Senin, 23 November 2009

Menyambut Kematian dengan Bahagia

Jumat, 22 November 2009 (Harian Bhirawa) 

MANUSIA hidup di dunia akan mengalami tiga tongak besar dalam kehidupannya, yakni peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian. Ketiga momen luar biasa tersebut akan dialami setiap manusia tanpa terkecuali, sehingga semuanya akan merasakannya. Meskipun ada segelintir orang yang antipernikahan, namun tak bisa disangkal bahwa itu sama saja dengan mengingkari rahmat-Nya.

Di antara peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian, hampir mayoritas manusia beranggapan bahwa proses kematian lah yang sangat menakutkan yang membuat banyak orang sampai sesat berpikir, sebab cara pandang dalam menyikapi kematian salah kaprah dan tidak menggunakan cara berpikir ilmiah logis.

Padahal idealnya bagi orang beriman peristiwa kematian merupakan sebuah momen yang dinantikan, sebab sebagai hamba yang taat pasti akan menantikannya sebab setelah mati akan bertemu dengan Sang Pencipta di alam akhirat. Maka itu, tidak ada alasan untuk tidak menyambut kematian secara damai dan tenang, asalkan semasa hidupnya manusia bertakwa sehingga sesudah mati akan berbahagia.

Berdamai dengan Kematian hadir sebagai jawaban bagi manusia yang merasa bingung dan kurang paham akan makna kematian. Jika dalam bukunya terdahulu, Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat yang menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengajak kita untuk menjadikan kematian sebagai pendorong munculnya optimisme diri sebagai modal mengarungi kehidupan di dunia. Maka kehadiran buku ini seperti menguatkan kembali ajakan itu agar manusia berani menyambut ajal dengan rasa optimisme tinggi.

Secara garis besar, buku ini sangat menarik sebab banyak mengupas sebuah peristiwa yang pasti dialami setiap manusia yang bisa dijadikan bahan pelajaran agar senantiasa berintropeksi dengan selalu mengingat-Nya. Karena jika kita lalai, maka manusia akan menjalani kehidupan di dunia ini secara sia-sia, dan saat nyawa sudah dicabut maka hanya penyesalan yang didapat, serta datangnya kematian hanya menjadi momen mengerikan yang mendatangkan kenestapaan.

Buku ini dibagi dalam tiga pembahasan, yang dibagian pertama bertemakan "Festival Kehidupan", yang terdiri sembilan esai tentang kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya yang menggambarkan betapa saat manusia hidup di dunia selalu berteman dengan masalah. Yang masalah itu akan senantiasa ada dan menjadi cirri khas kehidupan manusia sehingga untuk mengatasinya seseorang akan berusaha menguraikan dan mencari jalan keluar atas segala hambatan yang mengganggunya.

Pada bagian kedua, dipilih teman "Tiada Festival Tanpa Akhir", yang berisikan sepuluh esai tentang peristiwa yang sering terjadi di sekitar kita, yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan. Juga di jelaskan bahwa manusia itu bisa dekat dengan Tuhan melalui berbagai peristiwa atau musibah yang menimpanya. Karena kadang tanpa disadari manusia musibah datang itu banyak hikmahnya, sehingga jika mampu berpikir positif maka manusia akan mendapatkan banyak manfaat dari kejadian yang menimpanya, dibanding jika hanya menggerutu dan tak mau intropeksi diri.

Dibagian terakhir, penulis yang mengangkat tema "Assalamu'alaikum ya Izrail" yang terdapat sebelas esai menyeru agar manusia banyak berbuat kebajikan supaya tidak tergelincir ke jalan sesat. Yang itu semua dimaksudkan untuk mengajak pembaca untuk lebih banyak merenungi berbagai kejadian yang perlu untuk dijadikan pelajaran agar manusia tidak tergelincir ke jalan yang salah. Karena jika manusia banyak berbuat dosa maka ketika ajal menjembut nanti kematian akan dianggap sebagai sebuah hal menyeramkan dan menakutkan. Namun, tidak bagi orang yang selama hidupnya menderma baktikan dirinya untuk Sang Pencipta, yang akan selalu siap kapan pun ajal menghampirinya.

Mengingat Sang Pencipta tidak menjadikan kematian itu sebagai sebuah peristiwa menakutkan, melainkan sebuah anugerah yang diciptakan untuk mendorong manusia agar memabngun taman kebajikan di dunia. Karena jika saat hidup hanya digunakan untuk senang-senang dan mengejar kenikmatan materi belaka tanpa berupaya untuk menabung amal kebajikan, maka ketika senja datang hanya muncul perasaan tertekan sebab baru tersadarkan bahwa hidup itu pendek. Namun apa daya, manusia tak akan mampu memutar kembali jarum waktu dan fasilitas umur yang diberikan sudah semakin berkurang membuat penyesalan dalam diri semakin membuncah.

Maka itu, manusia lebih baik memposisikan dirinya agar dapat berkompromi kematian daripada berusaha menjadikannya sebagai lawan mengerikan yang harus dihindari. Karena menurut penulis, bagi orang beriman yang banyak beramal saleh peristiwa kematian itu hanyalah sebuah proses metamorfosis untuk memasuki kehidupan yang lebih tinggi kualitasnya. Sehingga yang terjadi jika orang sudah mati dia akan memasuki gate of mortality, sebuah kehidupan abadi yang tidak pendek seperti di dunia fana, sehingga manusia akan menjalani jejak-jejak kehidupan abadi dan mendapatkan sebuah perjalanan lanjutan dari apa yang dilakukannya saat di dunia.

Untuk itulah bagi setiap manusia hendaknya perlu berdamai dengan kematian daripada menempatkan kematian sebagai sebuah peristiwa yang mengerikan. Karena bila kita mampu melakukan hal itu, maka saat ajal menjemput setiap individu dapat menyongsongnya dengan senyum dan perasaan gembira. Sehingga saat malaikat pencabut nyawa datang, kita tak sungkan menyampaikan salam kepada Izrail dengan mengucapkan, "Assalamu'alaikum ya Izrail. Silakan Engkau ambil nyawaku ini. ***

Judul                  : Berdamai dengan Kematian
Penulis                : Komaruddin Hidayat
Cetakan              : I, Agustus 2009
Tebal                  : xxii + 208 halaman
Penerbit              : Mizan Publika
Peresensi Erik Purnama Putra, Aktivis Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
 

0 comments: