Selasa, 07 April 2009

Detik Menjelang Kematian Soeharto

Minggu, 14 Desember 2008 (Malang Post)

Soeharto adalah salah satu tokoh besar yang dimiliki bangsa Indonesia. Sebagai sosok pemimpin negara, Soeharto erat dengan segala kontroversi yang mengiringi kehidupannya. Sejak diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) tahun 1967 hingga kematiannya di awal tahun 2008, berita mengenai Soeharto selalu menyertai setiap sendi kehidupan masyarakat. Sebagai orang yang disegani, keberadaannya dipuja dan dibenci.

The smiling general (julukan Soeharto) menjadi pemimpin terlama yang memerintah RI. Berkuasa selama 32 tahun menjadikannya sebagai sosok yang tegas dan cenderung otoriter dalam memimpin negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Banyak kalangan menilai bahwa kekuasaan Soeharto yang terlampau kuat itu dikarenakan dia memiliki wibawa di mata bawahannya. Di samping itu, Soeharto juga didukung kekuatan mistik yang menjadi penopang kekuasaannya agar tetap langgeng.

Bagaimana pun hebatnya manusia tetap tidak akan selamanya berada di puncuk kekuasaan. Pepatah itu sepertinya cocok jika dianalogikan pada cerita kehidupan Soeharto. Setelah bertahta 32 tahun, sosok Jenderal Besar tersebut harus merelakan jabatannya dan diturunkan secara paksa oleh masyarakat Indonesia yang sudah tak mempercayainya lagi. Bagaikan badai yang datang tiba-tiba, momen buruk itu mengakibatkan Soeharto menjadi orang biasa dan tidak punya power lagi.

Yang lebih menyedihkan lagi, Jenderal Besar tersebut seperti mengalami post power syndrome yang menyebabkan kondisi kesehatannya tidak stabil. Tak hanya itu, sosok untouchtable di masanya itu juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa banyak elemen bangsa yang ingin agar dirinya dibawa ke pengadilan untuk diproses secara hukum atas perbuatannya yang menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang kehancuran.

Buku Hari-Hari Terakhir (Jejak Soeharto Setelah Lengser 1998-2008) mengungkap fakta di balik perjalanan Soeharto selama berkuasa, semasa lengser dari kursi kepresidenan, hingga merekam detik-detik menjelang kematiannya. Bersamaan dengan memburuknya kondisi kesehatan yang berakhir dengan kematian sang Jenderal Besar, banyak sekali beredar isu-isu politik dan hukum di masyarakat seputar dirinya beserta keluarga Cendananya.

Setelah tak lagi berkuasa dan kesehatannya dari waktu ke waktu terus memburuk, Soeharto berkali-kali masuk rumah sakit untuk memeriksakan diri. Namun sungguh luar biasa, Soeharto seakan selalu lolos dari problem kesehatannya. Selepas dari rumah sakit, foto-foto yang dipajang di media massa tetaplah Soeharto yang tersenyum. Barulah pada Januari 2008, dia harus berhadapan dengan penyakit yang menggerogoti kesehatannya yang membuat kondisinya kritis, hingga keluarganya memutuskan melarikannya ke Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP) untuk menjalani perawatan kondisinya tubuhnya.

Berita mengenai memburuknya kesehatan the smiling general tak ayal menjadi berita heboh yang mampu menyedot perhatian masyarakat nasional dan internasional. Berbagai media massa berebut menyajikan berita menarik seputar kesehatan Soeharto. Setiap kejadian yang berhubungan dengan kesehatan Soeharto langsung diberitakan agar masyarakat dunia, khususnya rakyat Indonesia tahu kondisi kesehatannya.

Kabar memburuknya kesehatan Soeharto membuatnya dikunjungi berbagai tokoh nasional, baik yang kerabatnya yang pernah duduk dipemerintahan hingga koleganya, seperti pendiri Singapura, Lee Kuan Yew dan mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad menyempatkan diri untuk menjenguknya. Tak hanya itu, lawan politiknya yang semasa Orde baru pernah dipenjarakannya, seperti A.M. Fatwa tak lupa datang menemuinya. Semuanya datang dengan satu tujuan, yaitu ingin melihat secara langsung kondisinya. Bahkan Presiden SBY yang saat itu berada di luar negeri sampai harus mempersingkat kunjungannya untuk segera kembali ke Tanah Air demi menemui Soeharto yang kesehatannya terus memburuk.

Namun karakter Soeharto yang dikenal keras dan ngotot semasa memerintah negeri ini membuatnya mampu bertahan hidup di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun. Berkat semangat hidupnya yang terus menyala, Soeharto mampu bertahan hidup lebih lama di saat kondisi kesehatannya terus memburuk.

Di samping itu, peran keluarga Cendana dalam penyembuhan tidak bisa dianggap remeh, karena banyak kalangan meyakini bahwa kekuatan Soeharto dalam mempertahankan hidupnya sebenarnya adalah dari anak-anaknya yang terus senantiasa menunguinya di rumah sakit. Karena spirit dari dalam diri disertai doa dan keberadaan keluarganya tersebut, Soeharto mampu bertahan hidup dan mampu ‘menunda’ beberapa waktu kematiannya.

Untung tak dapat ditolak dan nasib tak dapat dihindari, Soeharto yang dulu perkasa dan gagah sekarang harus berjuang dengan sekuat tenaga hanya demi menghirup udara. Setelah kondisinya makin kritis, seluruh pernafasannya diambil alih oleh ventilator ke tubuhnya. Setelah bertahan 24 hari dirawat di RSPP, Minggu 27 Januari 2008, the smiling general harus menemuai ajalnya. Kabar duka langsung tersebar ke seluruh penjuru Tanah Air.

Berita kematian Soeharto direspon pemerintah yang diwakili SBY dengan mengumumkan hari Berkabung Nasional selama 7 hari untuk menghormati sosok Jenderal Besar tersebut. Presiden SBY pun menyeru kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berduka.

Soeharto akhirnya dimakamkan di Astana Giribangun di samping makam istrinya, Ibu Tien dan keluarga besarnya sesuai dengan wasiatnya. Sepanjang jalan proses pemakamannya dari Jakarta hingga sampai ke Astana Giribangun, banyak sekali masyarakat yang turun ke jalan untuk menyaksikan rombongan jenazah yang membawa Soeharto.

Pemakaman Jenderal Besar tersebut dihadiri banyak tokoh penting, baik dari pejabat negara hingga kepala negara negara sahabat. Jika melihat suasana jalannya pemakaman, maka penghormatan negara Indonesia kepada Soeharto adalah yang paling besar diberikan. Karena tidak ada tokoh bangsa di Indonesia yang harus sampai ‘semeriah’ itu proses berlangsungnya pemakamannya.

Dengan kematiannya, bukan berarti perbincangan masyarakat kepada Soeharto berhenti, karena Soeharto meninggalkan banyak sekali permasalahan dan polemik yang belum terselesaikan di mata masyarakat. Belum lagi diskurus mengenai layaknya dirinya dianugrahi gelar pahlawan juga semakin menambah polemik tentang dirinya. Tetapi harus diakui bangsa Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya yang telah berjasa besar membangun Indonesia hingga menjadi seperti sekarang.

Meskipun tujuh bulan berlalu, nama Soeharto masih begitu familiar di masyarakat terutama yang mengaguminya. Biar pun banyak yang membencinya dan dicerca banyak kalangan, tetap saja namanya mendapatkan tempat di hati masyarakat luas.

Buku ini selain menyajikan berbagai kisah menarik seputar hari-hari terakhir Soeharto di tengah sakit yang dideritanya, liputan jurnalistik yang tangkas ini juga mencoba mengungkap kasus hukum, kontroversi gelar pahlawan, dan masa depan warisan politik Pak Harto lewat Keluarga Cendana.

Judul Buku : Hari-Hari Terakhir Jejak Soeharto Setelah Lengser 1998-2008
Penulis : Tim Detikcom
Cetakan : Pertama 2008
Tebal Buku : xiii, 150 halaman
Penerbit : PT Mediakita
Peresensi : Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi dan Aktivis Pers Koran Kampus Bestari UMM

1 comments:

Unknown mengatakan...

Selamat malam...saya ingin sekali punya buku ini..,d gramed,dtoko toko buku tidak.,bsa bantu untk dapatkan buku ini dmana?