Sabtu, 12 September 2009

Terkuaknya Kebohongan Besar Bush


Minggu, 13 September 2009  

Belum lekang dari ingatan masyarakat internasional ketika menjelang lengser, George Walker Bush harus mendapat ’kado’ kurang mengenakkan ketika sedang berkunjung ke Irak. Di sebuah sesi konferensi pers untuk melaporkan situasi terkini negeri yang dulu dipimpin Saddam Hussein tersebut, Bush (Jr) hampir saja terkena lemparan sepatu jurnalis Muntadar al Zaidi, yang motivasinya berbuat kurang ajar itu sebab sangat marah dengan presiden dari Partai Republik yang kebijakannya menyesengsarakan rakyat Irak.

Banyak orang berpendapat seandainya George Walker Bush tak pernah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), diyakini keadaan dunia jauh lebih tenang dan masyarakat negeri Paman Sam tak separanoid seperti sekarang. Peperangan di Afganistan dan Irak tak akan akan pernah terjadi. Dan konfrontasi Washington DC (AS) dengan Teheran (Iran) dan Pyongyang (Korea Utara) tak semakin meruncing. Namun semua sudah terlanjur dan keadaan dunia lebih tegang dibanding sebelum tahun permulaan awal milenium.

Segala kekacauan di berbagai negara dan penderitaan tak berujung yang dialami jutaan penduduk bumi sebenarnya diakibatkan oleh satu orang bernama Bush (Jr). Sebagai Presiden AS ke 43, George W. Bush telah banyak melakukan kesalahan fatal dalam mengambil keputusan yang membuat tatanan kehidupan global mengalami goncangan hebat dan terorisme yang ingin dilenyapkannya, malah semakin menggejala diberbagai belahan dunia. Yang membuat masyarakat negeri Paman Sam menjadi merasa tak aman hidup di negaranya sendiri.

Buku Kebohongan di Gedung Putih (Warisan Dosa-dosa Bush bagi Penggantinya) berisi segala bentuk kebohongan Bush (Jr) semasa menjadi pemimpin negara adidaya tersebut. Menurut Scott McClellan yang mantan Juru Bicara Gedung Putih dari tahun 2003 sampai 2006, George W. Bush bisa disebut sebagai individu yang pintar cari alasan. Karena berbagai keputusan yang dibuatnya banyak yang salah karena tak didukung fakta tepat dan data mumpuni, yang membuatnya pintar mengolah otak guna menutupi kecerobohannya. Maka berbohong harus dilakukan sebagai cara efektif supaya kecacatannya semakin tak tersebar luas ke seantero penduduk bumi.

Tak hanya itu, buku ini memberikan perspektif baru tentang berbagai perisitiwa, kebijakan, dan kepribadian pemerintah Bush, termasuk peristiwa hancurnya Gedung WTC (9/11/2001), yang kemudian dijadikan alasan bagi Bush (Jr) untuk memborbardir Afganistan demi menghancurkan kekuatan Taliban, dan mencari senjata pemusnah masal (mass weapon destruction) sebagai justifikasi untuk menggalang kekuatan sekutu (NATO) demi memenuhi hasrat menyerang Irak. Padahal data yang beberapa tahun ke depan ternnyata laporan palsu itu diperoleh dari agen rahasia CIA, yang dikemudian hari terkenal dengan skandal Valerie Plame yang menyatakan pemerintah mengkonstruk semuanya secara sempurna sebagai bahan kampanye kebijakannya melawan terorisme dalam negeri maupun dunia internasional.

Scot McClellan sebagai saksi mata Gedung Putih sebab setiap hari berinteraksi dengan Bush (Jr) menilai semua tindakan fatal itu terjadi karena sang presiden mengabaikan fakta dan dengan sengaja memanipulasi segala kebohongannya sedemikian rupa agar dapat menggempur Irak dapat terlaksana. Padahal saat itu Bush sudah diberi tahu jurnalis pemenang Pulitzer Prize, Nicolas Kristof, yang sudah menelusuri dokumen palsu itu bahwa segala informasi yang tercantum di dalamnya tak kredibel dan palsu. Karena itu, pemerintah Bush keluar dari jalur (out the track) dan telah membawa negeri Paman Sam ke dalam jurang kehancuran sebab integritasnya sebagai polisi dunia semakin dipertanyakan masyarakat dunia.

George Walker Bush yang semasa memimpin (2000-2008) sering melanggengkan budaya abuse of power di White House membuat pemerintahannya dinilai sebagai masa kelabu dan suram bagi rakyat AS karena pemimpinnya tak becus dalam membuat keputusan dan menghamburkan dana ribuan triliun rupiah setiap tahunnya secara percuma guna mengirim bala tentara dan peralatan militer ke Afganistan dan Irak.

Bush yang mantan Gubernur Texas bukannya tak menyadiri kesalahannya yang termanifestasi dari banyaknya realita yang tak sesuai harapannya. Namun bukannya insaf dan mengakui kesalahannya, sang presiden malah sibuk mencari alasan untuk memperkuat argumennya agar terlihat sempurna. Sehingga McClellan sampai pernah berbohong demi membela kebijakan pimpinannya yang dikemudian hari disebutnya sebagai peristiwa yang membuat dirinya kehilangan integritas karena menjadi tameng orang yang tidak tepat untuk dibela. 

Karena itu, kebohongan telah menjadi ’tradisi’ dan ciri yang tak bisa dipisahkan dalam politik nasional AS saat itu. Akibatnya, Bush (Jr) dinilai sebagai pemimpin terburuk yang jadi penghuni Gedung Putih oleh warga AS dn internasional. Maka ketika dia berkunjung ke Irak, negara yang dihancurkannya, bukannya mendapat sambutan ramah dan hangat dari penduduk negeri seribu satu malam, melainkan lemparan sepatu dari salah seorang warga Irak yang jurnalis media merasa jengkel karena negaranya menjadi tak karuan.

Kondisi itu ditujukan pada Bush yang semasa kepemimpinannya telah ’berhasil’ menghancurkan keindahan Irak menjadi tempat paling menyeramkan di dunia. Karena tak ada hari yang tak ada bom meledak di negeri itu dan tak ada nyawa hilang sia-sia yang tak terjadi di negeri kaya minyak tersebut. Kekacauan itu terjadi akibat opsi militer Bush guna menggulingkan Saddam Hussein dan mencari senjata pemusnah masal, yang ternyata akal-akalan semata sebab tak pernah ada.

Di luar kebiasaan, penulis buku juga ingin berbagi pemahaman yang cukup tajam tentang proses pembusukan budaya politik nasional AS. Scott McClellan membeberkan keburukan permainan politics as usual, entah dalam kampanye, pemerintahan, maupun politik kamuflase bagi media. Di akhir buku, ia melihat ke masa depan, mengupas berbagai bahaya yang harus diwaspadai pemerintah AS yang baru, kepada siapa dia menghimbau perubahan kelembagaan untuk reformasi budaya kebohongan di White House.

Judul : Kebohongan di Gedung Putih
Penulis : Scott McClellan
Cetakan : 2009
Tebal : xxiv + 392 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Peresensi : Erik Purnama Putra, Aktivis Pers Bestari Unmuh Malang

0 comments: