Selasa, 07 April 2009

Mencari Sosok Ideal Pemimpin Bangsa


Jumat, 28 Oktober 2008 (Harian Bhirawa)

Menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) yang memiliki kekuasaan dan tinggal di Istana Negara adalah dambaan banyak orang. Tetapi karena jabatan presiden itu sangat prestisius dan ‘tinggi’, maka hanya segelintir orang yang mampu mendekatinya, jika tidak mampu menggapainya. Karena untuk meraihnya, dibutuhkan segala daya dukungan kekuatan besar dan sokongan restu dari seluruh rakyat Indonesia.

Dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia, jumlah orang yang ingin duduk di kursi RI 1 tidak banyak dan bisa dihitung dengan jari. Namun jangan salah sangka jika orang yang segelintir itu bisa dengan mudah meraih jabatan sebagai presiden, sebab membutuhkan bantuan dan harus melibatkan jutaan orang untuk mampu mendapatkan jabatan tertinggi negara Indonesia.

Buku Satria Pinilih (Siapa Pantas Jadi Ratu Adil?) yang ditulis Arwan Tuti Artha mencoba membedah siapa tokoh politik yang menghiasi Indonesia saat ini yang dirasa mendekati –jika tidak boleh dikata layak—untuk mendapat sebutan Ratu Adil. Karena sebagaimana kita tahu, elite politik yang bakal maju mencalonkan diri menjadi presiden adalah orang lama, yang sejak era Orde Baru ikut menghiasi kehidupan masyarakat Indonesia.

Pemilihan umum (Pemilu) 2009 adalah momen yang tidak bakal dilewatkan setiap orang dan menjadi titik balik bagi bangsa ini untuk menuju sebuah masa depan baru yang cerah. Sehingga ajang lima tahunan itu dapat dikatakan menjadi sebuah peristiwa yang mampu merubah nasib seseorang dan bangsa Indonesia.

Karena itu, banyak elite politik tergiur untuk terjun ke dalam lingkaran orang yang bakal maju sebagai calon presiden. Meskipun tidak menjadi capres, setidaknya dengan ikut di lingkaran tokoh tersebut, seseorang akan bisa terkena cipratan kekuasaan dan menjadi bagian orang yang mengubah sejarah Indonesia.

Arena politik yang menawarkan berbagai kenikmatan dan kemewahan duniawi menjadi incaran setiap orang untuk ambil bagian dalam dinamika dunia yang berdekatan dengan kekuasaan itu. Sayangnya, semuanya hanya berorientasi pada pemenuhan kepentingan pribadi dan golongan (partai), sementara rakyat menjadi elemen belakangan yang harus dipikirkan. Karena itu, kondisi bangsa Indonesia dari waktu ke waktu tidak karuan dan tidak bisa lepas dari genggaman jurang kehancuran.

Padahal sebagai bangsa besar, Indonesia harusnya bisa berada pada posisi yang lebih baik daripada posisinya sekarang ini. Masalah pelik dan sangat ruwet itu hanya bisa teratasi jika pemimpin negeri ini adalah sosok ideal yang selama ini dinantikan rakyat sebagai Ratu Adil. Sebuah tokoh pemimpin yang diyakini rakyat Indonesia yang mampu membawa bangsa ini mencapai sebuah kejayaan dan menjadikan rakyat hidupnya sejahtera.

Namun hingga enam dasawarsa lebih sejak Tanah Air ini merdeka, rakyat Indonesia seolah belum menemukan sebuah sosok tepat yang menjadi pemimpin negeri ini. Presiden terpilih yang sudah enam kali berganti sejak era Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dirasa masih belum mampu mendatangkan sebuah kondisi ideal seperti yang diimpakan seluruh masyarakat. Sehingga ramalan Jayabaya yang mengatakan bahwa Nusantara akan jaya dan rakyatnya bakal hidup sejahtera karena dipimpin seorang yang dijuluki Ratu Adil hingga saat ini masih belum terjadi.

Kondisi Tanah Air yang terpuruk sebenarnya membutuhkan pemimpin baru dan mendapatkan mandat dari rakyat Indonesia melalui proses Pemilu. Tetapi melihat perkembangan yang terjadi, sangat sulit bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan sosok Ratu Adil yang memimpin Indonesia keluar dari badai krisis. Karena tokoh yang bakal maju sebagai presiden RI adalah orang lama dan itu-itu saja. Misalnya, SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, Akbar Tandjung, dan Sutiyoso, Amien Rais, Gus Dur, serta Hidayat Nur Wahid.

Melihat realita politik yang ada sulit bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan pemimpin seperti Ratu Adil, atau setidaknya mendekati kriteria. Karena untuk menjadi Ratu Adil sosok tokoh itu harus menerima wangsit keprabon. Karena dalam paham Jawa yang berkembang di masyarakat, jika seseorang menjadi pemimpin bangsa, dia sekaligus menjadi panutan dan teladan rakyat. Sehingga wangsit keprabon menjadi mutlak harus diterima terlebih dahulu sebagai modal melanggengkan jalan menjadi presiden.

Pertanyaan yang muncul adalah siapa dan adakah panutan yang jadi referensi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin yang juga menjadi satria pinilih. Hal itu menjadi pertanyaan penting yang harus diketahui oleh seluruh calon presiden yang bakal maju dalam Pemilu 2009. Karena mengingat begitu penting sosok yang diidamkan masyarakat dan mereka tidak mau jika memilih pemimpin yang tidak memiliki karakter seperti di atas.

Karena sosok Ratu Adil harus menjadi pemimpin sempurna yang mampu membawa negeri ini keluar dari keterpurukan. Pada masyarakat Jawa, pertimbangan itu dikenal sebagai delapan perwatakan (hastha brata) alam yang menjadi pedoman bagi calon presiden jika terpilih nantinya.

Sehingga seorang satria pinilih harus berwatak bumi, air, angin, lautan, rembulan, matahari, api, dan binatang. Semua unsur itu wajib dipenuhi agar pemimpin itu bisa menjadi sosok adil, wibawa, arif, dan bijaksana ketika mendapatkan amanah memimpin dari rakyat. Dari berbagai indikator itu, adakah calon presiden (capres) yang memiliki kemampuan seperti yang diidamkan masyarakat? Karena masyarakat sudah jenuh dan apatis melihat presiden mendatang tidak ada muka baru.

Buku ini ditulis tidak untuk menebak satria pinilih yang menjadi penerus Soekarno maupun Soeharto yang menjadi dua sosok pemimpin besar di negeri ini. Namun buku ini sengaja mengajak pembaca untuk menilai secara obyektif sosok capres yang bakal menjadi pemimpin Indonesia. Karena jika masyarakat tidak mengetahui latar belakang calon, bisa jadi Ratu Adil tidak bakal muncul memimpin Indonesia karena rakyat salah pilih pemimpin.

Judul Buku : Satria Pinilih (Siapa Pantas Jadi Ratu Adil)
Penulis : Arwan Tuti Artha
Penerbit : Galang Press
Terbit : Agustus 2008
Tebal Buku : 176 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra, Anggota FDI UMM dan Aktivis Pers Kampus Bestari

0 comments: