Jumat, 27 Februari 2009 (Harian Bhirawa)
Masa depan seseorang tidak ada yang tahu selain Sang Pencipta. Hukum itu berlaku bagi seluruh manusia, tidak terkecuali Greg Mortenson. Sebagai pendaki gunung, Mortenson tidak menyadari bahwa perjalanannya menaklukkan puncak, yang masyarakat lokal biasa menyebutnya Chogi Ro (Gunung Agung) akan mengubah perjalanan hidupnnya ke depan.
Buku Three Cups of the Tea berisi kisah mengenai pemenuhan janji seseorang yang ingin merubah dunia melalui dunia pendidikan. Tiga cangkir teh adalah tradisi warga di Pakistan dan Afganistan yang dilakukan untuk bersiap melakukan apa pun demi mewujudkan tekad. Ditulis dengan rangkaian cerita mirip drama, buku ini menawarkan sebuah daya tarik bagaimana kampanye melawan terorisme dan penindasan dapat dilawan melalui pendidikan.
Kisah bermula pada 1993, Mortenson, pendaki yang berasal dari Montana, Amerika Serikat, berhasrat mencapai puncak gunung tertinggi kedua di dunia bernama Karokaram di daerah pegunungan Himalaya. Sayangnya, bukan hanya gagal, dia juga tersesat dan tidak bisa menemukan jalan pulang. Di samping itu, dia mengalami keletihan kronis dan berat badannya susut 15 kilogram.
Setelah berusaha keras mencari jalur menuruni bukit terjal selama tujuh hari, Mortenson tiba disuatu tempat bernama Korphe. Pada saat itu, dia merasa pertama kali menginjakkan kakinya di tanah setelah selama tiga bulan petualangannya mendaki Karokaram atau biasa disebut puncak K2. Mortenson menyangka bahwa tempat itu adalah Askole, desa di mana dia memulai perjalanan menuju puncak K2.
Berada di sebuah desa yang asing dan tidak pernah dilihatnya di peta pendakian yang dibawanya, tentu Mortenson kaget. Di tempat itu, tepatnya di gubuk Haji Ali, tetua desa, Mortenson dirawat dengan penuh perhatian dan diperlakukan bak tamu istimewa oleh tuan rumah.
Sebelum kejadian itu, belum pernah ada warga luar yang singgah di desa Korphe. Ketika berada di rumah Haji Ali, puluhan pasang mata saling berebut ingin melihat warga asing pertama yang masuk di desa terpencil itu. Mortenson dijuluki Angrezi oleh warga, sebutan khusus orang asing kulit putih.
Di desa Korphe yang terletak di wilayah pelosok bagian Pakistan Utara tersebut, yang berada pada ketinggian lima ribu meter di atas permukaan laut (dpl), perjalanan hidup Greg Mortenson mulai berbalik arah. Di lingkungan miskin terbelakang yang terletak di lembah Himalaya itu, dia menjalani hidup seperti warga desa lainnya sembari menunggu lukanya sembuh.
Pada suatu malam, Mortenson berbincang dan mendesak Haji Ali agar mengajaknya untuk melihat sekolah yang ada di desa Korphe. Betapa terkejutnya dia saat melihat suasana sekolah yang berada di alam terbuka tersebut. Jantung Mortenson serasa tercerabut dari tempatnya dan nafasnya tercekik ketika melihat bagaimana anak-anak di sana bersekolah.
Sungguh pemandangan menarik, namun membuat trenyuh hatinya. Delapan puluh dua anak (tujuh puluh pria dan dua belas perempuan) sedang belajar dengan cara duduk melingkar, dan berlutut di tanah yang membeku akibat terpaan salju. Di bawah hantaman udara dingin, mereka dengan tertib mengerjakan tugas sekolah yang diberikan gurunya, yang mengajarnya tidak setiap hari karena bergantian tugas mengajar siswa desa seberang.
Setelah melihat peristiwa yang mengguncang hatinya tersebut, Mortenson berjanji sambil meletakkan tangannya di pundak Haji Ali dan berkata, ”Aku akan membangun sebuah sekolah (madrasah) untuk desa ini. Aku berjanji.” Itulah ucapan yang dikeluarkannya sebagai wujud kepeduliannya melihat kegigihan anak-anak sekolah yang tekun belajar meskipun harus belajar di alam terbuka yang terletak di tepi tebing pegunungan tinggi paling kejam di Bumi itu.
Mortenson mulai memikirkan bagaimana caranya membalas budi kepada warga Korphe yang dirasa telah menyelamatkan nayawanya. Veteran militer tersebut akhirnya memutuskan kembali ke kampung halamannya guna menggalang dana sebagai modal membangun sekolah bagi anak desa.
Tidak berselang lama, setelah berhasil mengumpulkan dana cukup, Mortenson mulai mewujudkan janjinya dengan membangun gedung sekolah dan fasilitas penunjang supaya lekas dapat dinikmati siswa desa Korphe. Kemampuan dan kecerdasannya dalam mendidik anak-anak warga desa Korphe telah mampu membuat Mortenson menjadi magnet untuk menarik warga desa meninggalkan pekerjaannya sebagai kuli agar bisa bekerja padanya supaya anaknya bisa menikmati pendidikan.
Hal itu dilakukan para pekerja kasar itu karena terpesona daya pikat Direktur Central Asia Institue tersebut yang mampu memberikan pendidikan berkualitas kepada anak-anaknya, yang baru pertama kali didapatkan warga desa Khorpe. Sehingga dengan bekerja kepada Mortenson, sekumpulan buruh itu berharap anaknya bisa mendapatkan pendidikan supaya kelak nasibnya tidak seperti orang tuanya.
Itikad baik Greg Mortenson bukannya tanpa halangan, beberapa mullah mencurigai dia ingin menyebarkan agama Kristen di desa yang beraliran Syiah tersebut. Namun, karena tujuannya memang hanya ingin mengangkat derajat warga miskin, Mortenson berhasil meyakinkan ulama tersebut bahwa tujuannya murni untuk menyebarkan pendidikan. Selama satu dekade, Mortenson telah membangun tidak kurang lima puluh satu sekolahan, terutama untuk anak perempuan, di daerah tempat lahirnya organisasi Taliban itu.
Kisahnya adalah sebuah petualangan seru sekaligus kesaksian akan kekuatan semangan kemanusiaan. Keberadaan Mortenson telah mampu menjadikannya sebagai tokoh sentral yang berhasil meredam gejolak perseteruan antar lapisan masyarakat dan sekte Islam radikal yang selama ini bertikai.
Tidak hanya itu, para mantan pejuang Taliban juga meninggalkan aktivitasnya menindas kaum perempuan setelah terbuka pikirannya seusai bertukar pandang dengan Mortenson. Malahan, kumpulan mantan pejuang Taliban itu menawarkan diri sebagai sukarelawan untuk membantu tenaga membuat sekolah khusus perempuan. Sehingga kehadirannya di wilayah terpencil itu telah mampu menyebarkan banyak perubahan positif yang radikal bagi warga.
Kabar bahwa Greg Mortenson berhasil membangun pondasi pendidikan bagi anak-anak di Pakistan dan Afganistan supaya fundamentalisme Islam yang mengajarkan kekerasan tidak merasuk dalam pikiran siswa itu membuatnya terkenal di negerinya. Dia dianggap menawarkan jalan lain yang lebih efektif dalam perang terhadap teror. Yaitu, menggunakan buku, bukan bom.
Dia akhirnya mendapatkan dukungan dari dari seluruh penjuru penduduk Amerika Serikat (AS) atas kegigihannya dalam membangun pendidikan di wilayah yang penuh dengan konflik dan kekerasan tersebut. Mortenson dianggap pahlawan bagi banyak warga AS karena dinilai berhasil merubah dunia dengan pembangunan sekolah yang didirikannya, yang berhasil merubah cara berpikir ribuan anak-anak Pakistan dan Afganistan.
Judul Buku : Three Cups of Tea
Penulis : Greg Mortenson dan David Oliver Relin
Cetakan : September 2008
Tebal Buku : 630 halaman
Penerbit : Hikmah (PT Mizan Publika)
Peresensi : Erik Purnama Putra, Anggota UKM Forum Diskusi Ilmiah UMM
0 comments:
Posting Komentar