Kamis, 05 November 2009

Membongkar Borok Kinerja Kepolisian

Edisi 255, Oktober 2009 (Koran Bestari)  

Mengapa penegakan hukum di Indonesia sulit dijalankan? Jawabanya adalah karena aparat kepolisian telah melakukan korupsi di semua proses hukum. Jawaban itu bukan hanya berdasar pada opini yang berkembang di masyarakat, di mana harus diakui citra lembaga Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berada di titik nadir.

Namun, kenyataan bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindakan korupsi itu berdasar hasil kajian ilmiah mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Hal itu masih ditambah hasil riset Transparancy International Indonesia (TII) tahun lalu yang menempatkan Polri di urutan kedua setelah Bea dan Cukai sebagai lembaga terkorup di Indonesia dengan nilai taksiran 56 persen transaksi. Maka itu, tak heran jika hukum di negeri ini sulit ditegakkan, sebab penegak hukumnya sendiri melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Mengapa jika masyarakat melakukan pengurusan izin kadang harus mengeluarkan uang lebih di luar biaya administrasi atau ada Pungli hingga pemerasan oleh aparat kepolisian? Jawabannya cukup menarik, namun tak jauh-jauh dari gaji yang sedikit. Kondisi itu juga dipengaruhi oleh pikiran aparat kepolisian sendiri yang ingin mendapatkan penerimaan lebih sebagai sarana untuk—saya istilahkan balik modal.

Penjelasannya sangat simpel, sebab setiap calon aparat kepolisian yang mendaftar jika ingin diterima mesti menyetorkan dana minimal Rp 25 juta. Nominal itu untuk penempatan di luar Jawa, sementara jika ingin berdinas di Jawa, maka harus menyetor lebih banyak Rp 50 juta. Angka itu merupakan uang panjar jika seseorang ingin diterima sebagai aparat kepolisian dari jalur Bintara. Dan tak dapat diingkari jika jumlah yang harus dibayarkan akan melonjak drastis jika ingin berhasil melalui jalur Perwira.

Realita di atas adalah beberapa wajah bopeng lembaga Polri yang selama ini banyak terungkap ke masyarakat, yang berpengaruh besar terhadap pembentukan ketidakprofesionalan aparat dalam menjalankan aturan hukum. Namun, sebenarnya masalah lembaga kepolisian tak melulu hanya dengan masyarakat (eksternal). Persoalan internal juga tak kalah gawat yang perlu dibenahi agar aparat dapat bekerja secara prosedural dan tak terus melanggar hukum.

Salah satu masalah internal yang cukup serius dan membutuhkan penanganan segera adalah pola komunikasi antarsatuan kerja dalam lingkup lembaga. Contoh konkritnya adalah terdapatnya jurang pemisah antara aparat yang berdinas di bagian Samapta (lahan kering) dengan di Reskrim (lahan basah). Kasus tersebut tak boleh dipandang remeh sebab mempengaruhi kinerja lembaga Polri dalam mewujudkan kedekatan dan membangun citra konstruktif kepada masyarakat. Karena tanpa disadari pimpinan, aparat dari dua bagian itu tak memiliki hubungan baik sebab hanya mementingkan satuan sendiri dan terkesan eksklusif.

Kondisi itu jelas berpengaruh pada keharmonisan aparat di lingkungan kerja sebab saling tercipta persepsi kurang bagus di setiap bagian. Sehingga jika sewaktu-waktu lembaga Polri harus menangani kasus, misal yang memerlukan kerjasama antara personal Samapta dengan Reskrim, maka bisa tercipta kinerja yang amburadul dan tak saling mendukung.

Masalah lainnya adalah model pengambilan keputusan yang masih self centered pada pimpinan dan serba top down dengan mengesampingkan model partisipatoris, yang membuat bawahan tak bisa menyampaikan gagasan maupun keluhan. Sehingga tak sedikit hubungan antara atasan dengan bawahan tak jujur dan terbuka hingga bahkan saling mendeskreditkan. Akibatnya, berdampak pada banyak keinginan pimpinan tak dapat sepenuhnya dijalankan bawahan, sebab setiap pekerjaan tak semuanya dipahami bawahan.

Buku Perilaku Polisi merupakan hasil dari penelusuran penulis terhadap budaya dan perilaku aparat yang berdinas di wilayah Polres Harapan Bangsa, Jawa Tengah. Dari hasil temuan Suwarni yang berprofesi sebagai dosen, ternyata ditemukan berbagai fakta mencengangkan. Misalnya, temuan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penggunaan kekerasan dalam penyidikan, persekongkolan polisi dengan penjahat dalam kasus kriminal, perilaku polisi yang mencerminkan mentalitas dan moralitas sebagai aparat dan penegak hukum yang doyan menggadaikan kebenaran demi segepok uang, sikap militeristik yang belum dapat dihilangkan meski sudah berpisah dengan institusi TNI, budaya mabuk aparat Polisi saat melakukan operasi minuman keras, juga budaya korupsi yang melekat erat dan sulit dihapus dari lingkung kerja Polri.

Maka itu, kritik konstruktif perlu dikemukakan untuk meningkatkan kinerja Polri dan memperbaiki citra polisi di masyarakat. Tak salah jika buku ini disarankan perlu dibaca oleh anggota Polri, pemerhati masalah kepolisian, praktisi maupun mahasiswa hukum, dan masyarakat umum yang peduli terhadap masalah penegakan hukum. 

Judul : Perilaku Polisi
Penulis : Suwarni, S.Sos., M.Si
Editor : Mu’amar Ramadhan & Nurudin
Penerbit : Nusa Media, Bandung
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 266 + xiii halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra (Mahasiswa Psikologi UMM)

0 comments: