Selasa, 07 April 2009

Kontroversi Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia


Jumat, 7 November 2008 (Harian Bhirawa)

Ahmadiyah adalah sebuah aliran yang mendapatkan banyak pengikut di Indonesia. Selama bertahun-tahun hidup di Indonesia, Ahmadiyah berhasil meraih simpati dari puluhan ribu anggotanya sekaligus pemeluknya. Berbeda dengan kebanyakan umat muslim kebanyakan, pengikut Ahmadiyah mengakui dirinya adalah bagian dari umat Islam meskipun tetap meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang diutus Allah Swt. untuk menyelamatkannya.

Sosok Mirza Ghulam Ahmad yang lahir pada tanggal 13 Februari 1835 di Desa Qadian, negeri India dianggap sebagai penerus dan penyempurna ajaran yang dibawa Muhammad Swt. Ajaran yang dicetuskannya akhirnya dapat menyebar hingga ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.

Pada masa awal kedatangannya di Tanah Air pada awal abad ke-20, Ahmadiyah disambut baik oleh pemeluk umat Islam lainnya. Tetapi kondisi itu berubah setelah pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat terhadap ajaran Ahmadiyah, karena dalam prakteknya lebih sering mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terakhir daripada mempercayai Muhammad Swt.

Dalam perkembangannya, walaupun mendapatkan stempel sesat dari MUI tak menghalangi perkembangan aliran Ahmadiyah yang semakin tumbuh pesat dan penganutnya meningkat pesat tersebar di seluruh Tanah Air. Namun, di tahun 2002, gesekan organisasi masyarakat (ormas) Islam dan masyarakat yang resah dengan keberadaan Ahmadiyah tak bisa dihindari. Gesekan yang berujung penyerangan pada penganut Ahmadiyah di Pancor, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengakibatkan 300 orang kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi.

Tahun 2005 adalah puncak dari suramnya perkembangan aliran Ahmadiyah, karena MUI menegaskan kembali fatwa sesatnya terhadap aliran ini. Di tambah dengan rekomendasi dari Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang menganggap ajaran ini menyimpang dari Islam membuat gusar penganut Ahmadiyah di Indonesia karena keberadaannya terancam.

Rentang waktu 2005 hingga 2007 sering terjadi kasus kekerasan yang menimpa pemeluk Ahmadiyah yang dilakukan ormas Islam dengan tujuan agar penganut aliran tersebut menghentikan kegiatannya. Karena tidak digubris dan aktivitas peribadatannya terus berjalan, puncaknya tanggal 1 juni 2008, massa Front Pembela Islam (FPI) menyerang pemeluk dan simpatisan Ahmadiyah yang sedang melakukan kampanye damai di Monas.

Peristiwa berdarah itu akhirnya disebut sebagai tragedi Monas dan mendapatkan pemberitaan secara luas dari media massa. Ekspose media secara terus-terusan membawa konsekuensi besar bagi keberadaan Ahmadiyah, karena banyak mendapatkan simpati dan dukungan dari berbagai tokoh nasional. Malahan, kelompok FPI dituding telah melakukan tindakan kriminal dan melanggar hukum, sehingga beberapa pelakunya harus mendekam dalam penjara.

Menurut A. Yogaswara, meskipun mendapatkan tekanan bertubu-tubi Ahmadiyah bukannya terpuruk, melainkan malah menuai banjir simpati dari berbagai kalangan, baik dari ulama maupun intelektual muslim yang tidak suka dengan kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan pemaksaan kehendak dalam kehidupan beragama. Sehingga umat Islam sempat terpecah dalam dua golongan menyikapi kasus Ahmadiyah, yaitu antara yang pro dan kontra terhadap eksistensi Ahmadiyah.

Kontroversi pun menyeruak di masyarakat manakala pemerintah dinilai ragu oleh sebagian kalangan dalam mengambil keputusan mengenai pelarangan Ahmadiyah di Indonesia. Dampak dari tindakan pemerintah yang dirasa kurang tegas membuat membawa dampak makin meruncingnya perbedaan pemikiran dua kubu yang saling bertentangan dalam menyikapi kasus Ahmadiyah itu.

Sadar akan risiko perpecahan yang bisa terjadi pada umat Islam Indonesia, pemerintah selaku pemegang kekuasaan tertinggi negara segera ambil tindakan untuk menengahi pihak yang bertikai pandangan. Pemerintah akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri menyikapi keberadaan aliran Ahmadiyah. SKB yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuch Basyuni, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji itu yang diharapkan mampu meredam polemik pihak-pihak yang berbeda pendapat.

Sayangnya, keluarnya SKB tiga menteri itu tidak mengurangi ketegangan yang terjadi di masyarakat. Keluarnya SKB tiga menteri itu malahan dinilai beberapa pihak sebagai bukti ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi Ahmadiyah. Kedua pihak yang berselisih tetap tidak puas dan tetap ngotot dengan pendapatnya masing-masing.

Yang pro mengatakan bahwa Ahmadiyah tidak perlu dibubarkan, karena menganut kepercayaan adalah bagian demokrasi yang tidak boleh dipaksakan. Sedangkan yang kontra berpendapat bahwa Ahmadiyah telah sesat dan bukan bagian dari Islam. Karena itu, harus dibubarkan jika tetap tidak mempercayai Muhammad Saw. sebagai nabi terakhir. Sehingga sampai sekarang polemik aliran ini tak kunjung usai dan terus bergulir tanpa pernah tahu sampai kapan selesainya.

Buku Heboh Ahmadiyah menghadirkan sebuah cerita mengenai lahirnya Ahmadiyah, riwayat hidup “nabi” Ahmad Mirza Ghulam, kontroversi ajarannnya yang dianggap menyimpang dari Islam, hingga kasus seputar Ahmadiyah yang sempat mencoreng ajaran Islam di mata internasional. Diharapkan keberadaan buku ini dapat menjadi sebuah bacaan yang dapat membantu berbagai pihak yang selama ini berkonflik maupun masyarakat agar dapat menilai permasalahan itu dengan obyektif dan netral.

Judul Buku : Heboh Ahmadiyah
Penulis : A. Yogaswara
Penerbit : Narasi (Media Pressindo)
Terbit : Agustus 2008
Tebal Buku : 104 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra, Aktivis Pers Kampus Bestari UMM

0 comments: