Minggu, 1 Februari 2009 (Duta Masyarakat)
Tidak ada satu pun manusia sempurna di dunia. Begitu lah adigum yang sering kita dengar selama ini, yang tujuannya menyadarkan masyarakat bahwa manusia itu banyak memiliki kekurangan dalam berbagai hal, meskipun selalu berusaha untuk menunjukkan kelebihannya. Kondisi itu berlaku pada Kepala Negara Republik Indonesia (RI) yang jika ditelusuri lebih dalam ternyata juga mempunyai berbagai sisi negatif dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden.
Padahal sebagai pemimpin negeri sudah sepatutnya presiden mampu menunjukkan pribadi teladan kepada rakyatnya dan sudah menjadi sebuah kewajibannya untuk bisa menjadi pribadi sempurna. Namun, pepatah lama yang berbunyi manusia tetap lah manusia, dan tempat berkumpulnya salah dan khilaf (mungkin) cocok ditujukan pada presiden RI sejak Soekarno sampai SBY. Meskipun presiden pertama hingga keenam sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi pribadi panutan, tetapi cacat tetap mudah ditemukan pada orang nomor satu di negeri ini.
Buku Dari Soekarno sampai SBY, karya Tjipta Lesmana berusaha menguak pola komunikasi politik dan kepemimpinan enam Presiden Indonesia; mulai Soekarno, lanjut ke Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY. Penulis mencoba menguak pola komunikasi 6 presiden dengan melakukan pendekatan kualitatif kepada 25 informan yang menjadi orang dekat presiden masing-masing, yang pernyataannya mewakili langsung keenam presiden.
Kedekatan penulis dengan dunia jurnalistik membuatnya menaruh perhatian dan menyoroti masalah komunikasi politik dan gaya kepemimpinan presiden dari sudut jurnalistik. Sehingga benang merahnya setiap pola komunikasi politik RI-1 yang terkait erat dengan karakteristik kepemimpinan oleh penulis dilakukan telaah mendalam dan semuanya ditinjau permasalahannya dengan melakukan cross check ke media massa untuk memperkuat kadar keilmiahan buku.
Kehadiran buku yang dilaunching akhir tahun 2008, ditulis dengan gaya lugas, tajam, dan kaya akan data, serta interpretatif penulis juga dimasukkan agar buku ini tidak terkesan hanya asal comot dari daftar pustaka dan interviu. Berdasarkan gabungan metode ilmiah untuk memperkuat agar isi buku dapat dipertanggungjawabkan, penulis akhirnya berhasil mengungkap gaya komunikasi keenam presiden.
Soekarno, misalnya menurut Tjipta ternyata lebih banyak berbicara dengan bahasa lugas, tanpa tedeng aling-aling. Maksudnya, perkataan yang diucapkan Soekarno bersifat apa adanya. ”Ganyang Malaysia!” Sangat simple dan masyarakat pasti akan langsung paham dengan arti kata itu.
Gaya berbeda dilakukan Soeharto yang sangat high conteks dan bersifat situasional. Sehingga banyak menteri yang harus menafsirkan sendiri setiap kata yang meluncur dari mulut presiden terlama di Indonesia itu. Karena kata yang diucapkan selalu membuat bawahannya berpikir.
Sementara, B.J. Habibie kuat dengan bahasa tubuh dan emosional. Memiliki wacana luas, namun mau menangnya sendiri. Dia memposisikan diri seperti itu karena Indonesia dalam masanya berada pada masa transisi yang membuat presiden ’intelek’ itu tidak mempunyai selera humor. Sedangkan Gus Dur tidak punya pola, alias suka-suka karena orangnya moody, tapi sering menggertak komunikan (orang yang diajak bicara). Hal itu karena Gus Dur berlatar belakang pesantren dan meskipun sudah menjadi presiden kadang menempatkan dirinya sebagai kiai.
Dua Presiden RI terakhir yang akan kembali bertarung pada Pemilu 2009 juga setali tiga uang dengan pendahulunya yang memiliki banyak keburukan. Megawati orangnya easy going dan konon suka tidak mau repot melihat permasalahan yang terjadi pada anak buahnya (menteri). Dia lebih sering curhat dan mudah emosional. Contohnya ketika presiden perempuan satu-satunya ini merasa ditusuk dari belakang oleh SBY yang saat itu menjadi anak buahnya. Bukannya menyikapi masalah konfrontasi dengan wajar, Mega malah mengeluhkan bahwa SBY tidak berjiwa ksatria.
Presiden SBY yang masih menjabat pola komunikasinya sering membingungkan dan kurang jelas dalam setiap ucapan yang disampaikannya hingga banyak kalangan menilainya sebagai sosok peragu. Dia sosok ekstra hati-hati dalam mengeluarkan pendapat, yang membuatnya terkesan bimbang. Salah satu faktanya adalah masalah isu reshuflle yang berhembus kencang di Istana, yang disikapi SBY dengan pernyataan tidak jelas, karena tidak mengiyakan dan membantah akan melakukan reshuflle kabinet.
Perbedaan pola keenam presiden RI dimungkinkan terjadi karena etiap Kepala Negara hidup dan mengalami didikan berbeda satu sama lain. Mengacu pada berbagai indikator, dapat digolongkan jika setiap presiden memiliki corak kepemimpinan berbeda. Begitu pula sikapnya berkomunikasi dalam merespon berbagai kritik yang disampaikan lawan politiknya.
Sayangnya, Tjipta Lesmana lebih banyak mengungkap sisi kelemahan pemimpin bangsa. Sehingga segala jerih payah dan prestasi yang pernah diukir Presiden RI sejak Soekarno hingga SBY seolah tidak ada artinya. Karena itu, kritik juga perlu dilontarkan kepada Guru Besar Bisang Komunikasi UPH supaya tidak hanya pintar mengungkap keburukan orang lain. Dengan penambahan beberapa pengurangan ulasan kritikan, bisa jadi buku ini lebih menarik untuk dibaca masyarakat Indonesia, yang hingga kini masih belum terbiasa dengan budaya mengungkap sisi keburukan seseorang, meskipun itu sesuai fakta.
Namun mengingat belum banyaknya buku tentang gaya komunikasi politik para pemimpin bangsa, buku ini sangat dianjurkan untuk dikoleksi, khusunya siapa pun yang suka politik, baik politikus maupun ilmuwan politik. Tak terkecuali bagi mereka yang berhasrat menjadi caleg, pejabat, maupun pemimpin daerah yang ingin menggunakan pola komunikasi sesuai dengan kepribadiannya untuk menarik konstituen supaya memilihnya.
Dari buku ini, pembaca bisa lebih leluasa mengenal corak pemimpin bangsa ini, meskipun tidak bisa sepenuhnya dijadikan patokan untuk menilai kepribadian semua Kepala Negara. Di samping itu, pembaca yang ingin tahu seluk beluk dunia politik beserta intriknya, dan bagaimana lobi-lobi politik dilakukan dalam kehidupan para politisi dan pemimpin negeri ini, dapat dengan mudah menemukannya dalam beberapa ulasan dalam buku.
Judul Buku : Dari Soekarno Sampai SBY
Penulis : Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A.
Cetakan : Pertama 2008
Tebal Buku : xxi + 396 halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Peresensi : Erik Purnama Putra, Aktivis Pers Kampus Bestari UMM
0 comments:
Posting Komentar