Selasa, 07 April 2009

Hidup Soeharto dan Wasiat Terakhirnya

Ahad, 16 Maret 2008 (Duta Masyarakat)

Nama Soeharto begitu familiar dan melekat di benak masyarakat Indonesia. Kondisi itu terjadi karena Soeharto pernah lama memimpin Bangsa Indonesia. Pada masa kepemimpinannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto begitu lekat dengan kontroversi. Hingga kematiannya pun, pemimpin Orde Baru tersebut masih banyak dibicarakan orang, baik yang mengagumi sosoknya maupun yang membencinya.

Banyak cerita yang ditorehkan Soeharto pada negeri ini. Sebagai orang terlama yang pernah berkuasa di Indonesia- selama lebih dari tiga dekade—tentu Soeharto sudah melakukan banyak perubahan bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Sebagian orang memuji atas prestasi yang telah dicapainya, sementara sebagian lainnya tak henti-hentinya mencaci, dan bahkan menuntut agar Soeharto dibawa ke pengadilan bersama kroni-kroninya untuk diadili.

Di balik sosoknya yang tegas dan cenderung otoriter semasa memimpin, Soeharto juga dijuluki bapak pembangunan karena prestasi besarnya, yang mampu membawa Indonesia menjadi negara yang memiliki reputasi di kancah internasional, serta menjadikan Indonesia sebagai ‘Macan Asia’. Atas prestasinya itulah yang membuatnya akan terus dikenang dan menjadikan sebagian kalangan pendukungnya ingin agar dia mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional.

Selama 32 tahun menjadi orang terkuat di Indonesia, Soeharto disebut sebagai sosok yang diliputi kemisteriusan, yang selalu mengiringi kehidupannya. Atas dasar itulah banyak orang yang ingin terus mengorek berbagai macam informasi tentang dirinya. Karena banyak yang beranggapan bahwa Soeharto adalah seorang yang selalu dinaungi keberuntungan sepanjang kehidupannya.

Jika menengok sejarah hidupnya, Soeharto lahir dari keluarga pribumi, yang tak mempunyai darah keturunan ‘biru’. Bapaknya (Kertosudiro) hanyalah seorang petugas ulu-ulu (aparat desa yang bertugas mengatur sistem air) yang tinggal di desa Kemusuk, sebelah barat Kota Yogyakarta. Soeharto kecil sudah terbiasa hidup susah dan melewati hari-harinya dengan penuh penderitaan. Pada usia 18 tahun, dia diterima bekerja di sebuah volks-bank (bank desa) sebagai pembantu klerek yang kerjanya setiap hari mengayuh sepeda berkeliling kampung untuk menawarkan pinjaman kepada petani dan pedagang kecil yang ingin mengajukan pinjaman. Pekerjaan dengan penghasilan sangat sedikit tersebut membuatnya mencari peruntungan lain, yakni mencoba mendaftar bergabung ke KNIL (Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda).

Nasib baik memayunginya, Soeharto diterima bekerja di kemiliteran. Di awal kependudukan Jepang, Soeharto memutuskan bergabung di satuan polisi bentukan Jepang, yaitu PETA (Pembela Tanah Air). Di kedua institusi tersebut, Soeharto membuat prestasi besar dengan menyandang sebagai lulusan terbaik. Dari karir di kemiliteran inilah yang mengantarkan Soeharto nantinya menjadi Presiden Republik Indonesia ke-dua.

Semasa menjabat presiden, Soeharto dijuluki sebagai the smiling general, karena senyum khasnya yang sulit dilupakan setiap orang. Di masa inilah Soeharto menjadi sosok yang sangat untouchtable. Setiap orang yang berseberangan dengannya, pasti akan disingkirkannya, bila dirasa dapat mengganggu stabilitas kekuasaan yang digawanginya. Sementara di sisi lain, tak banyak orang yang berani mengkritisinya. Sehingga Soeharto menjadi pribadi otoriter semasa memimpin negeri ini, yang disegani kerabat maupun lawan politiknya- di samping wibawa dan aura yang selalu meneranginya.

Banyak kalangan menilai keruntuhan dinasti Soeharto dimulai dari meninggalnya Ibu Tien (istri Soeharto). Ibu Tien dipercaya banyak orang sebagai kekuatan penopang kekuasaan Soeharto. Setelah ditinggalkan istrinya itulah kehidupan Soeharto seakan goyah dan keberuntungan tak lagi memihaknya. Hal itu terjadi karena ‘wahyu’ yang selama ini menaunginya tersebut seolah lenyap dan dan tak ada lagi yang memberkatinya.

Kini sosok Jendral Besar tersebut telah berpulang untuk selamanya. Namun demikian, tertinggal misteri dari sosok mantan orang kuat ini yang belum tersibak. Misal, siapa sebenarnya Soeharto, baik sebagai pribadi maupun negarawan besar, cita-cita apa yang belum dapat terwujud hingga wafatnya tanggal 27 Januari 2008 lalu, dan tentunya apakah Soeharto meninggalkan wasiat terakhir yang dinantikan banyak orang.

Buku ini mencoba bertutur tentang kehidupan sosok the smiling general tersebut sejak kecil hingga detik-detik terakhir kepulangannya ke hadapan Illahi. Tentu kisah tersebut diambil dari sisi lain yang selama ini tak terpublikasikan media massa, misalnya jejak kehidupan Soeharto, kehidupannya bersama keluarga di rumah Cendana, sekelumit kisah di Ndalem Kalitan dan Astana Giri Bangun, kronologi menurunnya kondisi kesehatan Soeharto, hingga detik-detik terakhir sakaratul maut, dan yang paling menarik banyak orang adalah adanya kabar tentang wasiat terakhirnya.

Dalam buku yang berjudul ”Wasiat Terakhir Soeharto” ini diungkapkan bahwa saat menjalani masa-masa kritis, Soeharto sempat dikabarkan menitipkan pesan kepada Megawati tentang pengalihan kekuasaannya. Menurut Pramono Anung, Sekjen DPP PDIP, Soeharto menyebutkan meminta kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk menjaga NKRI dan Pancasila. Pesan Soeharto tersebut disampaikan saat Taufik Kiemas melakukan kunjungan di kediaman Soeharto sekitar satu bulan sebelum Soeharto masuk rumah sakit, (hal,183). Tentu saja setelah kabar tersebut beredar luas, pihak Cendana kaget bukan kepalang dan langsung buru-buru membantahnya.

Banyaknya kabar yang beredar bahwa Soeharto meninggalkan pesan terakhir kepada anak-anaknya memang masih simpang siur kebenarannya hingga sekarang. Karena sebagai sosok pemimpin besar di mata masyarakat Indonesia dan dunia, tentu saja banyak orang yang menduga bahwa dia meninggalkan wasiat tersembunyi yang diberikan kepada ahli warisnya, tanpa sepengetahuan orang non Cendana. Dan buku dari buku ini pembaca bisa menduga-duga wasiat apa yang ditinggalkan Soeharto. []

Judul Buku : Wasiat Terakhir Soeharto
Penulis : Zaenal Ali
Edisi : Cetakan Pertama, 2008
Penerbit : Penerbit Narasi, Yogyakarta
Tebal Buku : 216 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra
*) Penulis, Mahasiswa Psikologi dan Reporter Koran Kampus Bestari UMM

0 comments: