Minggu 23 Maret 2008 (Surabaya Post)
Mencermati kondisi Bangsa Indonesia belakangan ini sungguh membuat miris. Bangsa yang dikenal sebagai bangsa besar makin lama makin merana saja nasibnya, dan tak kunjung berhenti didera berbagai macam cobaan yang menimpanya, entah cobaan yang berkaitan dengan kebangsaan maupun bencana alam yang datang silih berganti, hingga membuat Indonesia belum bisa lepas dari keterpurukan yang membelenggunya.
Kompleksitas masalah yang dihadapi bangsa ini membuat Indonesia semakin jatuh ke jurang yang dalam, dan dalam bidang pembangunan manusianya mengalami stagnasi. Permasalahan yang ada semakin kompleks saja, misal masalah kemiskinan, pengangguran, masalah pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kedaulatan wilayahnya terus menerus bermunculan dan makin membuat berat beban bangsa ini hingga sulit untuk diatasi, yang membuat negeri tercinta ini semakin tertinggal dalam percaturan dunia internasional.
Indonesia adalah bangsa besar. Begitulah jargon yang sering kita dengar dari guru maupun orang tua kita saat mereka memberikan gambaran mengenai kondisi tanah air tercinta ini. Indonesia yang secara statistik dan matematik adalah sebuah bangsa yang besar dan itu dapat dibuktikan dari segi jumlah penduduknya, luas wilayahnya, jumlah etnisnya, hingga kultur budayanya, tetap saja tak beranjak dari sebutan sebagai negara miskin.
Potensi yang dimiliki Indonesia tak menjaminnya untuk mampu menjadi negara yang maju, kuat dan memiliki peradaban yang tinggi, karena tak dapat dimaksimalkan hingga terjadi salah urus terhadap bangsa ini. Kondisi Indonesia sekarang dari waktu-kewaktu tak mengalami perkembangan berarti dan hampir tak ada bedanya jika dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan. Jika pun ada, yang membedakan hanya kemajuan zaman dan teknologi saja, namun kondisi pembangunan masyarakat dan kesejahteraannya tak mengalami kemajuan berarti. Hal itu terjadi karena kurang tepatnya manajemen yang diterapkan pemimpin-pemimpin Indonesia sebelumnya dalam mengurus dan membangun pondasi bangsa ini.
Berbagai potensi yang bisa membuat Indonesia menjadi negara besar, malahan menjadi sebuah masalah serius yang mengancam stabilitas tanah air misalnya, masalah keragaman etnis. Potensi keberagaman kultur dan etnis yang ada bukannya menjadi nilai lebih bagi bangsa ini untuk membentuk bangsa yang plural, tetapi malah menjadi salah satu faktor penghambat bagi terciptanya persatuan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika pada awal kemerdekaan, kemajemukan etnisitas mampu dijinakkan dalam wadah Islam sebagai agama mayoritas penduduk. Namun kini keragaman etnisitas tak lagi dapat disatukan dengan isu Islam saja, tetapi pemerintah perlu untuk menciptaan keadilan (sosial, ekonomi dan politik) bagi seluruh masyarakat.
Keadilan (sosial, ekonomi dan politik) yang selama ini terus dicari masyarakat lokal (daerah) tak jua ditemukan, karena ada anggapan bahwa semua kekayaan harus disetorkan kepada pemerintah pusat. Selama ini masyarakat lokal merasa tak kebagian hasil pembangunan secara merata, seperti yang selama ini selalu didengung-dengungkan pemerintahan pusat. Tentu saja kondisi itu menimbulkan kecemburuan dan konflik sosial dibeberapa daerah yang ditujukan kepada pemerintah. Dan hal itulah yang memicu munculnya berbagai gerakan separatis di daerah.
Banyaknya daerah yang menyuarakan rasa ketidakpuasan dan ingin memisahkan diri dari NKRI adalah karena masyarakat daerah yang merasa memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetapi mereka tak dapat menikmatinya karena tak kebagian hasil pembangunan yang seharusnya menjadi haknya. Alasan yang disuarakan masyarakat daerah tersebut tak bisa dibiarkan tentunya, karena bisa mengancam keutuhan dan bisa menimbulkan disintegrasi di Republik Indonesia. Sehingga pemerintah pusat perlu untuk mengambil jalan keluar atas masalah tersebut.
Dalam buku yang berjudul Merajut Kembali Ke-Indonesiaan Kita ini, juga menyinggung masalah keragaman budaya yang belum bisa diterima sepenuhnya masyarakat Indonesia bahwa Indoensia adalah bangsa yang pluralistik. Kasus konflik berbau SARA, yang terjadi di Sampit, Ambon, Sambas dan Poso adalah contoh dari belum bisanya pluralisme ditegakkan di negeri ini. Berbagai konflik horizontal itu muncul karena antar etnis tak mampu saling menahan diri untuk menciptakan rasa toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu menandakan wacana keberagaman dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang selama ini didengung-dengungkan penguasa sebagai modal membangun bangsa, ternyata hanyalah menjadi utopia belaka, karena kondisi itu belum bisa ditegakkan sepenuhnya.
Dalam kondisi demikian, Sultan Hamengku Buwono X menyarankan agar pemerintah perlu menegakkan kembali asas Bhinneka Tunggal Ika yang terkandung dalam Pancasila, yang merupakan alat tertinggi dan landasan negara bagi terciptanya persatuan kebudayaan bangsa. Kondisi itu hendaknya dijadikan sebagai simbol kekuatan pemersatu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, agar tercipta sebuah kekuatan yang bertumpu pada keberagaman budaya masyarakat, bukan sekedar slogan saja.
Pelestarian nilai budaya daerah dengan mencari, menggali, dan mengkaji, serta mengaktualisasikan kearifan budaya lokalnya akan dapat menjadi modal dasar baru yang bisa dijadikan landasan untuk memperkuat rasa persatuan bangsa dalam masyarakat. Karena pemahaman akan pluralitas dalam masyarakat Indonesia perlu untuk ditanamkan kepada masyarakat agar menjadi sebuah kekuatan yang mampu mempersatukan bangsa dengan berbasis pada pengakraban dan kekerabatan budaya bangsa yang ada di Indonesia.
Melalui buku ini, pembaca akan bisa lebih mengenal pemikiran Sultan yang menawarkan gagasan dan jalan keluar baru bagi pembangunan politik Indonesia di masa yang akan datang. Sebuah gagasan baru yang terlontar dari pemikiran murni yang mampu menjangkau masa depan dan tak terbelenggu masa kini. Karena sumbangan pemikiran yang digagasnya muncul ketika negara ini miskin gagasan dan ide yang mendalam, yang mampu menembus batas cakrawala.
Wacana dan pendapat yang dikeluarkan Pemimpin Keraton Yogyakarta ini sungguh relevan dengan kondisi masyarakat kita yang banyak terpukau oleh alternatif pemecahan masalah secara instant dan parsial dari pemikiran berbagai tokoh politik di Indonesia.
Judul Buku : Merajut Kembali Ke-Indonesiaan Kita
Penulis : Sultan Hamengkubuwono X
Edisi : Januari 2008
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : viii, 310
Peresensi : Erik Purnama Putra, Jurnalis Koran Bestari UMM
0 comments:
Posting Komentar