Kamis, 20 Agustus 2009

Desakan Jurnalisme Baru dan Tantangan Media Cetak


Dimuat di Jurnal Bestari No.41/Tahun XXII/Mei-Agustus 2009

PERKEMBANGAN ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang luar biasa cepatnya harus diakui membawa dampak positif luar biasa besar dalam bidang komunikasi masyarakat. Sekarang, pola komunikasi dan penyampaian informasi setiap orang bisa dilakukan di mana saja tanpa takut terhalang jarak maupun waktu. Kondisi itu berkat ditemukannya alat komunikasi, seperti handphone maupun internet, yang membuat setiap orang semakin praktis dalam berinteraksi maupun berkomunikasi dengan orang lain, meski berbeda kota, pulau, maupun negara.

Dengan munculnya teknologi informasi yang sedemikian canggih tersebut, juga turut berimbas pada penyampain berita yang dimiliki media massa (cetak maupun elektronik) kepada masyarakat. Jika dulu koran, radio, dan televisi, selalu berpatok pada aturan baku yang membuat informasi disampaikan secara kaku mengikuti kaidah manual yang sudah berjalan apa adanya seperti itu, maka kini hal itu tak bisa terus diterapkan.

Mengingat saat ini, selain media cetak dan elektronik, juga muncul media online yang keberadaannya memanfaatkan fasilitas internet sebagai sarana merebut pangsa pasar media massa yang sudah lebih dulu eksis. Keberadaan media online yang dapat sewaktu-waktu menyajikan berita secara cepat dan tepat tanpa terkendala waktu inilah yang dikhawatirkan akan mampu ’membunuh’ keberadaan media massa, terutama cetak.

Ilustrasinya begini, jika ada sebuah pertandingan sepakbola yang dilangsungkan dini hari, maka selesai pertandingan itu juga media online mampu memunculkan berita agar dapat diakses masyarakat. Berbeda dengan televisi yang masih membutuhkan waktu puluham menit hingga hitungan jam untuk bisa disiarkan menjadi berita kepada masyarakat. Bahkan, koran perlu waktu hampir satu hari untuk menyampaikan hasil pertandingan sepakbola sebab menunggu terbitnya edisi esok hari.

Sehingga jelas rentangan perbedaan waktu yang mencolok antara media online dengan televisi, bahkan koran membuat jeda yang cukup lama tersebut akan menggiring masyarakat untuk melirik media informasi internet yang menyajikan beragam berita secara cepat, yang diiringi fenomena pembaca koran mau tak mau harus berpindah memanfaatkan intenert biar terus up date informasi.

Karena itu, jika tak mengikuti arus modernisasi yang mengarah pada revolusi model penyampaian informasi, media cetak akan tergilas dengan penetrasi internet yang semakin masif hingga terjangkau semua penduduk. Sebab, keunggulan internet terletak pada keberadaannya yang tak terikat waktu maupun deadline, yang efek baiknya setiap orang bisa mengakses sepanjang waktu untuk mendapatkan sajian informasi terkini dan terhangat.

Menyikapi itu, media cetak perlu untuk berbenah diri menyesuaikan mainstream (arus besar) yang memaksa setiap media massa melakukan revolusi besar-besaran agar tak ketinggalan zaman dan menjadi bagian sejarah peradaban manusia. Karena jika tidak, pakar komunikasi terkenal Philip Meyer, menyebut koran pada 2040 akan berhenti cetak, bisa jadi kenyataan kalau tak ada inovasi baru dari pimpinan koran untuk menyikapi perkembangan yang ada. Ramalan itu bukan mengada-ngada dan dapat saja benar adanya jika pihak media massa tak mengantisipasi segala perubahan yang terjadi di dunia kewartawanan.

Berangkat dari fenomena itu Jurnalisme Masa Kini memberikan gambaran strategi yang mesti diterapkan media massa, khususnya koran guna menghadapi era baru di mana jurnalisme kontemporer sedang melaju sedemikian derasnya di dunia ini. Karena jika tidak mengikuti jurnalisme baru, keberadaan media posisinya akan semakin tergencet di tengah laju internet yang semakin familiar di masyarakat.

Buku pemenang hibah Dikti 2008 ini berupaya membedah banyak hal seputar perubahan media cetak, hingga tuntutan terhadap wartawan yang melakukan reportase lapangan untuk mengikuti perubahan secara total. Tujuannya tak lain supaya para pemimpin media, calon jurnalis (reporter) dan peminat kajian komunikasi sejak saat ini siap dapat memprediksi era komunikasi massa baru yang akan berkembang sangat dahsyat di masa datang.

Tak hanya mengulas perkembangan dinamika trend jurnalisme kontemporer yang tak bisa ditawar lagi untuk diterapkan media cetak, penulis juga menyajikan perkembangan pers dan jurnalisme di Indonesia, permasalahan mutakhir praktik jurnalisme di negeri ini, misalnya kasus seputar dampak pemberitaan media yang mempengaruhi opini publik, hingga persoalan tarik ulur kepentingan atas keberadaan UU Pokok Pers terkait pemberitaan media massa, yang kadang dipermasalahkan pihak narasumber hingga berlanjut ke pengadilan.

Untuk diketahui, sebelum internet berkembang sedemikian cepat seperti saat ini, tuntutan agar media cetak berbenah diri mengikuti arus zaman sebenarnya tidak muncul begitu saja sebagai respon reaktif semata. Melainkan sudah disuarakan beberapa puluh tahun lalu ketika internet belum digunakan masyarakat. Adalah Tom Wolf yang mulai memperkenalkan istilah new journalism (jurnalisme baru) sebagai sarana menyajikan berita model baru melalui teknik peliputan sekaligu penulisan yang menjadi gaya baru dalam profesi kewartawanan.

Tom Wolf yang meraih gelar doktor di bidang American Studies dari Universitas Yale, mulai menerapkan genre jurnalisme baru saat bekerja sebagai wartawan di New York Herald Tribune pada 1962. Melalui penulisan beberapa bukunya pada periode 1960-1970-an, dia mulai menyebarkan ajaran aliran jurnalisme baru, yang merupakan bentuk antithesis jurnalisme yang selama ini berkembang di dunia kewartawanan.

Tentu, ide segar dan pembuatan wacana melalui propaganda tulisan yang dibuat Tom Wolf untuk memperkenalkan aliran jurnalisme baru menyulut kontroversi di kalangan penggiat media cetak pada masa itu. Alhasil, gagasan modern tersebut tak langsung diterima begitu saja mengingat sebagian besar praktisi media menilai tulisan yang tak terstruktur dan menabrak pola pakem 5W+1H, melalui teknik penulisan yang tak lazim dinilai konyol dan menyalahi aturan. Sehingga tak begitu saja model baru itu diterima mayoritas media cetak, bahkan ada yang menolaknya mentah-mentah.

Namun kini, apa yang dirintis Tom Wolf sepertinya menjadi sebuah keharusan yang mesti diaplikasikan setiap pimpinan media cetak Betapa tidak, arus informasi yang mengutamakan kecepatan informasi memaksa setiap orang berpikir dua kali untuk membeli koran jika ternyata berita yang disajikan sudah ada di media online, yakni internet. Maka tak heran kalau dulu model jurnalisme baru dianggap tak relevan, sekarang berbalik karena semua koran di Tanah Air berlomba melakukan inovasi sedemikian rupa agar keberadaannya tetap dilirik masyarakat.

Untuk itu, Nurudin yang dosen Ilmu Komunikasi UMM, menyarankan media cetak agar mengaplikasikan prinsip-prinsip jurnalisme baru sebagai sarana supaya eksistensinya di masyarakat memiliki kekhasan dan keunggulan tersendiri yang tak dipunyai media online. Salah satu yang paling mencolok adalah tuntutan diadakannya rubrik citizen journalism (jurnalisme warga negara), yang bertujuan memberikan wadah bagi pembaca untuk memunculkan rasa kedekatan dengan pihak media cetak.

Jika selama ini pihak pihak media cetak (pimpinan redaksi hingga wartawan) hanya menyajikan berita yang rutin diterbitkan setiap hari dan menganggap pembaca sebagai konsumen. Maka dengan adanya rubrik citizen journalism, pembaca bisa menjadi ‘wartawan’ dengan melakukan liputan langsung setiap peristiwa yang memiliki kandungan berita menarik yang layak diinformasikan.

Maksudnya, pembaca dapat menulis dan melaporkan beragam peristiwa unik yang terjadi disekitarnya untuk dikirim ke koran. Asalkan memenuhi unsur minimal aturan baku sebuah berita, pasti pihak redaksi tak akan segan-segan memuat tulisan berita yang ditulis pembaca.

Hal itu jelas merupakan sebuah inovasi baru guna menghadapi tuntutan zaman agar keberadaan koran tak ditinggalkan masyarakat. Karena di samping pihak media cetak diuntungkan dengan berita unik yang sempat lolos dari liputan wartawannya. Di sisi lain, pengirim berita juga akan senang sebab tulisannya dimuat dan dibaca banyak orang, yang secara tak langsung menimbulkan dampak psikologis berupa kedekatan konsumen dengan media cetak.

Sehingga terjadi simbiosis mutualisme, di mana kedua pihak akhirnya merasa diuntungkan. Dan jalinan rasa pertalian hubungan tak terlihat tersebut akan membuat berita yang disajikan koran akan tetap selalu dirindukan dan tak tergantikan di hati masyarakat, walaupun sajian berita di media online terus berjalan.

Aplikasi Jurnalisme Baru
Di Provinsi Jawa Timur, dari berbagai media cetak yang terbit setiap hari, baru dua koran yang sudah membuka rubrik citizen journalism, yakni Surya dan Surabaya Post, yang keduanya terbit di kota Surabaya. Faktanya, masyarakat sangat apresiasi dengan dibukanya rubrik citizen journalism. Kondisi itu dapat dilihat dari banyaknya penulis pemula yang muncul dengan beragam peristiwa yang dilaporkannya.

Hasilnya, rubrik tersebut disebut-sebut sebagai yang paling favorit sebab banyak pembaca berebut menulis hingga harus dilakukan proses seleksi ketat oleh redaksi koran tulisan mana saja yang layak dimuat. Dan jika keadaan itu terus berlanjut bukan tak mungkin media cetak lainnya bakal mengikuti membuka ruang citizen journalism. Sebenarnya bukan itu yang menjadi titik perhatian yang menjadi ulasan, melainkan lebih pada upaya media cetak tampil beda supaya keberadaannya tetap diterima masyarakat di tengah perkembangan media online yang tak terbendung.

Di samping memberikan sarana edukasi bagi masyarakat sebagai sarana belajar menulis, pembukaan rubrik baru tersebut meruntuhkan mitos bahwa hanya kelompok tertentu yang bisa menjadi wartawan. Meskipun juga tak bisa menyandingkan hasil tulisan berita dari masyarakat dengan wartawan profesional. Berpatokan dari itu, secara keseluruhan terbukti, media cetak yang mulai mengembangkan aliran new journalism eksistensinya tak tergerus internet dan tetap dibutuhkan pembaca.

Memang tak mudah menerapkan aliran jurnalisme kontemporer dalam media cetak mengingat ada hambatan tertentu yang wajib di atasi sehingga tak semua pihak media cetak mengaplikasiannya. Di samping terhalang kualitas sumber daya manusia (SDM) wartawan, juga tak adanya kemauan pimpinan media cetak itu sendiri dalam mengantisipasi perubahan jurnalisme yang menjadi trend global. Tak heran, pada akhirnya beberapa media cetak semakin ditinggal pembaca dan mengalami kebangkrutan sebab tak ada lagi pembacanya.

Meskipun banyak kelebihan di sana-sini, kehadiran jurnalisme baru turut serta membawa kekurangan yang mengundang kritik dari berbagai pengamat maupun praktisi media. Keadaan itu wajar saja mengingat jurnalisme baru dapat dikatakan merupakan tantangan bagi wartawan, yang membuat tak selamanya yang baru selalu sempurna dan tanpa kekurangan.

Karenanya, kritik yang muncul disebabkan: Pertama, jurnalisme baru membutuhkan keberanian dalam memberitakan peristiwa yang menghebohkan, misal perlu investigasi guna menggambarkan fakta secara detail agar berita lebih ‘hidup’ ketika dibaca. Yang skill itu tentu tak dibutuhkan gaya jurnalisme lama yang menyajikan berita secara datar dan kaku.

Kedua, dibutuhkannya keahlian menulis. Maksudnya, wartawan harus memiliki keahlian menulis yang merupakan kunci utama guna menggambarkan fakta, mulai mendeskripsikan obyek maupun karakter yang ditemui di lapangan, sisi lain yang layak dikupas, hingga gaya penulisan yang memberikan perspektif baru bagi pembaca. Semua itu tak bisa dilakukan kalau wartawan tak terlatih dan memiliki kemampuan menulis standart.

Ketiga, jurnalisme baru tulisannya sangat panjang. Hal itu disebabkan untuk mengajak pembaca supaya melihat detail kejadian berita secara beragam dan di luar banyak hal yang selama ini ditulis wartawan pada umumnya. Dari sudut di luar baku itulah dan penjabaran rangkaian fakta menjadi enak dibaca akan menabrak kaidah jurnalisme kuno yang biasanya menurunkan berita secara singkat dan padat dengan alasan keterbatasan space koran.

Keempat, penulisan berita harus mendalam. Wartawan tak bisa tidak untuk menulis fakta di lapangan dengan meminjam istilah Linda Christianty secara ‘panjang, dalam, dan terasa.’ Sehinga tak permukaan saja yang ditulis, melainkan di balik itu semua yang membuat peristiwa menarik akan diberitakan perlu diulas secara menyeluruh dengan cara menyajikan melalui tulisan mendalam melalui hasil olah fakta di lapangan ditambah bantuan kepekaan panca indera yang berhasil dirasa, didengar, dan dilihat.

Kelima, jurnalisme lama masih dibutuhkan masyarakat. Aneh tapi nyata, fakta membuktikan meskipun banyak koran sudah mengedepankan model jurnalisme baru, tetap saja koran yang menerapkan jurnalisme kuno masih diminati sebagai kalangan. Sehingga tak mutlak jurnalisme baru pasti lebih baik jika ukurannya itu.

Pada bagian lain, alumnus pascasarjana Riset dan Teori Komunikasi UNS ini mengupas pentingnya kompetensi wartawan sebagai ujung tombak media cetak dalam mencari dan menyajikan berita. Karena sebagai mata dan telinga masyarakat, tugas wartawan menjadi lebih berat dalam menyusun rangkaian kata-kata untuk diberitakan berdasarkan hasil terjun di lapangan jika berpatokan pada jurnalisme baru.

Pasalnya, jika masih berpatokan jurnalisme lama, wartawan akan cenderung setuju dengan ungkapan yang dipopulerkan Carles A Dana, “When a dog bites a man that is no news, but a man bites a dog that is a news.” Namun, ketika sudah mulai mengaplikasikan prinsip jurnalisme baru, wartawan akan mendapatkan banyak hal jika pernyataan di atas benar-benar terjadi di masyarakat.

Bagaimana tidak, jika yang menginggit adalah publik figur, sementara yang digigit anjing hanya seorang gelandangan, pasti kita akan sepakat bahwa orang terkenal yang mempunyai nilai berita lebih tinggi. Karena pasti segala hal terkait publik figur bisa diberitakan, apalagi jika sampai melakukan tindakan tak biasa sampai menggigit anjing, tentu memiliki nilai berita tinggi asalkan ditulis dari sudut tertentu dan di luar ketentuan baku, asal tak mengesampingkan fakta.

Maka itu, istilah “Good news is no news, bad news is good news” sudah tak relevan lagi dipercayai sebagai patokan untuk menilai sebuah peristiwa yang layak dijadikan berita oleh wartawan. Misal, ada seseorang yang mendapatkan hadiah uang Rp 1 milyar setelah dinyatakan sebagai pemenang dalam undian belanja.

Mengingat jika teliti, wartawan akan bisa mengungkap banyak informasi di balik munculnya berita baik tersebut, seperti bagaimana perasaannya menjadi kaya mendadak, mau diapakan uanganya, atau adakah munculnya firasat sebelum mendapat rejeki nomplok? Itu semua jelas bisa dijadikan berita yang layak disajikan kepada masyarakar, sebab peristiwa itu unik, jarang terjadi, dan tak semua orang mengalaminya. Sehingga tak ada alasan tidak untuk tak menulisnya menjadi berita yang memiliki kadar informasi tinggi.

Jika sudah begitu, di tengah kekurangannya, jurnalisme baru banyak menawarkan berbagai kelebihannya yang sangat sayang jika tak diterapkan oleh wartawan maupun pimpinam media cetak. Pasalnya, persaingan koran yang semakin ketat menuntut setiap media cetak untuk menyajikan berita yang lain daripada berita yang diturunkan kompetitornya, apabila tak ingin kehilangan pembaca yang berdampak pada turunnya oplah koran.

Tak salah jika saya sebut himpitan akan hadirnya media online berbasis internet dengan keunggulan up date dari segi informasinya layak dijadikan sebagai tantangan agar media cetak lebih kreatif dalam menghadapi tuntutan zaman, bukannya itu dianggap sebagai ancaman. Karena keberadaan koran akan tetap dibutuhkan masyarakat sepanjang mampu memberikan informasi yang tak mampu diberikan media online yang juga memiliki keterbatasan.

Berpatokan itu, buku ini layak dikoleksi para calon jurnalis, pimpinan media cetak, dosen komunikasi, dan masyarakat umum peminat kajian jurnalisme. Tak lain supaya semua pihak yang bersentuhan langsung dengan dunia kewartawanan dapat segera mengantisipasi perubahan besar yang tak bisa dihentikan, yakni revolusi pentingnya jurnalisme baru diaplikasikan dalam media massa, khususnya media cetak. 

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Edisi : Juni 2009
Penerbit : PT RajaGrafindo Persada
Tebal : xvi + 350 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra 

Penulis adalah Erik Purnama Putra, lahir di Malang, 25 Juli 1986. Saat ini tercatat menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) angkatan 2005, dan menargetkan wisuda November 2009. Aktivitas lainnya terlibat di koran kampus Bestari sejak 2007. Pernah memenangi kompetisi dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa Keriwausahaan (PKMK) Ditjen Dikti Depdiknas tahun 2007 dan 2008, serta Program Kreativitas Mahasiswa Penulisan Ilmiah (PKMI) tahun 2008. Menjadi Finalis pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) 2008, di Unissula Semarang bidang PKMK dan PKMI.

0 comments: