hamzah, rekannya sesame pemimpin KPK, harus merasakan pengapnya hidup di penjara setelah dituduh melakukan penyelewengan kekuasaan. Kondisi itu terjadi sebab koruptor yang dibantu aparat penegak hukum lain membuat sebuah skenario sempurna untuk memenjarakan mereka berdua.
Rancangan strategi koruptor itu berhasil dan mampu mengantarkan Bibit dan Chandra ke terali besi. Lucunya, tuduhan yang dialamatkan kepada mereka berdua berubah-ubah, yang membuat publik bertanya-tanya dan menyangsikan pelanggaran yang dilakukan dua orang itu. Akhirnya, kebenaran terungkap dan skenario besar yang dirancang koruptor berhasil dibongkar setelah diputarnya rekaman pembicaraan antara petinggi aparat penegak hukum dengan orang yang diduga pelaku korupsi.
Publik yang mengetahui hal itu senang bukan kepalang sebab idola mereka terbukti bersih dari tuduhan korupsi. Sementara, Bibit dan Chandra tak kalah bergembira, sebab namanya yang sempat tercemar kembali terpulihkan dengan sendirinya pasca segala tuduhan yang dialamatkan kepada keduanya tak ada yang mampu dibuktikan aparat penegak hukum yang menangkapnya.
Dampak dari peristiwa yang dialaminya itu membuatnya tak diragukan lagi kini menjadi simbol perlawanan terhadap koruptor. Pernyataan itu boleh dibantah, tapi terbukti benar adanya. Hal itu dapat dibuktikan dengan dukungan yang diterimanya dari situs jejaring sosial yang mendukungnya mencapai lebih 1,2 juta orang dari total pengguna 6 juta orang. Sebuah angka luar biasa yang sulit ditandingi tokoh lainnya.
Sayangnya, setelah keluar penjara Bibit membuat daftar mengejutkan bahwa di negeri para bandit ini, rata-rata terjadi 37 korupsi dalam sehari atau 8 ribu korupsi per tahun. Data angka itu yang ditangani KPK, sementara Bibit menilai korupsi itu bagaikan gunung es yang tampak dari puncaknya saja. Sehingga dapat dikatakan data rill praktik korupsi di Indonesia sebenarnya sangat jauh lebih banyak dari kasus yang dilaporkan ke KPK.
Karena keprihatinan itu, Bibit Samad Riyanto membuat buku Koruptor Go To Hell! yang mengupas segala seluk beluk praktik korupsi di Indonesia. Buku ini merekam pergulatan Bibit melawan korupsi. Penulis mengemukakan bahwa betapa parahnya korupsi di Tanah Air, sampai-sampai ia menemukan gambaran anatomis korupsi di Indonesia. Yang memiriskan, itu berarti sekujur tubuh birokrasi Indonesia dihinggapi oleh praktik korupsi.
Tujuan Bibit menulis buku ini adalah ia berharap rakyat mau menjadikan koruptor itu sebagai bentuk kejahatan. Sebuah hal yang harus dilawan dan tak ditoleransi agar negeri ini dapat maju dan tak terkukung dalam sistem pemerintahan yang bobrok akibat para birokratnya terlibat praktik korupsi.
Bagaikan bakteri, penulis yang kelahiran Kediri menilai korupsi tak pernah berhenti berkembang biak dalam suatu siklus reproduksi yang sulit dideteksi. Akibatnya, korupsi mampu melumpuhkan berbagai fungsi organ birokrasi di negeri ini, yang membuat kesejahteraan masyarakat sulit tercipta akibat penyakit kronis yang menggerogoti sendi kehidupan berbangsa itu.
Fakta yang diungkap penulis itu membuat rakyat makin tersadarkan bahwa negeri ini memang sangat ramah terhadap koruptor. Maka itu, tak heran bila Indonesia masih bertengger di posisi buncit dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis tiap tahun oleh Transparency International Indonesia (TII). Mengenaskan!
Selain itu, buku yang ditulis mantan Kapolda Kalimantan Timur tersebut mengupas akar dan beragam modus korupsi dengan begitu detail dan gamblang, tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi. Sengaja ditulis untuk membasmi koruptor. Sebelum korupsi semakin membudaya dan mendarah daging di bumi pertiwi ini, buku ini lantang meneriakkan, Koruptor, Go to Hell!
Judul : Koruptor Go To Hell!
Penulis : Bibit Samad Riyanto
Penerbit : Mizan Publika (Hikmah)
Cetakan : Desember, 2009
Tebal : 171 halaman
Peresensi Erik Purnama Putra, alumnus Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (erikeyikumm@yahoo.co.id)
0 comments:
Posting Komentar